Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Deklarasi Relawan, Bukti Tak Introspeksi Diri


TintaSiyasi.com -- Di tengah permasalahan bencana geografi yang tak kunjung usai. Gempa yang berulang setiap detik di Cianjur, hingga memunculkan rasa takut dalam benak penduduk sekitar. Berbeda keadaan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta pada Sabtu (26/11/22) justru dipadati oleh puluhan ribu pendatang acara relawan Jokowi, bertajuk Gerakan Nusantara Bersatu (Kompas TV). 

Deklarasi yang di gelar, dipenuhi orang-orang dengan motif tujuan masing-masing. Sorak-sorai akan periode selanjutnya. Sekumpulan orang yang mengunggulkan jargon-jargon partainya. Akankah hal ini pantas dilakukan di atas kondisi sebagian rakyat yang tengah berduka?


Politik Demokrasi Kapitalisme, Sungguh Miris

Sudah menjadi kebiasaan, mendekati waktu pilpres, meskipun masih dua tahun lagi, banyak agenda bertujuan menggalang dukungan politik. Sebagaimana dalam deklarasi yang terjadi akhir-akhir ini, sarat sekali dengan nilai politik. Para relawan menyuarakan “2024 manut Jokowi” (manut dengan segala keputusan Jokowi) dengan sangat meriah. Tak hanya itu, bahkan didapati spanduk dengan bunyi “Jokowi tiga periode” (Kompas TV, 27/11/2022).

Bukankah sudah sangat jelas, bahwa acara tersebut sebenarnya ingin menggiring rakyat, untuk mendukung jargon yang akan ditampilkan pada saat pilpres kelak. Dalam deklarasi tersebut Jokowi menghimbau rakyat untuk memilih sosok dengan kriteria rambut putih (uban), keriput di wajah dengan persepsi sosok yang memikirkan rakyat. Entah deklarasi ini dengan kondisinya sebagai presiden atau dirinya pribadi. 

Di balik acara meriah tersebut, terdapat kekecewaan rakyat. Sebab rundown acara tak sesuai dengan faktanya. Banyak dari rakyat datang karena mengetahui bahwa acara berbentuk shalawat akbar, akan tetapi tidak terjadi demikian. Rakyat pun diinformasikan akan kedatangan Habib Luthfi Bin Yahya, yang nyatanya juga tak terjadi (Tempo, 26/11/22).

Inilah bentuk politik dalam kapitalisme. Menghalalkan segala cara demi mengumpulkan masa, menggiring opini mereka ke arah tujuan para penguasa. 

Penguasa dalam kapitalisme tak memusingkan diri memikirkan persoalan rakyat. Bahkan dengan banyaknya bencana yang terjadi pun tak mampu membuatnya introspeksi diri. Apakah pemerintahnya berhasil membawa kesejahteraan? Mengapa banyak bencana yang terjadi dalam pemerintahannya? Bagaimana ia dalam mengurusi urusan rakyatnya? Yang terpenting adalah kekuasaan yang ia miliki, jabatan yang memberikan keuntungan baginya. Maka wajar, jika sebagian rakyatnya sedang menderita, berduka, penguasa tersebut mampu untuk berdiri tegak menyuarakan golongan nya atau bahkan dirinya sendiri, untuk dijadikan pengisi jabatan mendatang.

Seorang penguasa yang tengah mengalami bencana di berbagai titik wilayahnya, pantaskah baginya mengadakan deklarasi di atas penderitaan rakyatnya seakan tak terjadi apa-apa? Bukankah ini saatnya untuk introspeksi diri sebagai penguasa, terkait kepemimpinannya selama ini, membuahkan atau menyengsarakan?


Bencana di Masa Kepemimpinan Umar bin Khattab

Sebagaimana yang terjadi saat ini di salah satu wilayah di Indonesia, dahulu sekali telah terjadi pula gempa di masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Beliau sangat takut dan khawatir, sebab beliau menyadari bahwa gempa yang terjadi ini sebagai bentuk peringatan dari Allah, atas kemaksiatan yang terjadi di masanya. Beliau kemudian berkata kepada rakyatnya, “Wahai manusia sekalian, tidaklah gempa ini terjadi melainkan karena perbuatan (maksiat) kalian. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika peristiwa ini kembali terulang, niscaya aku tindak ingin tinggal bersama kalian di tempat ini selamanya.

Beliau menangani bencana gempa yang saat itu terjadi dengan introspeksi diri, mengapa Allah SWT bahkan sampai memberi bencana ini. Setelah beliau berpikir, beliau mendapatkan jawaban, bahwa masih adanya kemaksiatan yang terjadi di tengah-tengah rakyat beliau. Maka dari itu beliau memerintahkan rakyatnya untuk segera meninggalkan kemaksiatan tersebut. 

Beliau tak memikirkan bagaimana jabatannya, kekuasaannya, bahkan beliau dengan gagahnya mengatakan akan meninggalkan kekuasaannya jika rakyatnya tetap bermaksiat kepada Allah. Inilah gambaran sosok pemimpin dalam Islam, bukan sekadar memikirkan jabatan yang ia dapatkan, melainkan apakah jabatannya tersebut mampu membawa dirinya dan rakyatnya kepada ridha Allah, atau kepada murka-Nya. Tentunya kriteria sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab hanya ada dalam pemerintahan berasaskan Islam, yang memprioritaskan hukum Allah dalam setiap kebijakannya, dan sudah pasti mengantarkan pada kesejahteraan rakyatnya. 

Introspeksi diri sangatlah penting bagi pemimpin guna melihat apakah dirinya mampu membawa beratnya beban amanah kekuasaan atau tidak, yang tak mungkin kita dapati dalam diri pemimpin berbingkai sistem demokrasi kapitalisme saat ini. 

Wallahu a’lam. []


Oleh: Priety A.
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments