Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengkritisi Pembangunan Kawasan Perkotaan Jatinangor


TintaSiyasi.com -- Kawasan Perkotaan Jatinangor adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang. Sejak disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Kawasan Perkotaan Jatinangor (PKPJ), pembangunan dan perbaikan mulai dilakukan.

Di antaranya perbaikan infrastruktur yang meliputi perbaikan jalan, sarana bagi para pedestrian, jalan lintas desa, dan infrastruktur lainnya. Selain itu, pemerintah juga melakukan pembangunan bagi sarana layanan masyarakat seperti pembangunan untuk pengelolaan sampah, pengelolaan limbah, sanitasi dan penyediaan air bersih.

Namun ada beberapa hal yg perlu dikritisi dari konsep kawasan perkotaan jatinangor (KPJ), di antaranya:

Pertama. Konsep kawasan perkotaan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang nomor 15 tahun 2021 tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan Jatinangor pasal 1 ayat 7, kawasan perkotaan adalah wilayah yg mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Sedangkan kawasan penyangga Jatinangor seperti Cimanggung dan Tanjungsari adalah kawasan pertanian semua. Itu artinya jika tetap dipaksakan tentu akan terjadi penglihan fungsi lahan yang akan berdampak pada alam dan lingkungan nantinya.

Meski mereka ingin membuat konsep baru dengan mengintegrasikan kawasan perkotaan dengan pedesaan. Seperti apa wujudnya? Bahkan realitanya justru kawasan perkotaan inti Jatinangor ini ditargetkan sebagai kawasan pendidikan tinggi, kawasan pemukiman perkotaan, kawasan perkantoran dan pemerintahan, kawasan industri dan peruntukan kegiatan lainnya yaitu perdagangan dan jasa, kawasan pariwisata, kawasan pertahanan keamanan, dan kawasan perumahan. (Perda No.15 tahun 2021 pasal 3 ayat 3).

Kedua. Masyarakat mengeluh karena kinerja pembangunan Kawasan Perkotaan Jatinangor (KPJ) tidak maksimal. Pihak pemerintah mengklaim telah melakukan perbaikan dengan memprioritaskan isu-isu strategis. Benarkah? Realisasinya justru berbeda. Sehingga wajar masyarakat merasa apa yg dilakukan pemerintah belum maksimal.

Contohnya relokasi rumah korban longsor ternyata masih menuai persoalan, khususnya di lahan Pondok Daud Dusun Bojongkondang Desa Cihanjuang Kecamatan Cimanggung (korban longsor) masih terkendala aturan hibah lahan, menurut Bappeda (7/10/2022) (Detik).

Jadi proses relokasinya baru akan dilakukan jika masyarakat yang menempati lahan tersebut mau menghibahkan tanahnya kepada pihak pengembang Pondok Daud. Jika tidak mau, maka rumah tidak akan direlokasi. Terlebih lagi nasib warga korban longsor ini hingga kini masih hidup terlunta-lunta dan tersebar di rumah-rumah kontrakan dengan menggunakan Dana Hunian Tunggu (DTH) dari Pemkab Sumedang. Namun mirisnya ternyata DTH tersebut hanya diberikan sampai agustus 2022. Padahal sudah hampir 2 tahun rencana relokasi tersebut belum juga terlaksana. 

Lalu contoh lainnya terkait relokasi TPS sampah pasar Cimanggung di Parakanmuncang juga masih menyisakan masalah. Memang rencana tempat yang baru dan penataan pasarnya sudah ada. Namun belum direlokasi. Rencananya lokasi TPS akan dipindahkan ke belakang pasar. Tapi ternyata dibelakang itu ada 2 kios yang harus direlokasi. Sehingga kios tersebut harus dipindahkan ke kantor UPTD. Sedangkan kantor UPTDnya akan dipindahkan ke lingkungan kecamatan. Namun ini semua butuh proses dan butuh dana untuk membuat TPS yang tinggi dan tertutup karena bersebelahan dengan kios-kios yg lainnya.

Sebenarnya fenomena sampah di Cimanggung yang menggunakan badan jalan di depan pasar itu sudah terjadi puluhan tahun. Padahal lokasi tersebut bukanlah TPS. Sumber sampah berasal dari pasar/lingkungan sekitar, sampah pabrik, bahkan dari luar Kabupaten Cicalengka dan sekitarnya.

Menurut peraturan Bupati Sumedang tahun 2017 tentang pengelolaan persampahan di lingkungan komersial, tupoksi penanganannya ada di Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) bukan di pihak kecamatan (sumedangonline.com).

Lalu terkait relokasi PKL juga faktanya hanya memundurkan posisinya 1-2 meter dari posisi jalan raya agar badan jalan bersih dari PKL (kasus pasar tumpah di trotoar jalan kiarapayung). Juga ada keluhan juga dari para pedagang setelah direlokasi. Karena lokasinya berupa jalur yang memanjang membuat pengunjung tidak sampai berjalan ke ujung pasar. Sehingga sepi pengunjung dan pembeli (di ujung utara pasar). Belum lagi dampak dari proyek tol Cisumdawu menyebabkan jalan sering dilewati kendaraan besar dan jalan menjadi rusak. Otomatis tidak layak untuk dipakai berjualan.

Akhirnya para pedagang pindah ke dekat gerbang BNI Unpad di perempatan jalan raya Jatinangor membuat pasar menjadi semakin tidak tertata. Belum lagi akan ada pelebaran jalan menuju proyek tol Cisumdawu sehingga pasar UNPAD tidak bisa beroperasi dalam waktu yang lama. 

Sehingga seharusnya pemerintah lebih memperhatikan pelaksanaannya dengan lebih teliti dan konsisten dengan peraturan yang ada. Arahkan penataan ruang pada kawasan perkotaan sesuai dengan konsepnya dan kebutuhan kota, bukan berorientasi pada kepentingan ekonomi segelintir pengusaha saja.

Tata ruang seharusnya dibuat teratur, indah, dan nyaman. Harus terwujud harmonisasi antara pengembangan perkotaan dan pedesaan. Sehingga ruang menjadi produktif dan berakselerasi satu sama lain sesuai fungsi-fungsinya. Pembangunan juga harus dikembangkan sesuai karakteristik masing-masing wilayah.

Sebuah kota akan berkembang jika ditopang oleh wilayah pedesaan. Sebab struktur dan pola ruang dibentuk untuk mewujudkan keserasian dan keterpaduan antar ruang seperti yang tercantum dalam UU No.26 tahun 2007 tentang Struktur dan Pola Ruang.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Meilani Sapta Putri
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments