TintaSiyasi.com -- Cianjur masih berduka. Korban tewas akibat gempa yang melanda minggu yang lalu lebih dari 300 nyawa. Puluhan jiwa belum diketahui dimana rimbanya. Ratusan orang yang terluka juga belum pulih dari sakitnya. Sementara itu, ribuan jiwa masih berada di tempat pengungsian. Entah kapan warga Cianjur bisa beraktivitas normal kembali. Ratusan sekolah dan tempat ibadah rusak parah. Demikian juga fasilitas umum yang lain.
Tetapi mirisnya, di tengah duka warga Cianjur justru ada acara suka cita di GBK. Relawan Jokowi justru menggelar acara bertajuk 'Nusantara Bersatu' yang dihadiri oleh ribuan orang.
Acara besar dengan menghadirkan ribuan orang tentu membutuhkan biaya besar. Sungguh miris, di saat pemulihan kondisi Cianjur membutuhkan biaya besar, tapi di GBK uang justru dihamburkan untuk membiayai kegiatan yang tidak bermanfaat untuk masyarakat. Misalkan dana tersebut didonasikan untuk pemulihan Cianjur, pasti akan memberikan manfaat yang sangat besar.
Selain itu, acara 'Nusantara Bersatu' juga terkesan 'menipu' pesertanya. Acara yang semula katanya ada sholawat kubro ternyata tidak ada. Diduga acara ini sengaja diadakan untuk meraih dukungan politik bagi tokoh dan partai tertentu yang saat ini mulai bersiap menuju panggung pemilu 2024.
Inilah gambaran sebagian potret masyarakat dan pejabat di negeri kita. Rasa empati, kepedulian dan perhatian masih mahal harganya. Sebaliknya individualisme dan kepentingan pribadi/ golongan masih mendominasi. Tak peduli masih ada saudara yang berduka, kepentingan politik harus diutamakan. Tak peduli menghabiskan dana dan menipu massa, asal tujuan politik terlaksana.
Ini tentu berbeda sekali dengan Islam. Islam menggambarkan kaum muslimin itu seperti satu tubuh. Ketika ada satu bagian anggota tubuh yang sakit atau terluka, maka bagian tubuh yang lain akan ikut merasakan sakitnya.
Terkait bencana Cianjur, harusnya masyarakat yang lain ikut merasakan dukanya. Selanjutnya berupaya membantu meringankan beban mereka. Kalau tak bisa membantu dana, bisa dalam bentuk kontribusi yang lainnya. Alangkah luar biasa seandainya ribuan relawan yang ada di GBK diperbantukan untuk memulihkan kondisi di Cianjur. Pasti akan mempercepat proses perbaikan di sana. Kita tak hendak mengajak semua larut terus menerus dalam duka, tapi setidaknya jangan bersuka cita di atas duka yang lainnya.
Sikap pemimpin dalam Islam juga harus menjadi panutan, khususnya ketika menghadapi bencana yang melanda. Khalifah Umar misalnya, beliau sampai menahan diri untuk tidak makan enak ketika masyarakat di Madinah sedang dilanda paceklik. Beliau sangat prihatin membayangkan umatnya tidak bisa makan dengan layak. 'Biarlah aku yang terakhir merasa kenyang, umatku harus kenyang duluan, " begitulah prinsip beliau.
Sungguh kita merindukan sosok pemimpin yang seperti Umar bin Khattab. Sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Tak hanya memikirkan kepuasaan diri semata.
Kita juga merindukan masyarakat yang penuh empati. Yang mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri. Yang tak akan tega bersuka cita ditengah duka saudaranya.
Sosok pemimpin ideal dan gambaran masyarakat ideal hanya akan terwujud ketika Sistem Islam diterapkan. Islam yang mulia melalui syariatnya yang sempurna akan menempatkan pemimpin sebagai pelayan umat yang akan dimintai pertanggungjawaban terhadap amanah kepemimpinan yang diembannya. Masyarakat juga akan dimintai pertanggungjawaban terhadap nasib saudaranya. Tak akan ada sikap nirsimpati. Yang ada adalah kepedulian dan rasa kasih sayang yang tinggi.
Wallahu a'lam bishshowab.
Oleh: Salma
Aktivis Muslimah
0 Comments