TintaSiyasi.com -- Peradaban masa depan suatu kaum sangatlah tergantung pada generasi mudanya. Di sinilah pentingnya generasi muda mengerahkan segenap potensinya untuk mewujudkan hal tersebut. Maka tak heran, potensi generasi muda ini banyak dibidik oleh kelompok tertentu dengan bermacam tujuan.
Kondisi generasi muda saat ini mencerminkan akan seperti apa masa depan suatu bangsa. Melihat keadaan generasi muda sekarang yang cukup memprihatinkan menimbulkan banyak kekhawatiran bagi kita, terutama bagi para orang tua. Untuk mengupas lebih lanjut permasalahan tersebut, Muslimah Bangil menggelar Kajian Keluarga Sakinah dengan tema Melejitkan Potensi Generasi Pembangun Peradaban Mulia. Acara ini diselenggarakan pada 30 November 2022 bersama Umi Jauhara Jadid Talib sebagai pemateri didampingi ustazah Ambawani sebagai moderator.
Ustazah Ambawani membuka diskusi dengan salah satu hadis Rasulullah yang mengingatkan tentang pentingnya menjaga lima perkara sebelum datangnya lima perkara. Salah satunya adalah menjaga masa muda sebelum masa tua.
"Potensi pemuda sangat besar namun keadaan generasi sekarang ini sangat miris,” ucap Ustazah Ambawani. Beliau mencontohkan salah satu kasus bullying yang menimpa seorang pelajar yang dilakukan oleh teman sebayanya. Korban dipaksa menyetubuhi seekor kucing dan merekamnya, hingga membuat korban depresi dan kemudian meninggal dunia. Fakta ini menunjukkan betapa rusaknya keadaan generasi muda saat ini.
Umi Jauhara menjelaskan faktor penyebab rusaknya generasi saat ini. Pertama, minimnya pendidikan dan pemahaman agama. Kedua, jenjang pendidikan tinggi yang sulit dijangkau karena mahalnya biaya pendidikan sehingga banyak dari anak muda yang tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Ketiga, sulitnya mencari kerja melahirkan generasi yang lebih suka bermalas- malasan. Akibatnya, generasi muda lebih mudah terjerumus pada hal negatif, seperti pergaulan bebas maupun obat-obatan karena mereka tidak tau ke mana mencari solusi. Padahal dalam Islam, semua masalah sudah ada solusinya.
Umi Jauhara menjelaskan lebih lanjut bahwa pandangan hidup kapitalisme saat ini menilai kesuksesan hanya dari materi. Tujuan utama kehidupan adalah mengejar materi dengan menghalalkan segala cara. Padahal Islam menilai kesuksesan seseorang itu dari seberapa berhasil seseorang itu mendapatkan rida Allah dengan mematuhi aturan-Nya dan menjahui larangan-Nya.
"Lalu bagaimanakah caranya mencetak generasi sekelas para sahabat, seperti Imam Syafi 'i yang pada usia 15 tahun sudah berfatwa? Muhamad Al-Fatih telah hafal Al-Qur’an saat 7 tahun dan pada usia 21 tahun berhasil menaklukkan Konstantinopel. Apakah mungkin saat ini kita bisa melahirkan generasi seperi mereka?" Tanya Ustazah Ambawani.
"Pada kondisi negara yang saat ini tidak menerapkan nilai Islam sangatlah sulit untuk menyamakan visi orang tua, lingkungan, maupun negara. Banyak anak yang dididik dengan baik di rumah namun akhirnya rusak karena lingkungan yang tidak mendukung akibat tidak ada aturan yang tegas dari pemerintah. Dalam Islam, konstitusi berjalan sesuai dengan nilai Islam. Jadi antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah punya keselarasan dalam membentuk generasi yang baik. Lingkungan yang mendukung sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Menjadikan orang tua lebih tenang melepas anaknya mencari ilmu, pemudanya juga mendapat dukungan dan sarana yang baik untuk menggali potensinya, sehingga menghasilkan generasi sekelas Imam Syafi'i dan Muhammad Al-Fatih,” jelas Umi Jauhara.
"Saat ini kita terpuruk karena kita hidup di zaman yang tidak nyambung, aturan yang tidak jelas, dan kurangnya sanksi yang tegas. Banyak pemuda berpotensi namun kurang dukungan negara dan sistem,” lanjut Umi Jauhara.
"Lalu apa solusi untuk orang tua dalam rangka mencetak generasi mendatang agar bisa membangun peradaban yang mulia?" Ustazah Ambawani mengajukan satu pertanyaan yang mewakili keresahan orang tua hari ini.
Umi Jauhara mengutip penjelasan Q.S. Luqman ayat 17 berikut.
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
“Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.”
Pondasi keimanan di sini menjadi benteng utama generasi. Selanjutnya Allah juga memerintahkan hamba-Nya agar tidak diam saja melihat kemaksiatan. Jika kita memiliki kekuasaan, seharusnya kekuasaan tersebut digunakan untuk mencegah kemasiatan dengan mengeluarkan UU untuk mencegah zina dan pacaran. Jika kita tidak punya kekuasan, kita bisa menggunakan lisan untuk mencegahnya. Namun jika masih juga tidak mampu, setidaknya tolaklah dengan batin namun itu selemah lemahnya iman.
Hari ini, peran utama ibu yang seharusnya menjadi pendidik generasi juga telah bergeser. Sistem sekularisme kapitalisme telah mengubah peran ibu dari yang seharusnya sebagai madrasah pertama generasi menjadi penggerak ekonomi keluarga. Inilah yang makin membuat rapuh dan rusaknya generasi. Dalam Islam, negara mengambil peran penting sebagai benteng penjaga akidah umat, mengembalikan fitrah ibu, dan menggerakkan potensi generasi muslim dalam koridor Islam. Negara juga menjamin kesejahteraan individu warga negara dengan mengelola sendiri SDA secara optimal, bukan asing. Dengan demikian, manfaatnya bisa digunakan secara maksimal untuk kepentingan rakyat. Antara lain untuk membiayai pendidikan dan kesehatan masyarakat secara gratis. Mekanisme seperti inilah yang mampu mencetak generasi pemimpin peradaban mulia seperti Imam Syafi’i, Imam Nawawi, dan generasi hebat terdahulu. Kerusakan- kerusakan yang menimpa generasi muda akibat penerapan sistem kapitalisme ini hanya bisa pulih jika kita kembali kepada sistem Islam yang sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Demikian penjelasan Umi Jauhara mengakhiri diskusi.
Wallahu'alam bishawab
Oleh: Ika Kusuma
Aktivis Muslimah
0 Comments