Tintasiyasi.com -- Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi obrolan renyah yang saat ini sangat ramai diperbincangkan. Tak hanya segelintir orang yang menolak pengesahan RUU tersebut, tetapi rakyat berlomba-lomba menyuarakan aspirasinya atas kekesalan disahkannya RUU kontroversi ini. Bagaimana tidak kontroversi, banyak sekali pasal di dalamnya yang mengancam kemaslahatan. Walaupun, draf rancangan RUU telah menimbulkan kritik pada tahun 2019 silam. Nyatanya, perbaikan itu tidak nampak pada draf final yang disahkan oleh DPR kemarin.
Pokok bahasan yang paling banyak diperbincangkan adalah persoalan kebebasan menyampaikan pendapat. Dalam KUHP, rakyat diberi ruang yang sangat terbatas bahkan hampir tak ada ruang untuk beraspirasi. Unggahan yang menyinggung presiden akan dikriminalisasi, pemberi kritik terhadap pemerintah harus siap dihukumi, bahkan aksi demonstrasi sepertinya hanya akan menjadi aksi yang sia-sia. Hal ini senada dengan pendapat salah satu anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli, yang mengatakan bahwa pengesahan RKUHP ini berpotensi terhadap terjadinya pemberangusan terhadap kebebasan pers. Hal ini dikarenakan terdapat 22 pasal yang dinilai bermasalah dan bisa mengekang kebebasan pers (BenarNews.org, 01/12/2022).
Respon penolakan juga hadir dari aliansi LBH Jakarta, Citra Referandum. Menurutnya RKUHP yang menyempitkan kebebasan publik ini akan membuat sistem hukum pidana semakin kacau balau. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan proses pembentukan dan pembahasan RKUHP juga disebut cacat formil. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak menjalankan proses partisipasi yang bermakna dengan melibatkan masyarakat.
Padahal merujuk pada putusan Mahkamah Nomor 91 tahun 2020 terkait UU Cipta Kerja, halaman 393, Feri menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat yang lebih bermakna setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (BBC.com, 28/11/2022). Dari sini terlihat adanya tumpang tindih aturan yang dikeluarkan penguasa.
Dari pendapat berbagai kalangan dapat disimpulkan bahwa pengesahan RKUHP ini mengandung kepentingan segelintir kelompok yang diduga kuat merampas kepentingan rakyat. Sehingga, kebijakan-kebijakan yang tidak adil dan menzalimi rakyat akan sulit dikritik. Bahkan jika dikaji ulang, hukuman yang tercantum dalam KUHP terkesan sebagai “titipan” dari orang-orang berkepentingan.
Rusaknya sistem saat ini dikarenakan hukum manusia yang lemah, tidak terarah, dan sangat menyengsarakan. Manusia teramat mencintai dunia yang gemerlap. Terlebih ditambahi dengan kedudukan atau kekuasaan yang secara status sosial lebih tinggi dari yang lain. Hal ini mengakibatkan manusia semakin tidak terkendali dikuasi oleh hawa nafsunya. Begitulah Allah menciptakan manusia yang lemah dan terbatas ini. Sudah sepatutnya, hawa nafsu manusia direm dengan hukum-hukum syarak yang bersumber dari Al-Khaliq agar dapat mengontrol setiap perilakunya selama di dunia.
Hukum yang diciptakan manusia tidak akan pernah bersifat objektif, adil, dan mengandung kemaslahatan. Jika suatu hukum terlihat kurang mengena, maka akan dibuat hukum baru yang menyokong. Jika hukum yang satu dianggap tidak menguntungkan sebagian orang, maka dibuatlah hukum untuk merevisinya. Hal semacam ini akan terus berulang sampai nafsu manusia terpuaskan. Padahal sejatinya jika kita kembali dalam Hukum Islam, Allah berfirman berturut-turut dalam Surat Al-Ma’idah ayat 44: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran”. Selain itu, terdapat juga pada ayat 45 yng artinya “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman” dan pada ayat 47 dengan arti “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.”
Jika manusia mau belajar, maka Allah telah jelaskan dalam kitab yang secara nyata diturunkan pada diri Rasulullah. Jika manusia mau bertanya lebih dalam, maka ada banyak kitab pendukung yang menafsirkannya. Para tokoh-tokoh yang memiliki ilmu mumpuni mengenai Hukum Islam yang pernah diterapkan pada masa kekhilafahan. Jika manusia mau belajar melalui sejarah, membedah sejarah, sungguh banyak sekali hal yang patut untuk dicontoh dan diterapkan kembali saat ini. Pada masa Khilafah Turki Usmani, Hukum Islam amat dijunjung tinggi. Keadilan hukumnya disaksikan oleh banyak orang. Bukan hanya dari satu suku atau satu negara saja, melainkan satu penjuru dunia. Wallahu ‘alam bishowab.
Oleh: Hima Dewi, S.Si.
Aktivis Muslimah
0 Comments