TintaSiyasi.com -- Menjelang perayaan Natal dan Tahun baru, pemerintah Kota Surabaya Eri Cahyadi melakukan pemasangan berbagai ornamen dan hiasan bernuansa Natal. Pemasangan tersebut dilakukan di jantung Kota Surabaya, seperti Monumen Bambu Runcing, Plaza tengah Alun-Alun, halaman luar dan dalam, serta teras kanopi Balai Kota Surabaya (Tempo, 18/12/2022).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi pun beranggapan hal ini sebagai bentuk toleransi beragama. Terlebih kota Surabaya memang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. "Saya ingin tunjukkan bahwa bukan suku Jawa saja, ada NTT, Maluku, Minang dan lain-lain. Serta, agama berbeda-beda tinggal di Surabaya. Peringatan Natal ya ornamen Natal, waktu (perayaan agama) Budha kita ubah, nanti waktu Hindu juga. Wayahe (waktunya) Islam gaeno (dibuatkan) ketupat, kan indah. Hidup kita ini beragam, jadi saling melengkapi, ini yang ingin saya bentuk dan saya yakin ini bisa.” (Wartadigital.id, 17/12/2022).
Tak hanya itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya Agus Hebi Djuniantoro turut menambahkan bahwa Surabaya merupakan kota pluralisme dan paham atas keberagaman. "Baru tahun ini, bapak Wali Kota Eri ingin Surabaya menjadi Pluralisme dan harus di fasilitasi. Jadi momennya bulan Desember, kita pasang tema Natal," kata Hebi, dilansir di Selalu.id (17/12/2022).
Pluralisme semakin masif digaungkan. Seolah tidak ada masalah dan tidak berbahaya bagi umat. Menurut Wikipedia, pluralisme adalah ‘kesediaan untuk menerima keberagaman (pluralitas)’. Artinya, untuk hidup secara toleran pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama, adat, hingga pandangan hidup, pluralisme mengimplikasikan pada tindakan yang bermuara pada pengakuan kebebasan beragama, kebebasan berpikir, atau kebebasan mencari informasi.
Definisi MUI (Majelis Ulama Indonesia), pluralisme sebagai paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama; kebenaran setiap agama adalah relatif; setiap pemeluk agama tidak boleh mengeklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan hidup berdampingan di surga. Dalam pluralisme, tidak boleh ada klaim kebenaran bahwa hanya agamanya yang paling benar dan yang lain salah (Munas MUI ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli 2005).
Dari definisi di atas, jelas paham pluralisme bertentangan dengan Islam dan sangat berbahaya. Pluralisme berarti menyamakan semua posisi Tuhan. Tidak ada perbedaan antara Tuhan yang disembah dalam Islam dan Tuhan yang disembah pada agama lain. Kalau seperti ini, maka dimana letak jaminan keimanan seseorang? Relakah kita menganggap Tuhan sebagai satu-satunya Al-Khaliq justru mendapat tandingan yang sama dari agama lain. Bukankah Tuhan yang kita yakini hanya satu.
Allah yang kita sembah pada faktanya tidak beranak dan diperanakkan. Sedangkan konsep Tuhan yang diyakini agama Nasrani atau Yahudi menganggap Tuhan memiliki anak.
Demikian pula agama Budha, menurut keyakinan mereka Tuhan itu pernah menitis sebagai manusia dan agama Hindu, Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang Widi justru digambarkan dalam wujud manusia.
Realitas di atas menunjukkan bahwa Tuhan yang diyakini dalam agama kita berbeda dengan Tuhan yang diyakini agama lain. Allah SWT yang disembah umat Islam berbeda dari makhluknya (mukhalafatu lil hawaditsi). Jadi, paham pluralisme yang selalu digaungkan sangatlah menyesatkan.
Pluralisme makin nyata merusak pemikiran dan akidah. Negara yang terlanjur menganut ideologi Kapitalis-sekuler hanya bisa mengikut arus konsep kebebasan. Bebas beragama, bebas berekspresi, bebas melindungi bahkan ikut merayakan agama lain. Pada akhirnya lahirlah konsep pluralisme. Konsep yang membiarkan umat bebas kebablasan.
Allah SWT berfirman:
اِÙ†َّ الدِّÙŠْÙ†َ عِÙ†ْدَ اللّٰÙ‡ِ الْاِسْÙ„َامُ ۗ
"Sesungguhnya agama (diridhai) disisi Allah ialah Islam" (QS Ali Imran: 19).
Secara akidah, Islam jauh berbeda dengan pluralisme. Harusnya umat sadar akan paham yang menyesatkan dan tidak mebiarkan diri tercebur dengan kerusakan-kerusakan ide ini.
Hadis Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR. Abu Daud).
Tidak sepatutnya kaum Muslim ikut bahkan menfasilitasi perayaan mereka. Karena perkara akidah tidak boleh dicampur-adukkan dengan hal lain. Kemurnian akidah dan iman harus tetap terjaga dan tidak boleh ternodai sedikit pun.
Jika membahas masalah toleransi, maka mari kita menelisik jauh pada sistem pemerintahan Islam yang pernah berjaya selama 14 abad lamanya, menguasai hampir 2/3 wilayah di dunia. Kaum muslim dan non muslim waktu itu hidup rukun. Mereka dilindungi, diberikan haknya dan hidup sejahterah bersama kaum Muslim lainnya.
Beberapa riwayat sahih menceritakan, seorang warga Kristen Koptik di Mesir pernah mengadu kepada Amirul mukminin Umar bin Khaththab ra. karena mendapat tindak kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin ‘Ash ra dan putranya. Keadilan hukum pun dijatuhkan.
Khalifah Umar memanggil Gubernur Mesir beserta putranya lalu menjatuhkan sanksi kisasi atas mereka. Setelah sanksi dijalankan, Khalifah Umar ra menegur keras Gubernur Mesir dengan perkataan, “Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” (Dr. Akram Diya al-‘Amri, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah, 127).
Seperti itulah kehidupan kaum Muslim dan non-Muslim yang hidup berdampingan dalam sistem pemerintahan islam. Tidak ada kezaliman, hak-hak mereka dilindungi. Dibiarkan beribadah sesuai keyakinan masing-masing dan bagi kaum muslim, mereka tetap dijaga akidahnya dan tidak dibiarkan dalam kesesatan berpikir sebagaimana paham pluralisme.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Arnaningsih, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments