Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemberantasan Kekerasan terhadap Perempuan, Cukupkah Peringatan dan Kampanye 16 HAKtP?


TintaSiyasi.com -- Organisasi Perempuan Mahardhika melakukan aksi nasional untuk memperingati 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Aksi ini digelar di 4 kota di Indonesia, yaitu Jakarta, Banjarmasin, Makassar, dan Samarinda. "Hingga saat ini kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi dan mewujud dalam berbagai bentuk," kata Mutiara Ika, Ketua Perempuan Mahardhika dalam keterangan tertulis, Minggu, 27 November 2022. Kekerasan terhadap perempuan masih sering terjadi sampai saat ini dalam berbagai bentuk. Salah satunya pada sektor padat karya seperti tekstil, makanan, minuman, dan sebagainya yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Momen 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan ditetapkan secara global mulai 25 November sampai 10 Desember. Tanggal 25 November dipilih sebagai bentuk penghormatan kepada Mirabal Bersaudara yang dibunuh karena melawan aktivitas politik dan menggugat kediktatoran rezim Rafael Trujillo di Republik Dominika pada 1960 (Tempo, 27/11/2022).

Menyambut peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November – 10 Desember, Komnas Perempuan mengingatkan bahwa hak hidup merupakan hak asasi paling dasar yang dijamin Konstitusi RI dan instrumen HAM internasional. Tanpa hak hidup, hak-hak asasi lainnya tak dapat berjalan. Dalam konteks pemenuhan hak asasi manusia, isu femisida dapat digunakan untuk  mengukur dan mendesak kewajiban negara terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pengabaian  dalam merespons femisida menunjukkan kelalaian atau pembiaran negara dalam upaya penghapusan kekerasan yang paling ekstrim, berlapis dan sadis yang dapat dikategorikan sebagai tindak penyiksaan. Dalam konteks ini, pengabaian isu femisida dapat menjadi kejahatan negara karena ketidakmampuan untuk mencegah, melindungi dan menjamin hak perempuan atas hidup dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan.  Oleh karena itulah,  pengetahuan mengenai femisida mendesak menjadi kepedulian bersama, memastikan upaya-upaya pencegahan, penanganan dan pemulihan korban terintegrasi dalam sistem hukum dan kebijakan sosial (Komnas Perempuan, 25/11/2022).

Setiap bulan November digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November – 10 Desember. Kampanye di Indonesia sudah berlangsung sejak 2001, Namun demikian, sudah puluhan tahun kampanye ini digaungkan, tetapi permasalahan kekerasan terhadap perempuan malah makin tidak terkendali. Bahkan, setelah pemberlakuan UU TP-KS, kekerasan terhadap perempuan juga makin marak. Oleh karenanya, kampanye ini bagaikan kampanye kosong yang tidak pernah bisa menghapus permasalahan perempuan. Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan. Apalagi regulasi pun ternyata tak bergigi. 

Ide kesetaraan gender memaksa perempuan untuk keluar rumah agar bisa disebut “pahlawan keluarga”. Bersama-sama laki-laki, mereka bekerja dan berkiprah di ranah publik agar derajatnya sama, yakni sama-sama bebas menentukan nasibnya sendiri. Oleh karenanya, untuk menghilangkan diskriminasi yang marak terjadi, perempuan didorong untuk berdaya dan memimpin. Sayangnya, ide kesetaraan yang mereka perjuangkan malah membawa perempuan pada kemalangan yang makin nyata. Lihat saja nasib para pekerja perempuan yang dianggap sebagai pahlawan keluarga, sudahlah memikul beban ganda (menjadi pengasuh dan pengatur rumah, serta pencari nafkah), mereka harus berhadapan pada realitas kekerasan di dunia kerja. Sungguh malang perempuan kini, semua tempat seolah tidak aman lagi. Dalam rumah dianiaya, begitu pun di tempat kerja. Organisasi Perempuan Mahardika yang melakukan aksi nasional memperingati 16 HAKTP juga memaparkan betapa maraknya kekerasan terhadap pekerja perempuan, terutama di sektor tekstil, makanan, ataupun minuman yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Sudahlah rentan kekerasan, buruh perempuan ternyata juga menjadi kelompok pertama yang akan di-PHK (Tempo, 27/11/2022).

Generasi muda adalah aset berharga. Mereka berpotensi membawa kebaikan dan keburukan bergantung pada ideologi yang mengarahkannya. Jika diarahkan pada pemberdayaan ekonomi kapitalisme, mereka tidak ubahnya mesin-mesin produktif korporasi. Jika diarahkan pada kesetaraan dan keadilan gender, mereka tidak ubahnya corong feminis yang melawan pengaturan Allah dalam menempatkan peran laki-laki dan perempuan. Jika diarahkan pada pemikiran sekuler dan liberal, mereka tidak ubahnya generasi benalu yang menghambat lahirnya peradaban Islam. Islam tidak mengenal feminisme. Feminisme muncul karena peradaban Barat yang merendahkan perempuan mereka. Islam tidak butuh kesetaraan dan keadilan gender, sebab syariat Islam memuliakan dan menghormati perempuan dengan sangat terperinci. Sebagaimana hak laki-laki, Islam juga menjamin hak-hak perempuan. Hak dasar laki-laki juga menjadi hak bagi perempuan, yaitu terjaganya agama, harta, kehormatan, akal, dan jiwanya.

Kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi adalah akibat diterapkan sistem kehidupan sekuler tanpa aturan Islam, tidak cukup hanya seremoni sebagai solusi, melainkan wajib menjadikan sistem Islam sebagai solusi hakiki. Islam menjaga dan memuliakan perempuan. Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan merubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Cara pandang yang shahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah islam sebagai asas dan dunia adalah tempat beramal yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Cara pandang yang sahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat. Islam memiliki sudut pandang khas terhadap perempuan, yaitu perempuan adalah makhluk yang harus dilindungi. Kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar dalam ketakwaannya, tetapi Allah SWT memberikan syariat yang berbeda kepada keduanya. Hal demikian ditujukan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga dan juga masyarakat. Ketika Allah menetapkan kewajiban nafkah pada para laki-laki dan kewajiban ummun warabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) bagi perempuan, sungguh hal itu bukanlah untuk mengerdilkan yang satu dan meninggikan yang lain. Semua itu diatur semata karena Sang Pencipta manusia lebih mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.

Itulah sudut pandang Islam terhadap perempuan. Perempuan adalah mitra laki-laki, baik dalam kehidupan domestik maupun publik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Daud). Ibnu Atsir ra mengatakan, “Maksudnya, perempuan itu mirip dan semisal dengan laki-laki.” (An-Nihayah, 2: 492). Selain itu, Islam juga memiliki konsep bahwa negaralah yang menjamin terlindunginya perempuan dari segala macam bahaya, termasuk kekerasan. Kalau sistem demokrasi menjamin kebebasan perempuan, sedangkan Islam menjamin perlindungan bagi perempuan. 

Khilafah dengan kekuatan kepemimpinan dan sistemnya akan menjamin perempuan terlindungi dari kekerasan. 

Pertama, khilafah akan menjamin media steril dari tayangan yang berbau pornografi dan kekerasan. Para kadi akan bertindak tegas bagi para pelanggarnya dan mencabut segera izin pendirian medianya. 

Kedua, jaminan sistem ekonomi. Dalam masyarakat Islam, salah satu ciri masyarakat sudah sejahtera adalah ketika perempuannya sudah tidak ada minat bekerja, kecuali untuk mengamalkan ilmunya. Ini karena syariat telah dengan jelas mengangkat derajat perempuan karena ketakwaannya. Ketakwaannyalah yang akan menggiringnya pada pengoptimalan menjalankan amanah sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Ia akan berusaha sebaik mungkin untuk mengasuh anak-anak mereka, menjadi madrasatul ula, dan menciptakan rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Bukankah ini yang akan melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan? Keluarga yang sejahtera dan paham agama akan menciptakan sosok ayah yang dapat menjadi teladan keluarga, bukan predator keluarga seperti halnya sosok ayah dalam sistem hari ini.

Ketiga, khilafah akan memberi sanksi yang sangat menjerakan bagi pelaku kekerasan. Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Jika sanksinya menjerakan, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.

Inilah konsep Islam dalam melindungi perempuan yang tidak akan pernah bisa didapatkan dalam sistem kehidupan sekuler liberal hari ini. Hanya saja, konsep Islam tidak mungkin bisa diterapkan sempurna jika sistemnya masih batil, yaitu demokrasi kapitalisme. Walhasil, urgen untuk membuang sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam (khilafah) sesuai metode dakwah Rasulullah SAW agar perempuan dan umat manusia seluruhnya hidup dalam masyarakat yang aman dan sejahtera. []


Oleh: Adzkia (Noor Diani)
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments