Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hari Anti Korupsi, Jangan Sekadar Diperingati


TintaSiyasi.com -- Indonesia baru saja memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) yang jatuh pada tanggal 9 Desember setiap tahun. Tahun 2022 ini peringatan Hakordia tersebut mengangkat tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi”. Sungguh tema yang sangat apik.

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri menyebutkan bahwa peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi.

Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.
"Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022.
 
Kurnia menyebut partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang seharusnya menjalankan fungsi check and balances justru kompak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam penyusunan regulasi bermasalah. "Tak cukup itu, konflik kepentingan dengan balutan penunjukan Penjabat Kepala Daerah tampak terang benderang dipertontonkan oleh pemerintah," katanya (tirto.id, 11/12/2022).

Apalagi kasus korupsi yang baru terjadi juga masih dari kalangan pejabat yaitu penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi makin menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan.

Firli Bahuri, Ketua KPK mengatakan, Latif tidak hanya bermain di isu mutasi dan rotasi jabatan. Ia juga mematok fee 10 persen dari setiap anggaran proyek. KPK menduga, Latif telah mengantongi uang hingga Rp5,3 miliar melalui orang kepercayaannya (tirto.id, 9/12/2022).

Dengan fakta diatas yang menunjukkan semakin meningkat kasus korupsi di Indonesia, tentu semua pihak dan masyarakat Indonesia pastinya berharap bahwa Hakordia tahun 2022 yang mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi” bukan sekadar jargon, bukan sekedar seremonial dan bukan sekedar upaya pemerintah untuk meraup simpati masyarakat. Apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. 

Namun, untuk membarantas korupsi hingga ke akar nya bisakah kita berharap pada sistem demokrasi yang diterapkan hari ini? bukankah sistem demokrasi justru menjadi biang keladi atas tumbuh subur nya kasus korupsi?

Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan serius. Apalagi kepercayaan publik makin lemah terhadap KPK, padahal KPK merupakan lembaga khusus untuk meberantas korupsi. Namun kenyataan nya kasus korupsi semakin menjadi jadi. 

Korupsi di dalam sistem demokrasi adalah hal yang lumrah terjadi. Sistem demokrasi secular yang memisahkan aturan agama dari kehidupan masyarakat menjadikan setiap individu bebas melakukan apa saja tanpa ada pertimbangan halal haram. Ditambah lagi dengan mahalnya biaya politik di dalam demokrasi yang mengakibatkan setiap orang yang ingin menjabat menduduki kursi kekuasaan harus memiliki dan mengeluarkan modal yang besar. Maka wajar jika setelah berhasil menduduki jabatan nya, mereka akan berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk mengembalikan biaya yang sudah mereka keluarkan. Sekalipun dengan cara haram bahkan mengorbankan rakyat.

Inilah kerusakan sistem demokrasi. Maka, selama sistem demokrasi masih diterapkan selama itu pula akan menjadi peluang untuk terus memunculkan kasus korupsi selanjutnya. Selain itu, sanksi tegas juga tidak diberlakukan bagi para koruptor sehingga kasus ini terus berulang. Sanksi yang diberlakukan tidak memberi efek jera bagi pelaku nya. Ini terbukti dari semakin tinggi nya kasus korupsi setiap tahun. 

Untuk itu, sebagai umat yang cerdas kita harus berpikir memperbaiki kondisi buruk ini. Kita membutuhkan sistem yang mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Itulah sistem islam yang disebut dengan sistem khilafah. Khilafah akan menjadikan syariat Islam sebagai aturan yang diterapkan dalam kehidupan. 

Islam memandang kasus korupsi adalah perbuatan khianat dan tidak termasuk defenisi mencuri. Karena perbuatan tersebut adalah penggelapan uang yang diamanatkan kepada seseorang. Di dalam hadis Nabi SAW, “Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor), orang yang merampas harta orang lain dan penjambret.” (HR. Abu Dawud).

Sistem Islam akan menutup semua celah tindak korupsi, mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang akan membuat jera pelakunya. Maka sanksi atas pelaku korupsi adalah hukuman takzir. Seorang hakim/qadhi akan memberi hukuman sesuai dengan level kejahatannya. Sanksi terendah dari seorang hakim bagi pelaku korupsi adalah teguran, bisa berupa penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media masa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu mati. 

Sungguh luar biasa aturan islam jika diterapkan pastinya tidak akan memberikan peluang sedikit pun bagi pelaku korupsi untuk berani berbuat. Untuk itu, sudah saatnya kita menjadikan sistem islam sebagai aturan dalam kehidupan kita karena aturan Islam jika diterapkan pasti akan membawa kebaikan bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Pipit Ayu
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments