Tintasiyasi.com -- Katakan tidak pada korupsi! Slogan yang sangat lekat di telinga kita, terutama di kalangan para pemangku kekuasaan di negeri ini. Slogan ini pun kerap bergaung saat Hari Antikorupsi Sedunia pada tanggal 9 Desember. Sayangnya, slogan ini seolah jauh panggang dari api. Hanya retorika kosong tanpa arti. Sebab, menjadi rahasia publik persoalan korupsi seolah jalan yang tak berujung di negeri ini.
Ya, slogan anti korupsi yang terus digaungkan nyatanya tak sejalan dengan realitas. Mereka yang pernah menyuarakan "Katakan tidak pada korupsi!", justru tidak sedikit yang menjadi pelaku utama tindak utama korupsi. Tidak main-main mereka pun menempati urutan koruptor kelas kakap di proyek-proyek besar, sebutlah salah satunya kasus korupsi Hambalang dan bansos Covid-19.
Kebijakan yang lahir pun sering kali tidak berpihak pada penuntasan kasus korupsi. Dalam RKUHP yang baru disahkan misalnya, para koruptor tampaknya mendapat angin segar, karena dalam undang-undang ini disebutkan para koruptor akan diberikan pengurangan masa hukuman. Ini tentu membuktikan bahwa pemerintah seolah kurang serius dalam upaya pemberantasan korupsi di sistem demokrasi hari ini. Alhasil, peringatan Hari Antikorupsi Sedunia lagi-lagi hanya sebuah seremonial belaka tanpa makna.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI), dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang. (tirto.id, 11/12/2022).
Maraknya kasus korupsi, menjadikan korupsi seolah tidak lagi dipandang sebagai kejahatan yang serius. Korupsi seolah menjadi lumrah dilakukan di kalangan para politisi negeri ini. Bahkan terasa aneh jika ada seseorang yang bersih dari kasus korupsi bahkan terkesan naif. Makin banyak para politisi terjerat kasus korupsi, niscaya makin hilang kepercayaan publik terhadap lembaga Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ada saat ini.
Belum lagi banyaknya kasus jual beli jabatan yang makin menjadi rahasia publik, sebagai imbas politik balas budi untuk membalas jasa para korporasi atau pemodal di masa kampanye. Seperti kasus korupsi yang baru saja menjerat Bupati Bangkalan yang terkena kasus pemberian dan penerimaan hafiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait lelang jabatan. Kasus ini tak ayal lagi menambah panjang daftar kepala daerah dan pejabat publik terjerat kasus jual beli jabatan.
Peneliti Tranparency Internasional Indonesia (TII), Alvin Nicola, menilai kasus Bupati Bangkalan ini adalah bukti birokrasi Indonesia masih transaksional. Ia menilai fenomena ini kerap terjadi karena korupsi dalam birokrasi terjadi di dalam jaringan ikatan sosial yang berkelanjutan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Penegakan aturan yang ada kalah oleh kepentingan politik yang lebih dominan menguasai birokrasi. Di saat bersamaan, menurut Alvin, terus berulangnya kasus jual beli jabatan ini juga menunjukkan kita perlu mempertanyakan secara serius di mana peran Kemenpan-RB, KPK, Tim Nasional Pencegahan Korupsi, Komisi Aparatur Sipil Negara. (tirto.id, 9/12/2022)
Inilah fakta buruk sistem demokrasi hari ini. Tidak pernah serius dalam memberantas korupsi dari hulu hingga hilir. Bahkan KPK terkesan lemah dalam menangani kasus-kasus strategis yang nilai kerugiannya besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti PT Asabri, ekspor CPO, dan sejumlah kasus yang dilakukan oleh pejabat dengan jabatan yang paling tinggi, termasuk internal KPK itu sendiri.
Publik pun makin pesimis. Lemahnya pemberantasan korupsi jelas membuat publik khawatir. Jangan-jangan kasus-kasus penggelapan uang negara akan terus berulang. Bahkan tak segan mereka melakukan korupsi uang negara secara bersama-sama.
Kondisi ini jelas mengakibatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemberantasan antikorupsi pun makin rendah. Menurut hasil survei litbang Kompas sejak Januari 2015 hingga Juni 2022, tercatat pada Juni 2022 menunjukan citra kepercayaan publik terhadap Komisi Pdmberantasan Korupsi merosot menjadi 57 persen. Terendah sejak 5 tahun terakhir. (kompas.com, 9/12/2022).
Amanah rakyat yang semestinya diemban dengan penuh tanggung jawab, nyatanya hanya menjadi bahan taruhan dan bacakan demi memuaskan nafsu keserakahan duniawi. Wajar muncul pertanyaan besar dalam benak masyarakat. Pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi apakah hanya ilusi dan janji-janji yang mustahil direalisasi?
Kondisi ini jelas sangat berbeda jika sistem Islam yang menjadi acuan penerapan hukum. Sistem Islam niscaya akan menutup segala celah untuk umat menjadi pelaku korupsi. Sebab, secara individu mereka terbentuk menjadi pribadi yang bertakwa, dan menjadikan kejujuran sebagai perhiasannya, sebagaimana yang Rasulullah saw. contohkan.
Sistem Islam juga dengan tegas melarang kita untuk memakan harta orang lain secara batil. Sehingga kita menjadi peribadi yang hati-hati dan amanah. Kendati pemutusan hukuman bagi koruptor tidak tertulis secara nas, tetapi dikembalikan kepada khalifah sebagai pengambil kebijakan. Namun, dipastikan seorang khalifah akan memutuskan perkara tersebut secara tegas.
Sanksi yang diberikan merupakan sanksi yang akan membuat jera dan pelakunya enggan melakukan kejahatan yang sama secara berulang. Bagi yang belum melakukannya akan berpikir ratusan bahkan ribuan kali untuk melakukan kejahatan yang serupa. Begitulah kemuliaan Islam ditampakkan, niscaya kita akan mendapati ketenangan di dalamnya. Tentunya hal ini dapat terwujud jika kita kembali pada aturan Islam yang mulia.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hal yang dimurkai Allah (haram) dan neraka adalah paling layak untuknya." (HR. Ahmad).
Wallahualam bissawab.
Riani Andriyantih, A.Md.Kom.
Aktivis Dakwah Muslimah
0 Comments