Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Di Balik Pemberdayaan Perempuan sebagai Tulang Punggung Ekonomi


TintaSiyasi.com -- Peringatan Hari Ibu ke-94 pada 22 Desember 2022 kali ini mengangkat tema “Perempuan Berdaya Indonesia Maju”. Selain tema utama tadi, ditetapkan sub-sub tema untuk mendukung tema utama tersebut, yang semuanya mengarah pada pemberdayaan ekonomi.

Sub tema tersebut adalah kewirausahaan perempuan, perempuan dan digital economy, perempuan dan kepemimpinan, dan perempuan terlindung perempuan berdaya (tirto.id, 13/12/2022).

Pemberdayaan perempuan dalam ekonomi pada saat ini seolah menjadi suatu keharusan sebab perempuan dianggap sebagai tulang punggung (back bone) dari perekonomian Indonesia. Pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada menyebut data bahwa perempuan mengelola 60 persen dari UMKM yang ada di negeri ini. UMKM ini berkontribusi besar bagi Product Domestic Bruto (PDB) mencapai 60,5 persen dan menjadi sektor utama penyerapan tenaga kerja (voaindonesia.com, 17/12/2022).

Namun di sisi lain, perempuan juga dianggap sebagai pihak yang paling terdampak dalam perubahan iklim, resesi, dan krisis. Selama pandemi misalnya, lebih banyak pekerja perempuan yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK), peningkatan korban kekerasan rumah tangga, hingga tingginya praktik pernikahan anak (voaindonesia.com, 17/12/2022).

Oleh karenanya, peringatan Hari Ibu dipandang sebagai ajang untuk kembali memperjuangkan hak-hak perempuan.


Di Balik Pemberdayaan Perempuan

Dalam beberapa dekade terakhir, perempuan selalu diminta agar dapat berjuang bagi keluarga, masyarakat, bahkan negara. Perempuan dituntut berdikari secara ekonomi dan tidak bergantung kepada nafkah suami. Inilah yang disebut dengan pemberdayaan perempuan ala kapitalis. Terlebih lagi, populasi perempuan yang hampir setara dengan laki-laki dianggap sebagai peluang besar agar perempuan berpartisipasi aktif dalam berbagai sektor pembangunan. Perempuan yang merupakan setengah dari sumber daya manusia perlu didorong untuk berkiprah dalam pembangunan ekonomi negeri.

Seorang feminis terkenal pada abad ke-20, Christabel Pankhurst mengatakan bahwa pekerjaan perempuan di sektor domestik atau rumah tangga merupakan beban, membuang-buang waktu, tidak dibayar, dan tidak diakui.

Dari sini bisa kita ketahui, gerakan feminis merupakan perjuangan untuk melepaskan perempuan dari kehidupan rumah tangga dan mandiri dari laki-laki. Mereka mendorong perempuan berkarir untuk mengejar ekonomi dan meninggalkan tugasnya di rumah.

Ini adalah pengaruh dari kapitalisme yang menjadikan tolok ukur keberhasilan dari sudut pandang materi. Pihak yang produktif adalah yang berkuasa. Yang tidak dapat menghasilkan materi dianggap rendah. Oleh karenanya, ibu rumah tangga dipandang sebagai pekerjaan rendah dan sebelah mata.

Dalam perkembangannya, dibuatlah istilah pemberdayaan perempuan untuk mendorong perempuan agar keluar rumah dan mengejar materi, meninggalkan amanah utamanya sebagai istri dan pendidik generasi.


Bentuk Eksploitasi Perempuan

Saat ini, perempuan dituntut terjun ke dunia kerja dan bisnis. Mereka didorong untuk berkontribusi dalam kegiatan ekonomi agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan. Semua ini hanyalah narasi palsu yang digunakan sistem kapitalisme untuk memaksa perempuan agar keluar dari rumah.

Bagaimana tidak, kapitalisme dengan paradigmanya yang menganggap hidup adalah untuk memperoleh materi sebanyak-banyaknya, tentu tidak akan melepaskan peluang ekonomi apa pun. Termasuk, peluang ekonomi yang akan diperoleh ketika perempuan terjun dalam ekonomi.

Berdasarkan laporan McKinsey Global Institute (MGI) tahun 2015, bila potensi perempuan dalam dunia kerja dimanfaatkan secara penuh, maka PDB tahunan global akan dapat bertambah US$ 28 triliun. Tentu ini keuntungan yang sangat menggiurkan.

Sehingga, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja tak lain merupakan eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan dipaksa keluar rumah untuk dijadikan obyek penghasil kekayaan. Fitrahnya dicabut, merampas waktu perempuan untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Tak sedikit yang akhirnya stres karena harus memikul beban ganda sebagai pekerja sekaligus ibu.

Belum lagi bila bicara tentang efeknya terhadap keluarga. Rumah bukan lagi tempat yang penuh kehangatan, justru penuh persaingan. Hak dan kewajiban dalam keluarga tak terlaksana. Anak pun kurang kasih sayang. Akibatnya, terjadi degradasi moral hingga kriminalitas. Jika ini bukan eksploitasi terhadap peran perempuan, lantas apa lagi?


Islam Memuliakan Perempuan

Pemberdayaan perempuan yang sebenarnya tentu harus disesuaikan dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT. Dalam Islam, perempuan telah diberi peran utama dan mulia, yaitu sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.

Untuk dapat menjalankan perannya sebagai pendidik generasi cemerlang, tentu butuh sebuah sistem yang mendukungnya. Khilafah terbukti mampu menjadi mercusuar dunia selama kurang lebih 13 abad. Di dalamnya, ibu begitu dimuliakan.

Dalam hal ini, beberapa kebijakan yang diterapkan antara lain:

Pertama, menerapkan peran perempuan dan laki-laki sesuai dengan fitrahnya, sesuai dengan pengaturan Allah SWT. Laki-laki berperan sebagai pemimpin dan pemberi nafkah. Perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Perempuan akan dipandang mulia, sebab, di tangan merekalah generasi terbentuk. Bila ibunya memiliki kepribadian Islam, maka ia akan mendidik dan mengasuh anaknya dengan baik, sehingga selamatlah generasi.

Sejarahwan Inggris, Julia Pardoe menuliskan tentang status ibu pada masa Khilafah Utsmani, pada 1836. Dia mengatakan, ibu selalu dihormati dan dihargai. Ibu adalah tempat berkonsultasi dan mengungkapkan isi hati, dimuliakan hingga akhir hayatnya, diingat dengan penuh kasih sayang, dan penyesalan setelah pemakamannya.

Kedua, menjamin kebutuhan pokok perempuan. Kewajiban nafkah perempuan ada pada ayah atau suami. Bila tidak ada, maka akan dipenuhi kerabatnya. Bila tidak ada, atau ada tapi tidak mampu, maka kewajiban nafkah tersebut akan dipenuhi oleh negara. Dengan begitu, perempuan dapat fokus pada kewajibannya sebagai istri, dan mengasuh serta mendidik anak-anaknya. Perempuan tidak akan dibebani tugas nafkah.

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Siapa saja yang meninggalkan kalla maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim).

Kalla adalah orang yang lemah dan tidak mempunyai anak maupun orang tua.

Ketiga, perempuan mubah bekerja. Asalkan pekerjaan tersebut tidak mengumbar auratnya dan tidak melalaikan dari kewajiban utamanya. Jenis pekerjaannya juga harus tetap menjaga kehormatannya. Ketika bekerja, perempuan juga tetap diwajibkan mengenakan pakaian syar’i dan menjaga interaksi dengan lawan jenis.

Keempat, perempuan tetap boleh berkiprah dalam kehidupan umum, seperti menuntut ilmu dan berdakwah. Perempuan juga boleh memilih pemimpin (khalifah) dan juga boleh dipilih menjadi anggota Majelis Umat.

Hanya Islam-lah yang dapat memuliakan perempuan sesuai fitrahnya. Perempuan tidak akan dibebani tugas ganda sebagai ibu sekaligus pekerja seperti hari ini. Untuk itu, perlu adanya upaya kita bersama agar peradaban agung tersebut kembali, dengan mengkaji Islam secara kaffah dan mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat. []


Oleh: Rina Tesna Sari, S.Pd.I.
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments