TintaSiyasi.com -- Tahun 2022 belum berlalu, namun aroma-aroma 'tidak sedap' menjelang pemilu 2024 sudah tercium. Miris memang ketika wakil rakyat berlomba-lomba menggunakan segala hal, baik cara yang legal ataupun ilegal untuk mensukseskan langkah politik mereka. Komisioner Bawaslu, Lolly Suhenty mengatakan menemukan 20.565 identitas warga (nama dan NIK) dicatut ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol). Dari sini, Bawaslu selanjutnya menemukan 24 kasus penyerahan kartu tanda anggota (KTA) partai kepada masyarakat sehari sebelum dan saat hari pelaksanaan verifikasi faktual (Republika, 16/12/2022). Dugaan adanya kecurangan juga disampaikan oleh Juru Bicara DPP Partai Prima, Farhan Dalimunthe. Farhan mengatakan mulai tahap administrasi hingga verifikasi faktual, banyak data yang berubah-ubah. Hal ini kemudian menjadikan Partai Prima sendiri dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pemilu (BBC, 15/12/2022).
Terdapat 17 parpol yang dinyatakan lolos pleh KPU RI sebagai peserta Pemilu 2024. 17 parpol tersebut terdiri atas sembilan partai lama yang saat ini ada di parlemen, empat partai peserta pemilu sebelumnya, dan empat partai baru (BBC, 15/12/2022). Dari komposisi parpol yang berpartisipasi dalam Pemilu 2024 perlu adanaya usaha ekstra bagi parpol baru untuk memecah suara masyarakat. Elektabilitas dan kredibilitas calon yang diusung oleh parpol baru sangat menentukan posisinya guna menarik mata masyarakat. Selain itu menurut Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyanti menyatakan bahwa parpol baru membutuhkan persiapan yang cukup berat serta membutuhkan modal finansial besar. Kondisi ini jelas menguntungkan parpol yang sudah mapan karena mereka memiliki tingkat dukungan yang stabil.
Praktik demokrasi yang demikian sangat berpotensi menimbulkan kecurangan. Suara terbanyak menjadi tujuan utama agar parpol mendapatkan kursi kekuasaan. Akhirnya, segala macam bentuk usaha untuk memikat hati masyarakat akan digerakkan. Jika parpol gagal dalam perolehan suara, maka parpol akan berakhir dengan koalisi. Kondisi seperti ini akan terjadi berulang dalam praktik demokrasi.
Harapan akan perubahan seperti apa yang hendak kita inginkan di balik sistem demokrasi yang demikian? Pemilu yang diusung oleh sistem demokrasi saat ini bertumpu pada suara rakyat. Parpol yang mendapatkan suara rakyat paling banyak merupakan pemenang dalam pemilu. Posisi rakyat hanya sebagai jalan untuk memenangkan kompetisi. Selanjutnya, permainan politik siap dimainkan dengan leluasa. Jika kita bisa simpulkan perjalanan demokrasi hingga saat ini, rakyat sejatinya hanya sebagai korban. Dekat dengan rakyat hanya saat masa kampanye, selanjutnya dalam menciptakan kebijakan atau aturan sangat mungkin untuk didominasi oleh para kapitalis berdasi.
Keberadaan partai baru tentu memberikan warna baru bagi demokrasi. Masyarakat disuguhi lebih banyak pilihan yang menarik untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Namun yang perlu dipahami, hal ini malah akan membuat perpecahan dalam masyarakat sendiri. Polarisasi masyarakat akan meningkat. Padahal tidak ada musuh yang abadi dalam demokrasi. Selanjutnya yang tertinggal hanyalah perpecahan masyarakat yang merasa beda jalur dukungan, sedangkan mereka yang didukung sudah amat mesra di pemerintahan. Politik praktis yang seperti ini akan terjadi berulang karena didukung oleh ideologi sekuler kapitalis yang masih diterapkan hingga saat ini. Perubahan ke arah lebih baik itu akan susah untuk diwujudkan. Kekuasaan politik hanya dimiliki oleh kaum elit yang memandang untung rugi, tidak memihak pada kemaslahatan umat. Krisis multidimensional akan berlanjut tanpa penyelesaian hakiki.
Demokrasi adalah sistem yang rusak dan merusak. Demokrasi hanyalah sistem yang diciptakan manusia untuk menjalankan nafsu duniawi. Semboyan demokrasi yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ini menunjukkan tidak ada hukum kepastian di dalamnya. Hal ini karena pemikiran manusia cenderung berubah setiap waktunya. Sehingga, aturan yang dibuat oleh manusia tidak akan bisa sampai dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Penilaian manusia juga sangat subjektif dan mudah terbawa nafsu. Jika tidak ada aturan yang mengikat, maka nafsu tersebut hanya akan menguasai akal manusia. Akibatnya perilaku yang tercipta tidak akan mengenal baik dan buruk. Semua ini kembali lagi pada sistem sekuler kapitalisme yang berlaku saat ini.
John Adams, Mantan Presiden Amerika Serikat ke-II yang merupakan negara demokrasi terbesar pernah mengatakan, “Remember, democracy never lasts long. It soon wastes, exhausts, and murders itself. There never was a democracy yet that did not commit suicide. (Ingatlah, demokrasi tidak akan bertahan lama. Ia akan segera terbuang, melemah dan membunuh dirinya sendiri; demokrasi pasti akan bunuh diri).” Steven Levitsky and Daniel Ziblatt dalam buku mereka yang berjudul How Democracies Die menuliskan dalam bab pendahuluan tentang matinya demokrasi. Demokrasi akan mati justru ditangan penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri.
Muslim sejati harusnya tidak perlu meragukan lagi kebatilan sistem demokrasi. Kecurangan, kebohongan, kemunafikkan semunya ada dalam sistem ini. Pendapat mengenai sebab matinya demokrasi yang dijabarkan oleh kaum Barat harusnya makin meningkatkan keyakinan kita bahwa Islam adalah solusi bagi permasalahan politik dunia. Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari Sang Pencipta yang tak bisa lagi diragukan keadilannya. Tak ada yang abu-abu di dalamnya. Hitam dan putih adalah dua hal yang jelas dan disertai dengan hukuman atau konsekuensi yang jelas.
Kekuasaan di tangan rakyat dalam Islam adalah keharusan, yang maknanya bahwa rakyat berkuasa dalam menentukan khalifah (pemimpin). Namun, sistem yang dijalankan adalah sistem Islam. Seluruh hukum-hukumnya diterapkan secara kaffah (keseluruhan) tanpa tebang pilih dengan keinginan pribadi atau golongan. Hal ini karena kedaulatan hanya milik Allah dengan hukum-hukum syaraknya. Dari sini maka partai politik juga harus berideologi Islam. Partai politik mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum, dan pemecahan problematika dari syariat Islam. Partai politik juga berperan dalam membina masyarakat dalam dakwah Islam dan perang pemikiran terhadap kekufuran. Sehingga jelas disini bahwa pemilu dalam Islam adalah untuk mencari sosok pemimpin (khalifah), tetapi sistem politik yang diterapkan harus berdasarkan ideologi Islam, bukan yang lain.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Hima Dewi, M.Si.
Aktivis Muslimah
0 Comments