TintaSiyasi.com -- Setelah dibuat sejak Maret 2015 naskah akademik RUU KUHP diterbitkan oleh pemerintah, disahkan pula menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada tanggal 6 Desember 2022. Tidak hanya adanya beberapa poin yang menimbulkan kontroversi, tetapi juga mengandung makna ganda (ambigu) yang berpotensi berlaku zalim atas beberapa individu maupun kelompok tertentu. Bagaimana pandangan Islam tentang perkara ini?
KUHP TERBIT DENGAN MAKNA GANDA (AMBIGU)
Bagi para praktisi HAM disahkannya KUHP merupakan "bencana" dikarenakan terdapat adanya larangan bagi pasangan yang belum menikah untuk hidup bersama, serta membatasi kebebasan politik dan agama.
Salah satu pasal KUHP yang baru adalah adanya tindak pidana bagi para pelaku seks bebas hingga satu tahun penjara, sedangkan bagi pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan akan dihukum selama enam bulan penjara.
Disisi lain, peneliti senior Human Rights Watch, Andreas Harsono kepada Australian Broadcasting Corporation (ABC) menilai hal tersebut tetap berbahaya karena akan membuka pintu bagi "penegakan hukum selektif". Artinya, pasal itu hanya akan diterapkan terhadap target tertentu.
Targetnya bisa hotel, mungkin juga turis asing, yang akan memungkinkan petugas polisi tertentu memeras atau politisi tertentu memanfaatkan misalnya undang-undang penistaan agama untuk memenjarakan lawan politik mereka.
Setali tiga uang, juru bicara Kementerian Hukum dan HAM, Albert Aries mengatakan bahwa resiko pelanggaran tindak pidana lebih kecil bagi wisatawan. Pasalnya siapa pun yang akan melaporkan adanya pelanggaran tersebut ke polisi, kemungkinan besar adalah WNI.
Tidak kalah mirisnya, KUHP yang baru disahkan ini akan mulai berlaku dalam tiga tahun kedepan bagi warga negara Indonesia, penduduk asing yang menetap di Indonesia, serta turis asing. Dengan catatan adanya laporan dari orang terdekat para pelaku yang diajukan ke kepolisian, dikarenakan polisi hanya akan menyelidiki kasus ini apabila ada anggota keluarga yang melapor. Seperti orang tua, pasangan sah atau anak dari pelaku. (www.bbc.com, 07/12/2022)
Hukum Dari Akal Yang Lemah Memicu Kontradiktif
Ketika akal manusia yang lemah dan terbatas menetapkan suatu hukum, maka hukum yang lahir juga turut lemah karena sesuai dengan kepentingan si pembuat hukum. Demokrasi yang berasaskan suara rakyat, menjunjung tinggi HAM, namun faktanya saat ini pengesahan KUHP masih menimbulkan pertentangan dari berbagai pihak, bahkan berpotensi melanggar HAM itu sendiri.
Misalnya dalam pasal 424 terkait minuman dan bahan memabukkan,
(1) Setiap orang yang menjual atau memberi minuman atau bahan yang memabukkan kepada orang yang sedang dalam keadaan mabuk, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
Narasi yang diberikan sungguh amatlah "aneh", karena dapat dikategorikan pelanggaran jika memberikan minum memabukkan kepada orang yang telah tahu sedang mabuk, jadi jika yang tadinya orang tersebut dalam keadaan sadar tidak dapat dikenakan oleh pasal ini. Harus menunggu mabuk dulu.
Pasal 411 dan 412 tentang hubungan seks diluar nikah dan hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan pernikahan akan diancam hukuman pidana, dengan catatan adanya laporan dari orang-orang terdekat. Artinya, jika perzinahan itu dilakukan tanpa adanya laporan, maka pelaku perzinahan tidak akan dikenakan hukum pidana.
