TintaSiyasi.com -- Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia terasa hanya sekadar seremoni tanpa makna. Beberapa Provinsi merogoh anggaran yang tidak sedikit guna memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA). Ironisnya, meskipun peringatan ini dilaksanakan setiap tahun namun kasus korupsi tak juga dapat terbendung akibat dari gaya hidup kapitalisme. Yang mana para petinggi negara tak lagi fokus mengurusi urusan rakyat melainkan mengatasnamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. "Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022. "Data ini semestinya menjadi alarm yang harus disambut dengan pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu," tambahnya (tirto.id, 11 Desember 2022).
Ditambah lagi dengan pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Korupsi tidak lagi menjadi kejahatan serius, sebaliknya korupsi malah dianggap sebagai sesuatu yang melekat pada para politisi.
Kepercayaan publik terhadap KPK juga makin lemah, padahal KPK merupakan lembaga khusus yang bertugas untuk memberantas korupsi. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap KPK berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir. Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini anjlok diduga tak terlepas dari perilaku insan di dalamnya (Kompas, 9 Desember 2022).
KPK diduga telah kehilangan independensinya sebagai lembaga antikorupsi yang memang dibentuk untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. Disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan revisi kedua atas UU 30/2002, juga makin mengerdilkan wewenang KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Misalnya, Pasal 3 UU No.19 Tahun 2019 mengatur bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Meskipun dalam pasal ini disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, namun ketentuan ini tetap membuat KPK tidak independen.
Hambatan lain juga ditemukan dalam pasal terkait penindakan, penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan. Misalnya, Pasal 37B ayat (1) huruf b UU No.19 Tahun 2019 yang mengatur tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan terlebih dulu harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
KPK makin sulit untuk dijadikan sebagai teladan integritas karena banyaknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh insan KPK, khususnya para pimpinannya. Seperti kasus Ketua KPK Firli Bahuri yang menjadi sorotan masyarakat, di mana beliau menampilkan gaya hidup mewah. Kemudian mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang melakukan pertemuan dengan pihak berperkara serta diduga menerima gratifikasi.
Belum lagi adanya sejumlah oknum Internal KPK yang diduga terjerat dalam lingkaran suap penanganan perkara, pencurian barang bukti, serta berbagai tindak pelanggaran lainnya. Tindakan-tindakan seperti ini menunjukkan minimnya integritas SDM di internal lembaga pemberantas korupsi ini.
Hakordia seharusnya menjadi sarana evaluasi dan inovasi dalam kinerja dan usaha pemberantasan korupsi kedepannya. Tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi” jangan sampai hanya dijadikan sebagai jargon pelengkap kegiatan seremonial belaka, atau upaya bersolek pemerintah untuk meraup simpati masyarakat. Hakordia harus digunakan sebagai momentum serius dalam upaya pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang kekuasaan untuk mengembalikan ruh pemberantasan korupsi seperti sedia kala.
Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi. Sungguh berbeda dengan sistem Islam yang menutup semua celah tindak korupsi, mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk tentang kepemilikan. Baik itu kepemilikan pribadi, kepemilikan umum maupun kepemilikan negara. Islam pun mengatur bagaimana tata cara yang harus dilakukan setiap Muslim dalam mengelola dan mengembangkan hartanya. Begitulah sistem ekonomi Islam bukan hanya sekadar ilmu ekonomi, melainkan sebuah sistem yang terikat dengan pandangan hidup penganutnya.
Dari Mu’az bin Jabal, ia berkata: “Rasulullah mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali dan beliau berkata: apakah engkau tahu aku mengirimmu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu.”
Larangan korupsi juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, beliau selalu mengawasi harta yang diperoleh oleh bawahannya secara ketat. Tak tanggung-tanggung, beberapa kali Umar juga membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah. Apalagi, jika diketahui bahwa hartanya itu didapat dari pendapatan lain selain gaji yang diberikan oleh negara.
Pencegahan korupsi ini juga dilakukan melalui beberapa mekanisme, diantaranya peraturan hidup dalam Islam yang mengharuskan setiap Muslim untuk mau terikat dengan hukum syarak. Sehingga keterikatan terhadap hukum syarak ini akan menjadi alarm pengingat dalam diri setiap individu untuk menjauhi dan menutup semua celah tindak pidana korupsi. Kemudian, adanya kewajiban untuk beramar makruf nahi mungkar sehingga akan ada alarm pengingat dari orang-orang disekitar kita dalam mengantisipasi terjadinya korupsi.
Sesuai dengan Firman Allah, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104).
Mekanisme terakhir adalah adanya pemberian sanksi yang membuat jera, sehingga pelaku korupsi tidak akan mau mengulangi kesalahan yang sama dan yang menyaksikan hukuman tidak akan mau mendapatkan hukuman seperti para pelaku korupsi. []
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns.
Aktivis Muslimah
0 Comments