Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perundungan Pelajar yang Makin Tidak Terbendung


TintaSiyasi.com -- Kasus perundungan atau pembullyan makin bermunculan di permukaan pada era digital ini. Bagaikan fenomena gunung es, di zaman informasi ini kasus demi kasus makin terlihat mulai dari yang dilaporkan hingga yang disebarkan. Berawal dari beberapa kasus perundungan di sekolah hingga terbawa ke luar sekolah bahkan meja hijau. 

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data bahwa sepanjang tahun 2022 hingga bulan Juli, setidaknya sudah terdapat lebih dari 226 kasus kekerasan fisik dan psikis yang jumlahnya terus meningkat hingga saat ini (cnbcindonesia.com). Berbagai faktor dan penyebab dianggap sebagai pemicu anak melakukan perundungan atau membiarkan perundungan, mulai dari tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, latar keluarga atau lingkungan serta sosial media. Data juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan OECD's Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan 2018 mendapatkan 41 persen siswa Indonesia pernah mengalami perundungan dan mayoritas sisanya pernah menyaksikan perundungan yang terjadi di sekitarnya. 

Padahal perundungan secara jelas dapat memberikan beberapa dampak, di antaranya: menurunkan motivasi seorang anak untuk bersekolah, menghambat prestasi hingga menimbulkan depresi yang bisa berkepanjangan. Tentunya hal tersebut akan sangat mempengaruhi masa depan baik korban, pelaku dan semua pihak yang terlibat.

Lalu sebenarnya mengapa anak atau pelajar melakukan tindakan perundungan kepada temannya? Hal terjadi karena beberapa sebab. Diantaranya adalah faktor dari tayangan yang diserap anak-anak masa kini. Berbagai games dengan unsur kekerasan mudah diakses pada gadget oleh anak-anak tanpa proteksi maupun pengawasan. Film, kartun, hingga sosial media seperti tiktok yang mempromosikan beberapa challenge yang mengandung unsur kekerasan di dalamnya. Selain itu, faktor eksistensi diri dari pelajar. Anak-anak yang haus akan perhatian, pujian, popularitas dan lainnya hingga mereka pun ada yang nekat melakukan sesuatu yang kontroversial agar dirinya diakui dan dihargai. Faktor lainnya adalah di masa saat ini yang memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat, manusia seakan merasa bebas melakukan apa saja, manusia pun lupa bahwa setiap perilaku manusia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. 

Perilaku bullying yang dilakukan anak tidak lepas dari kelalaian orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Kebanyakan orang tua saat ini disibukan dengan mencari nafkah dan mengejar kebahagiaan duniawi sementara pendidikan anak diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Sayangnya sistem pendidikan dalam kapitalisme tidak dirancang untuk menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam. Sehingga abai dalam penanaman akidah Islam yang kokoh hingga kesadaran terikat terhadap hukum syara. 

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 7, “Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.”

Dalam Islam, keluarga adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya. Sehingga orang tua semestinya memberikan pendidikan akidah dan dasar agama sebagai bekal anaknya menghadapi masa depan, agar mereka menjadi generasi bertakwa. Tidak dengan menyerahkan seluruh pendidikan kepada orang lain atau lembaga.

Sistem pendidikan yang ditetapkan negara sangatlah penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian remaja. Dalam sistem pendidikan Islam salah satu cirinya adalah dengan penggunaan kurikulum islam yang juga berlandaskan pada aturan Islam dan sesuai tumbuh kembang anak. Pada sistem pendidikan Islam, Pendidikan agama menjadi pondasinya dan pelajar tidak diwajibkan mempelajari banyak keilmuan kecuali setelah semakin dewasa dan ingin mengkhususkan diri pada keilmuan tertentu. Peranan negara penting negara lainnya melakukan filter konten media yang berbahaya dan merusak anak. Apabila tegas dilakukan maka akan memudahkan penyaringan informasi bagi keluarga dan pelajar. 

Anak yang berperilaku mem-bully merupakan korban dari sistem kehidupan yang sekuler. Kesadaran bahwa setiap perilaku akan dihisab oleh Allah SWT harus ditanamkan pada anak sejak dini. Sehingga ketika anak-anak telah baligh, maka sudah memiliki ia bertanggung jawab atas setiap perilakunya. 

Dalam Islam, jika anak telah baligh maka ia sudah terbebani hukum syarak. Maka jika ia melakukan kekerasan, ia harus diberi sanksi sesuai dengan ketentuan hukum syara. Dalam Islam, sanksi bagi pelaku kekerasan di antaranya dihukum qishas jika terjadi pembunuhan atau dihukum takzir maupun membayar denda (diyat) jika terjadi penganiayaan fisik. Sanksi ini harus ditegakkan agar tidak mencegah terjadi hal yang serupa. Sanksi ini hanya bisa dilaksanakan oleh negara, bukan individu atau kelompok dakwah. Maka untuk menghentikan kasus perundungan, Islam perlu diterapkan pada seluruh individu, masyarakat dan negara. []


Oleh: Citra Amalia
Pendidik
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments