TintaSiyasi.com -- Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang baru disyahkan 3 Februari 2022 lalu akan direvisi. DPR telah menetapkan revisi UU IKN masuk program (Prolegnas) prioritas tahun 2023. Dengan masuknya revisi UU IKN dalam prolegnas prioritas 2023 yang disetujui badan legislatif DPR. Tentunya pemerintah sudah berkordinasi dengan DPR. Kedua belah pihak telah siap membahas perubahan UU IKN 2023.
UU IKN merupakan UU yang sangat cepat lahirnya. Hanya 42 hari. Prosesnya pengesahannya terburu-buru karena target pembangunan IKN yang juga terburu-buru. UU IKN tetap disahkan meski ada protes dari para ahli hukum. Rencana revisi ini menunjukkan ketidakmatangan UU.
Belum genap setahun, sekarang Jokowi memerintahkan supaya UU IKN ini direvisi? Ada apa? Apakah karena sepi investor?
====
Pemerintah beralasan, revisi UU IKN dilakukan dikarenakan beberapa hal yaitu, pertama, peraturan kewenangan khusus dan otoritas. Maksudnya revisi UU IKN nanti diharapkan bisa memperjelas posisi IKN sebagai daerah otonomi/lembaga/kementrian yang akan diatur kemudian.
Kedua, terkait dana. Revisi dilakukan dengan harapan adanya ketepatan dalam implementasi dan waktu pembangunan IKN. Termasuk untuk memudahkan pengumpulan dana pembangunannya. Regulasi dibuat semudah mungkin agar para investor bisa masuk dan adanya fasilitas penanaman modal.
Ketiga, terkait pengelolaan barang milik negara. Proses pemindahan IKN akan meninggalkan banyak aset di ibukota lama. Akan dibuat regulasi agar proses pemindahan bisa dilakukan dengan ada payung hukum didalamnya.
Keempat, terkait pertahanan. Pemerintah akan memberikan kepastian untuk investor terhadap hak pembelian tahah di IKN. Para investor akan mendapatkan hak guna pengelolaan selama 90 tahun bahkan bisa dua kali lipatnya yaitu 180 tahun. Jaminan waktu atas tersebut mencakup tahapan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak. Kepemilikan tanah ini memang harus menggiurkan agar para investor bisa datang untuk berinvestasi.
====
Pembuatan Undang-undang yang nota bene akan mengatur urusan rakyat secara semrawut seperti itu tentu akan membahayakan rakyat dan negara. Apalagi jika Undang-undang yang dibuat sarat kepentingan oligarki dan tak menyentuh serta membawa pengaruh baik bagi rakyat.
Ini adalah gambaran lemahnya peran negara dan kapasitas wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Mereka yang punya otoritas seenaknya saja mengutak-atik hukum untuk mendukung kepentingan mereka. Yang tentunya untuk memuluskan jalan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda dengan sistem Islam. Pembuatan UU harus selaras dengan sumber hukum Islam yaitu Al Quran, Al Hadist, Ijma, dan Qiyas. Landasan keimanan akan menjadikan pembuatan UU dilakukan penuh kesadaran bahwa semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Para pembuat hukum akan berhati-hati dalam membuat undang-Undang. Tidak akan terburu-buru diputuskan jika aturan belum matang. Karena mereka tahu tanggung jawab pengurusan umat akan mendapat pahala besar di sisi Allah jika bersikap adil, tapi sebaliknya siksa yang sangat besar akan ditimpakan bagi para pemimpin yang zalim.
Wallahu alam Bisshowab.
Oleh: Salma Shakila
Aktivis Muslimah
0 Comments