Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kasus Bullying Meningkat, Butuh Solusi Sistemis


TintaSiyasi.com -- Maraknya kasus bullying di kalangan pelajar menggambarkan betapa buruknya sikap pelajar hasil pembelajaran sistem sekuler. Hal ini juga sekaligus menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam mencetak output pendidikan yang seharusnya berakhlak mulia, cerdas, kreatif, dan inovatif.

Sebagai seorang guru, saya sangat sedih dan miris melihat marak kasus bullying ini, seperti kasus bullying di Bandung yang dimuat di laman detik.com (20/11/2022). Beritanya banyak menyebar di media mainstream.

Di sekolah atau lembaga pendidikan mana pun tidak pernah ada ajaran bullying kepada para pelajar. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra mengatakan bahwa sepanjang 2011 hingga 2019, KPAI mencatat sebanyak 37.381 pengaduan mengenai anak. Khususnya terkait dengan kasus perundungan, laporannya mencapai 2.473 laporan. Ia mengatakan bahwa fenomena ini seperti gunung es. Artinya, masih sedikit yang dapat terlihat, dan masih banyak kasus lain yang belum dilaporkan. Menurut Jasra, pemicu bullying sangat banyak. Seperti tontonan kekerasan, dampak negatif gawai, penghakiman media sosial (Republika.co.id).


Akar Masalah Bullying

Masifnya kasus bullying di negeri ini, membuktikan bahwa pembangunan sumber daya manusia dengan landasan sekularisme, telah gagal mencetak output pelajar yang berkepribadian baik. Para pelajar diperas otak dalam prestasi akademik, tetapi minim dari nilai moral dan ilmu-ilmu agama. Padahal, prestasi akademik siswa di sekolah tidak dapat menjamin kemampuan mereka dalam mengatasi masalah pribadi dan interaksi dengan lingkungan. Tak hanya itu, kasus-kasus seperti ini juga disebabkan oleh adanya persoalan yang sistemis, di mana orang tua, masyarakat, sekolah, dan negara belum serius untuk memberantas perilaku bullying. Padahal, untuk memutus rantai kasus bullying ini, diperlukan support system yang baik.

Peran orang tua dalam penanaman akidah dan ilmu agama sedari dini, amat dibutuhkan untuk membentuk karakter generasi yang baik. Namun pada faktanya, di alam sekularisme ini banyak orang tua yang melupakan peran strategis mereka untuk mendidik sang buah hati. Sehingga seringkali pelaku bullying merupakan anak yang lahir dari keluarga broken home.

Perilaku remaja kita juga ditentukan pula oleh faktor lingkungan. Saat lingkungan abai terhadap prilaku pergaulan bebas dan bullying, maka pada saat itulah tindakan-tindakan tersebut akan menjadi sebuah hal yang biasa di tengah masyarakat. Maka harus ada tindakan pengawasan dan pencegahan perilaku buruk di tengah-tengah masyarakat. Harus terbentuk sikap saling menasihati dalam kebaikan di dalamnya. Tetapi, lagi-lagi di alam sekularisme ini, masyarakat makin individualis. Tidak peduli terhadap tetangga.  Maka dengan tidak adanya pencegahan dan pengawasan dari masyarakat, turut andil dalam pembentukan karakter generasi yang rusak.

Menyoal peran negara, tentu ini yang paling penting. Karena negara memiliki tanggung jawab yang besar bagi masa depan generasi bangsa. Negara harus mampu menjaga dan melindungi remaja dari kerusakan moral. Negara adalah pemegang kebijakan dan pemilik wewenang untuk menerapkan dan mengawasi jalannya aturan di semua aspek kehidupan. Ketika negara abai dan tak serius untuk menjaga generasi dari segala hal yang merusak moralitas, maka hal ini berpotensi memicu lahirnya generasi pelaku bullying.


Islam Solusi Tuntas Perilaku Bullying

Islam jelas melarang perilaku perundungan (bullying). Islam adalah agama yang damai, merendahkan atau menghina orang lain adalah larangan di dalam Islam. Hal ini dibuktikan dengan ayat dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah salah satu kaum dari kalian menghina kaum yang lain, bisa jadi kaum yang dihina lebih baik dari pada yang menghina…” (QS. Al-Hujurat [49]: 11).

Menurut tafsir Ath-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Tafsiril Quran, ayat ini mengandung larangan bagi orang-orang beriman untuk menghina sesamanya dengan segala bentuk hinaan, tidak halal bagi mereka untuk menghina yang lainnya karena kefakirannya, dosa yang diperbuatnya atau hal-hal lainnya. Sedangkan menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil ‘Adzim, menurutnya sukhriyyah (hinaan), dalam ayat tersebut bukan hanya berarti istihza’ (mengolok-ngolok) tetapi juga ihtiqar (memandang rendah). Ia mengutip sebuah hadis sahih yang maknanya sebagai berikut, “sombong adalah menolak kebenaran, meremehkan dan menganggap rendah manusia.” Tindakan semacam ini diharamkan dalam agama Islam, karena boleh jadi yang direndahkan lebih mulia di sisi Tuhan dibandingkan orang yang menghina.

Di dalam Islam, pembentukan karakter generasi adalah hal yang utama. Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk menjaga generasi dan seluruh umat manusia. Penanaman akidah dan ilmu agama sedari usia dini telah terbukti selama berabad-abad mampu mencetak generasi rabbani yang bersyaksiyah islamiyah (berkepribadian Islam). Maka tidak akan terjadi bullying jika semua pelajar berkepribadian Islam. Kemampuan akademik yang bersinergi dengan ilmu agama pun telah terbukti mampu melahirkan ilmuwan ilmuwan hebat sepanjang sejarah peradaban emas khilafah. Dengan demikian, sudah saatnya kita campakkan sistem sekular liberal dan kembali kepada aturan Illahi Robbi yaitu syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Ai Oke Wita Tarlita, S.Pt.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments