Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perjanjian Bilateral DCA, Ancam Kedaulatan Negara


TintaSiyasi.com -- Persetujuan DPR terkait RUU tentang Pengesahan Perjanjian kerja sama Pertahanan antara Indonesia dan Singapura atau Defence Cooperation Agreement (DCA) menjadi Undang-Undang pada Selasa (6/12/2022) mendapat sorotan. Harapan pemerintah bahwa UU tersebut bisa memperkuat hubungan bilateral Indonesia-Singapura tampaknya harus ditahan. Nyatanya, sejumlah pasal dalam UU tersebut justru mengancam keutuhan NKRI di masa mendatang.

Dalam UU tersebut, terdapat pasal yang membolehkan kedua angkatan bersenjata Para Pihak melakukan latihan, pelatihan, operasi militer, dukungan logistik, termasuk akses bersama pada wilayah latihan atau fasilitas di bagian tertentu wilayah Para Pihak. Para Pihak maksudnya adalah Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura. Ada beberapa hal yang patut diwaspadai terkait UU tersebut, di antaranya:

Pertama, istilah ‘Para Pihak’ memang tampak adil dan saling menguntungkan. Tapi, hakikatnya Singapuralah yang lebih diuntungkan. Negara dengan icon Merlion tersebut jelas untung dengan memanfaatkan wilayah Indonesia sebagai tempat latihan militer. Sementara Indonesia tidak bisa memanfaatkan wilayah Singapura karena wilayahnya terbatas. Jika dibandingkan dengan Pulau Bali saja, wilayah Singapura tak sampai sepertiganya. 

Kedua, memberi jalan bagi negara asing memperluas hegemoninya. Dengan memberi izin wilayah Indonesia untuk latihan militer, berarti memberi izin kekuatan tersebut menetap dalam jangka waktu tertentu, melakukan penjagaan serta pengawasan. Tampaklah, hal tersebut menjadi uslub penjajahan gaya baru dengan pendudukan langsung. Seharusnya, pemerintah memahami, personil militer tidak sama dengan warga sipil yang melakukan kunjungan wisata.

Ketiga, rahasia negara lebih mudah diketahui negara asing. Izin pemakaian wilayah jika ditambah dengan pertukaran personil militer dan intelijen, maka lengkap sudah penguasaan pertahanan keamanan Indonesia di tangan asing. Kondisi ini tentu sangat berbahaya. Apalagi, melihat jangka waktu perjanjian yang cukup lama yaitu 25 tahun.

Keempat, pengesahan UU tersebut sejalan dengan hasil Leaders’ Retreat Indonesia – Singapura pada Januari lalu di Pulau Bintan. Perjanjian DCA merupakan satu paket dengan dua perjanjian lainnya yaitu tentang Flight Information Region (FIR) dan perjanjian ekstradisi. Perjanjian FIR juga sempat digugat karena ruang udara 0-37.000 kaki di atas Kepulauan Riau dan Natuna kembali diserahkan kepada otoritas Singapura. Indonesia hanya mengambil kendali ruang udara diatas 37.000 kaki di mana pesawat sipil tak banyak melintas di ketinggian tersebut. 

Kelima, perjanjian DCA dan FIR menunjukan kedaulatan NKRI mudah diobral dan ditundukan negara asing. Tentu, kehormatan Indonesia sebagai bangsa yang besar dipertaruhkan. Seharusnya, hal ini menjadi bahan evaluasi, Indonesia yang telah merdeka sekian lama dengan cakupan wilayah yang begitu luas belum mampu menunjukan ‘taringnya’ di mata dunia. 

Perjanjian yang dilakukan Indonesia-Singapura menggambarkan kondisi hubungan bilateral negara penganut idiologi sekuler kapitalis. Mereka melakukan kerja sama hanya melihat dari sisi untung rugi. Tidak lagi memperhatikan efek jangka panjang seperti apa. Padahal, kalau dilihat dari posisi Indonesia dalam perjanjian DCA dan FIR, Indonesia baru mendapat harapan keuntungan. Sementara Singapura sudah jelas untungnya. Kehormatan Indonesia tampak tergadai karena berhasil dikendalikan negara dengan wilayah begitu kecil. 

Lain halnya dengan Negara Islam yang melakukan perjanjian dalam rangka penyebaran Islam, dakwah dan jihad demi menguatkan pertahanan dan keamanan negara. Dalam Islam, negara di dunia dipilah atas Negara Islam dan negara kafir. Islam memiliki sejumlah ketentuan terkait perjanjian dengan negara kafir. Sebelumnya, harus dipastikan negara yang diajak melakukan perjanjian bukan negara kafir yang memerangi kaum Muslim. Jadi, tidak dibenarkan melakukan perjanjian dengan Israel, misalnya.

Selain itu, kerja sama atau perjanjian yang berpotensi mengancam kedaulatan negara, tidak boleh dilakukan. Jadi, terkait perjanjian ekstradisi demi mencegah dan memberantas tindak pidana lintas negara, misalnya terkait kasus korupsi, narkoba dan lainnya dibolehkan. Adapun perjanjian DCA dan FIR seperti yang dilakukan Indonesia-Singapura, haram dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, yang artinya, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nisa : 14).

Dari ayat tersebut, Allah mengharamkan segala upaya yang bisa menghantarkan orang kafir menguasai kaum Muslim. Adapun terkait jangka waktu perjanjian, tidak boleh terlalu lama. Rasulullah SAW pernah melakukan perjanjian gencatan senjata selama 10 tahun dengan penduduk Makkah yang kemudian dimanfaatkan untuk menyebarkan Islam. Masih banyak lagi ketentuan Islam terkait perjanjian internasional yang tampak komplit adalah demi menjaga kedaulatan Negara Islam dan warwah kaum Muslim. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Kebijakan Publik
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments