TintaSiyasi.com -- Akad nikah dan resepsi Kaesang Pangarep dan Erina Gudono telah berlangsung selama dua hari berturut-turut sejak tanggal 10 Desember hingga 11 Desember 2022. Pernikahan Kaesang Pangarep yang merupakan anak bungsu Presiden Jokowi diduga menghabiskan biaya miliaran rupiah. Hal itu dikarenakan pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono digelar secara mewah dengan mengundang para pejabat dan selebriti tanah air. Pernikahan Kaesang Pangarep dengan finalis Miss Indonesia Jogyakarta 2022, Erina Gudono dilangsungkan di Hall Hotel Ambarukmo Yogyakarta (Gorajuara.com, 12/12/2022).
Mewahnya pesta pernikahan anak nomor satu di Indonesia ini tentu tak lepas dari kritikan masyarakat. Pasalnya, akhir-akhir ini banyak bencana melanda negeri ini tapi alih-alih berempati yang ada justru menggelar pesta mewah hingga mahar uang yang kabarnya dicetak khusus oleh BI.
Namun Bank Indonesia membantah uang yang digunakan untuk mahar tersebut dicetak khusus untuk mereka. "BI tidak secara khusus melakukan pencetakan uang yang menjadi mahar pernikahan tersebut," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono kepada CNNIndonesia, Jumat (16/12).
Selain itu, sekitar 11.800 personel gabungan TNI-Polri dikerahkan untuk pengamanannya. Ratusan kamera CCTV terpasang di sejumlah titik untuk memantau resepsi pernikahan. Tugas kenegaraan tampaknya teralihkan ke acara pernikahan anak pimpinan ini.
Sepintas mungkin hal ini dianggap wajar karena yang punya hajat bukanlah orang biasa melainkan penguasa. Banyaknya harta yang mereka miliki menjadi kewajaran saat menyelenggarakan pesta yang megah dan mewah. Namun, apakah hal itu pantas dilakukan sebagai penguasa negeri kala banyak rakyat ditempa sulitnya ekonomi, musibah yang bertubi-tubi, dan banyak lagi persoalan negeri yang tak kunjung usai?
Hingga saat ini, masih ada 5.389 pengungsi Cianjur yang menunggu datangnya bantuan akibat gempa beberapa waktu lalu. Juga terdapat lebih dari 2.000 warga Semeru yang mengungsi akibat erupsi. Banyak juga wilayah yang tergenang banjir. Dimana hati nurani penguasa ini? Tidakkah mereka berempati pada penderitaan rakyat sendiri?
Beginilah watak penguasa dalam kapitalisme. Mereka berlomba-lomba mengejar kursi kekuasaan agar dapat menikmati fasilitas yang wah. Bukan murni mengemban amanah untuk mengurusi urusan rakyat. Hal yang mustahil terwujud dalam kehidupan sekuler kapitalis.
Sungguh mengherankan, tapi inilah buah dari penerapan kapitalisme sekuler. Saat sebuah sistem menjadi asas kehidupan masyarakat apalagi diusung oleh para penguasa, maka mau tidak mau yang mengingkari sistem itu pun juga ikut merasakan, walaupun rasanya seperti sebuah belenggu untuk menerapkan syariat Islam.
Penguasa seharusnya memiliki empati dan kepekaan yang tinggi apalagi menyangkut kondisi rakyat yang merupakan tanggung jawab dalam kepengurusannya. Sekularisme yang memiliki prinsip memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab dalam kepemimpinan. Padahal fungsi agama adalah untuk menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya. Jika agama dijauhkan dari kepemimpinan negara maka tak heran akan lahir penguasa yang tidak merasa bersalah ketika memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, dalam pemerintahan demokrasi juga dipastikan membentuk kepemimpinan yang bersifat transaksional antara pengusaha dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan. Akibatnya, kalaupun dalam sistem ini terdapat aturan tentang urusan rakyat, namun selalu dapat ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih pada rakyat. Tak heran, jika keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata.
Realita tersebut sangat berbeda dengan kepemimpinan Islam, di mana akidah Islam menjadi asas kepemimpinan karenanya lahirlah sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka kepada rakyat. Sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan mereka kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Rasulullah SAW bersabda, “Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum Muslim dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat.” (Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim).
Syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah raain (pengurus dan pemelihara) dan menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kesadaran terhadap akidah dan syariah Islam ini akan menghasilkan sifat wara' dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya dalam kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk kepentingan pribadi walaupun hanya sedikit.
Terkait hal ini, ada sebuah kisah teladan tentang seorang penguasa sederhana dan amanah yang patut untuk dicontoh. Ia adalah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, saat beliau baru menyelesaikan tugas negara di ruang kerjanya, datanglah putra beliau menemuinya.
Umar bin Abdul Aziz lalu bertanya maksud kedatangan putranya itu, apakah untuk kepentingan negara atau kepentingan keluarga. Sang anak mengatakan bahwa dia datang untuk kepentingan keluarga. Seketika itu, Umar bin Abdul Aziz segera mematikan lampu penerangan di ruangan itu sehingga gelap gulitalah seluruh ruang. Putra beliau keheranan, mengapa ayahnya melakukan hal yang demikian. Rupanya lampu di ruang kerja beliau itu menggunakan minyak yang dibeli dari uang negara. Yang mana lampu tersebut digunakan untuk mengerjakan pekerjaan sebagai pejabat negara. Beliaupun kemudian meminta pembantunya untuk menyalakan lampu yang merupakan lampu pribadi miliknya. Barulah kemudian beliau berbincang dengan putranya.
Demikianlah sifat wara’ seorang penguasa yang pernah dimiliki oleh dunia Islam saat sistem pemerintahan Islam diterapkan. Kesederhanaannya adalah nyata bukan pencitraan semata. Tanggung jawab dan amanah benar-benar ia kerjakan dengan penuh keimanan, mengharap ridha Allah saja.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Hernawati Hilmi
Pegiat Pena Banua
0 Comments