Keseluruhan hukuman itu akan dilakukan di tempat umum yang akan disaksikan oleh semua masyarakat, sungguh hukuman yang Islam berikan amatlah sempurna. Memberikan efek jera bagi para pelaku dan memberikan pelajaran bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan perzinahan, serta akan memutus mata rantai penyakit HIV/AIDS.
Pasal 218 yang berbunyi "pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara apabila menyerang kehormatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, menista, atau memfitnah kepala negara". Dalam narasi ini sungguh dapat memberikan makna yang multitafsir dan terkesan "otoriter" nantinya. Pasalnya pemerintah dapat dengan mudahnya menggunakan pasal ini untuk menghukumi orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah, dan bisa saja pasal ini digunakan untuk membungkam orang atau kelompok yang tidak "disukai" oleh pemerintah.
Yang tidak kalah disayangkan adalah hukuman yang diberikan bagi para pelaku yang dianggap melanggar pasal 218, dimana hukuman yang diberikan lebih berat dari pelaku perzinahan. Dari sini terkesan jika kedudukan pemerintah lebih tinggi dari aturan Allah SWT yang mengharamkan perzinahan.
Tidak hanya itu, KUHP tersebut baru akan diterapkan setelah 3 tahun kedepan. Artinya penerapan KUHP ini akan diterapkan pada tahun 2025, sedangkan pada tahun 2024 negeri ini akan melakukan pesta demokrasi. Terlepas dari "aneh" nya beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP tersebut, bukan tidak mungkin presiden yang akan datang akan mengeluarkan PERPRES untuk membatalkan KUHP ini.
Sungguh tidak ada harapan apapun yang bisa disandarkan terhadap sistem sekuler kapitalis. Disatu sisi ingin merebut simpatik masyarakat, tetapi disisi lain justru hanya memikirkan keuntungan materi semata yang didapat dari para oligarki.
Hukum Islam Tidak Akan Zalim
Islam sendiri telah mengharamkan minuman yang memabukkan, baik itu didapat mulai dari skala kecil maupun besar. Sehingga dalam kepemimpinan Islam, minuman memabukkan tidak akan diberikan ruang sedikitpun. Pasalnya minuman memabukkan ini berpotensi menghilangkan akal dan malah menambah kerusakan sosial tanpa adanya kesadaran si pelaku kejahatan.
Kemudian, di dalam Islam perihal perzinahan merupakan perbuatan yang diharamkan, dan hukuman yang didapat bagi para pelakunya sungguh berat. Dimana para pelaku perzinahan yang belum menikah akan dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun ke tempat atau kota lain, sedangkan bagi para pelaku perzinahan yang sudah menikah atau pernah menikah akan di cambuk sampai mati.
Begitu pula perihal mengkritik pemerintah. Di dalam sistem Islam, seorang pemimpin atau Khalifah dalam pemerintahan Islam adalah sosok yang memiliki kesadaran penuh akan keterikatannya terhadap hukum syara', baik sebagai pribadi atau sebagai pemimpin negara. Pemimpin yang melayani segala urusan rakyatnya, sehingga para pemimpin dalam pemerintahan Islam tidak akan anti terhadap kritikan. Dan tidak perlu payung hukum untuk melindungi kepentingan pribadi mereka, karena pemimpin dalam sistem Islam lebih mengedepankan ketaatannya pada Allah Ta'ala ketimbang keberlimpahan harta benda.
Sudah saatnya umat sadar bahwa hukum yang diterapkan di negeri ini sudah terang-terangan menandingi hukum Allah Ta'ala dan sudah saatnya umat ikut berperan dalam memperjuangkan diterapkannya hukum Islam dalam bingkai negara, karenanya hanya dengan kepemimpinan dalam negara Islam kaffah akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh alam.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Anbiya : 107
"Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam"
Wallahu a'lam Bish-shawab.
Oleh: Zultianita Febri Nasution, S.Psi
Penulis, Pegiat Literasi Islam, Pekanbaru
0 Comments