Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pengesahan Revisi KUHP, Bukti Standar Ganda Demokrasi

TintaSiyasi.com -- Keputusan pemerintah dan DPR untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat penolakan dari berbagai lapisan masyarakat karena rancangan itu disebut mengandung pasal-pasal bermasalah yang akan membuat sistem hukum pidana menjadi "kacau balau". Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman membantah tudingan bahwa proses pembahasan RKUHP tidak mendengarkan aspirasi masyarakat. Menurutnya, DPR telah menerima masukan dari berbagai lapisan masyarakat dan melakukan perubahan baik dalam bentuk penghapusan, re-formulasi maupun penambahan pasal-pasal RKUHP baru.

Sebelumnya, pemerintah dan Komisi III DPR telah menyepakati isi dari RKUHP dan akan membawa rancangan itu ke rapat paripurna untuk disahkan sebelum 15 Desember mendatang. Di kompleks parlemen pada Kamis (24/11) Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mempersilakan masyarakat yang tidak setuju dengan RKUHP untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi. (bbc.com, 28/11/2022)

Pasal-pasal Kontroversial

Bukan tanpa sebab mengapa RKUHP kali ini mendapat banyak protes dari kalangan masyarakat. Salah satu pasal RKUHP yang kontroversial adalah RKUHP pasal 218 yang menyatakan bahwa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden atau wakil presiden dapat dipidana dengan hukuman penjara tiga tahun dan denda Rp200 juta”. Selain itu, pasal 219 juga melarang menempelkan, menyiarkan gambar atau tulisan yang dianggap “menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden”. Tindak pidana ini hanya dapat dituntut berdasarkan aduan oleh presiden atau wakil presiden sendiri baik secara langsung maupun tertulis.

Anggota Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan beberapa pasal di RKUHP dinilai “membatasi pendapat dari masyarakat.” Menurutnya, jika RKUHP sampai disahkan maka akan berpotensi terjadinya pemberangusan terhadap kebebasan pers. Dia menyebut setidaknya ada 22 pasal yang dinilai bermasalah dan bisa mengekang kebebasan pers, salah satunya Pasal 309 dan 310 yang mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku yang menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang “mengakibatkan keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat.” (benarnews.org, 01/12/2022)

Standar Ganda Demokrasi

Kalau mengamati dari lika-liku pengesahan RKUHP saat ini, menyiratkan bahwa ada kepentingan lain di balik pengesahan RUU itu. Pemerintah dan DPR seakan tak memerhatikan pengajuan keberatan dari beberapa elemen masyarakat. Mereka buru-buru mempercepat pembahasan RKUHP dan segera membawa pada rapat paripurna.

Padahal, jikalau kita meresapi lebih dalam, siapa sebenarnya DPR dan Pemerintah? Menurut demokrasi yang disanjung negara ini, mereka adalah wakil rakyat. Mereka dipilih untuk menjalankan aspirasi rakyat. Artinya, ketika mereka membuat aturan, menurut demokrasi harus memperhatikan kepentingan rakyat. Namun, kenyataannya, ketika masih ada rakyat yang keberatan dengan aturan itu, tidak pernah didengarkan.

Dalam prinsip demokrasi yang lain, pemerintah dituntut mengedepankan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan amanah UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Ketika orang mengutarakan pendapatnya, dapat dipastikan akan ada pendapat yang pro dan kontra. Sesuai pandangan demokrasi, kita harus menerima perbedaan itu. Artinya, tidak boleh memaksakan kehendak kepada pihak yang berlawanan pendapatnya. Namun praktiknya di lapangan ternyata berbeda. Ada pasal-pasal dalam RKUHP yang dinilai dapat disalahgunakan untuk menggebuk pihak yang kontra terhadap pemerintah. Misalnya, pasal penghinaan presiden atau lembaga pemerintahan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kontradiksi dengan prinsip demokrasi yang dianut.

Hak Membuat Hukum Hanyalah Milik Allah Swt

Peristiwa RKUHP ini menjadi bukti bahwa setiap produk hukum buatan manusia pasti memiliki keterbatasan. Akal sebagai alat pembuat aturan tidak mampu mengakomodir kebutuhan setiap warga negara. Apalagi secara fitrah, akal manusia satu berbeda dengan manusia yang lain, tergantung pendidikan, lingkungan, adat, dll. Secara otomatis, jika hanya bersandar pada akal maka pasti akan melahirkan perbedaan pendapat.
Ini membuktikan kelemahan demokrasi. Adanya perdebatan pasal-pasal RKUHP membuktikan bahwa demokrasi tak akan mampu mengayomi setiap orang. Bahkan dapat dikatakan, demokrasi malah melahirkan perdebatan dan perpecahan.

Sangat jauh berbeda dengan Islam dimana hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT, Dzat Pencipta manusia, alam semesta dan seisinya. Karena Allah SWT adalah Sang Pencipta yang menciptakan manusia, maka aturan yang dibuat-Nya pasti sangat cocok dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Aturan buatan Allah SWT juga nihil kepentingan, karena makhluk (manusia)-lah yang hakikatnya membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan makhluk-Nya. Sangat berbanding terbalik dengan aturan buatan manusia yang sarat dengan kepentingan.
Allah SWT berfirman “Keputusan (membuat hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (QS Yusuf: 40).

Dan dalam firman lainnya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96).

Setiap warga negara dalam negara Islam (Khilafah) berhak menggugat pemimpin negara ke pengadilan, menyampaikan pendapat kepadanya, memberi kritik kepadanya jika ada kezaliman yang dilakukan oleh pemimpin tersebut kepadanya. Hal ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khath-thab ra. ketika seorang perempuan mengoreksi kebijakan Umar ra. atas keputusan yang beliau keluarkan tentang pembatasan besarnya nilai mahar pernikahan.

Hanya Islam yang akan melahirkan aturan yang adil bagi setiap manusia. Sudah terbukti selama 13 abad lamanya ketika Islam dijadikan sebagai landasan bernegara, Negara Islam saat itu mampu menaungi dan mengurusi setiap kebutuhan rakyatnya, baik Muslim, maupun non-Muslim. Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh: Cita Rida
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments