Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Impor Beras Bukan Solusi Ketahanan Pangan Dalam Negeri

TintaSiyasi.com -- Stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) milik Perusahaan Umum Badan Usaha Logistik atau Perum Bulog diproyeksikan hanya tersedia sekitar 399.550 ton hingga akhir 2022 jika tidak dilakukan penyerapan atau importasi. 

Sebelumnya, Perum Bulog menyampaikan stok beras saat ini hanya tersedia di level 594.856 ton, kurang setengahnya dari target, yakni minimal 1,2 juta ton. Apabila, penyaluran operasi pasar atau program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) terus dilakukan untuk menekan inflasi dan bantuan seperti bencana alam, diproyeksikan CBP hanya tersisa di kisaran 399.550 ton pada akhir tahun. Sementara itu, berdasarkan data penyaluran KPSH Perum Bulog hingga Oktober 2022, realisasi penyaluran telah mencapai sekitar 821.000 ton. Per September 2022, penyaluran KPSH terbanyak berada di provinsi Sulawesi Selatan (104.891 ton) dan terendah di Bengkulu (2.136 ton).

Rencananya, untuk memenuhi pasokan CBP sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di angka 1,2 juta ton, Perum Bulog telah mengamankan 500.000 ton beras di luar negeri yang siap dikirim masuk ke Indonesia bila dibutuhkan. Mirisnya, belum 6 bulan Indonesia ditetapkan berhasil swasembada beras dalam 3 tahun terakhir, Indonesia terancam melakukan importasi kembali untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Ekonomi.bisnis .com, 27 November 2022)

Ketua Umum Perkumpulan Penggiling Padi dan Pengusaha Beras atau Perpadi, Sutarto Alimoeso, menuturkan petani saat ini lebih memilih untuk menyimpan berasnya atau menjualnya langsung di sawah dibandingkan dengan menjual berasnya ke Perum Bulog  karena harga belinya jauh lebih tinggi dibandingkan harga beli yang ditetapkan BUMN tersebut sebesar Rp 9.700 per kg.
Menurut Sutarto, pemerintah harus cermat untuk memutuskan kapan waktu yang tepat untuk membeli dan menjual. Seharusnya, pemerintah membeli CBP saat produksi beras berlebih. Sebaliknya, pemerintah bisa menjual beras pada saat produksinya kurang. Dengan demikian, harga beras dapat stabil dan tidak terjadi kenaikan. (katatadata.co.id , 21 November 2022)

Bagi penduduk Indonesia, Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok utama.  Namun pemerintah cenderung mencukupi kelebihan kebutuhan permintaan beras dengan impor. Sebagai negara agraris, dengan lahan pertanian yang begitu luas, tentu hal tersebut menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Ada apa dibalik kebijakan  impor?

Kebijakan dalam negeri yang menganut demokrasi kapitalis sarat kepentingan oligarki yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Walaupun dikatakan sebagai negara agraris namun swasembada pangan yang berkelanjutan tidak akan terwujud. 

Dikutip dari forestdigest.com, Said Abdullah, Koordinator Nasional KRKP, mengatakan bahwa pemerintah masih kurang memperhatikan investasi pertanian selain infrastruktur. soal riset , teknologi, pendampingan, hingga akses pasar juga sangat diperlukan sebagai pendukung produktifitas hasil padi.

Ukuran swasembada di Indonesia adalah jika kebutuhan konsumsi dalam negeri itu bisa dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Dalam siklus ekonomi, impor bukan hal tabu, terutama untuk komoditas yang tak bisa berkembang di Indonesia. Sebagai negara yang mengembangkan stempel agraris, impor beras acap jadi momok tiap rezim pemerintahan.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah negeri ini telah gagal dalam mewujudkan lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri. kebijakan pengelolaan pangan yang bersifat kapitalistik jelas tidak berpihak pada petani seperti naiknya harga pupuk , yang menyebabkan produksi berkurang.

Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan  melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal .
Di sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi bagi pangan. Sistem negara Islam, yaitu Khilafah, memiliki sejumlah mekanisme bagaimana mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain.

Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.
Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.
 
Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya.(muslimahnews.com)

Sesuai syariat, Pemimpin akan bertanggungjawab secara penuh atas terwujudnya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan tanpa campur tangan pihak asing ataupun korporasi karena Sistem ekonomi Islam memiliki prinsip bahwa negara benar-benar memegang kendali.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Negara Islam dengan sistem ekonomi Islamnya bertekad mewujudkan swasembada pangan dan menghindari ketergantungan impor . Dengan potensi sumber daya alam dan energi yang besar yang dimiliki negara Islam akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memutar roda perekonomian dan menyejahterakan rakyatnya.

Demikianlah Negara Islam sangat memperhatikan kebutuhan pangan (pokok) rakyatnya sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga terhindar dari krisis pangan dalam kondisi apapun. Wallhhu’alam


Oleh: Dewi Ratih
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments