Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hakordia Hanya Seremoni Semata

TintaSiyasi.com -- Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 menjadi catatan penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kepercayaan publik terhadap institusi ini anjlok, yang diduga tak terlepas dari perilaku insan di dalamnya.

Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19-21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah ini berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir.(Kompas.com, 9/12/2022).

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut Hakordia tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. 

ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.

 "Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW.( tirto.id,  11/12/2022).

Korupsi di kalangan politisi bukanlah hal baru. Korupsi justru sangat subur di kalangan politisi. Politisi yang tidak korupsi justru akan tampak aneh di dalam sistem demokrasi. Korupsi seolah sudah menjadi budaya, bahkan sudah seperti kebiasaan pokok.

Bagaimana tidak? Politisi pasti butuh kendaraan politik dengan biaya fantastis. Dukungan dana dari pihak konglomerasi alias pemodal, tentunya bukan makan siang gratis. Sang politisi harus balik modal ketika menjabat. Akibatnya, menjadi politisi pun menggeser peran utamanya. Politisi tidak lagi murni sebagai wakil rakyat atau pejabat negara yang mengurusi urusan masyarakat, tetapi lebih kepada mencari nafkah, yang selain untuk balik modal juga untuk mengamankan kekayaan untuk keluarganya setelah nanti dirinya purna tugas. Pada akhirnya, korupsi dianggap jalur alternatif untuk mencari nafkah juga.

Begitu pekatnya korupsi di Indonesia, sungguh tidak heran jika dalam pemeringkatan Negara Terbaik 2022 dari US News (27-09-2022) Indonesia menempati posisi ke-30 dari 85 negara yang menduduki peringkat sebagai negara paling korup di dunia.

Tidak hanya itu, politisi juga bergelimang manipulasi saat pemilu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Belum lagi mekanisme politik uang yang pasti menyertai. Hal ini tentu berdampak pada kualitas politisi tersebut sehingga kita patut mempertanyakan keikhlasannya dalam mengemban amanat rakyat.

Nyatanya, kinerja pejabat penyelenggara pemilu pun karut-marut. Pemilu yang katanya bersifat LUBeR (langsung, umum, bebas, rahasia) dan JurDil (jujur, adil) hanya tinggal retorika. Manipulasi data pemilih dan hasil pemilulah yang malah mendominasi. Parahnya lagi logistik pemilu yang sesat logika. Coba kita pikir saja, bagaimana mungkin kotak suara menggunakan kardus yang digembok?

Anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo juga menegaskan bahwa sanksi yang dijatuhkan DKPP akan membuktikan bahwa lingkungan penyelenggara pemilu di Indonesia berisi orang-orang yang profesional, mandiri, dan berintegritas, sehingga masyarakat tidak akan meragukan hasil dan proses pelaksanaan tahapan pemilu. Dewi mengingatkan tentang pentingnya penegakan hukum pemilu karena penegakan hukum menjadi syarat mutlak terwujudnya pemilu berkualitas di Tanah Air.

Namun, siapa yang menjamin kemurnian rekam jejak pemilu? Toh manipulasi dan tipu-tipu seolah sudah menjadi syarat wajib saat momen pemungutan suara.

Sungguh, penangkapan Bupati Bangkalan hanyalah secuil cerita korupsi oleh politisi. Ini fenomena gunung es. Politisi lain yang belum tertangkap, tentu masih lebih banyak lagi. Misalnya saja Harun Masiku, kelanjutan proses penangkapannya telah menguap, bahkan bagai mimpi di siang bolong.

Wajar jika kepercayaan publik terhadap institusi KPK pun anjlok. Hal ini diduga tidak terlepas dari perilaku insan di dalamnya. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 19—21 Juli lalu terhadap 502 responden, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah ini berada di posisi terendah dalam lima tahun terakhir, yakni pada angka 57%. Padahal, pada Januari 2022 ada di angka 76,9%. Dalam perjalanannya, citra KPK cenderung menurun terutama setelah revisi Undang-Undang KPK, yang berakibat pada menurunnya kadar independensi dan integritas KPK. KPK dinilai makin minim dalam menangani kasus strategis.

Parahnya lagi, pada RKUHP yang beberapa hari lalu baru disahkan menjadi KUHP, memuat sejumlah pasal kontroversial yang diantaranya adalah pasal pengurangan hukuman bagi koruptor. Hal ini termuat dalam pasal 603, yang menjelaskan bahwa koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun yang sebelumnya empat tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp2 miliar. Berikut ini kutipan pasalnya:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”

Lantas bagaimana sanksi korupsi akan memberikan efek jera pada pelakunya? Jika sudah begini, apa yang bisa kita harapkan dari peringatan Hakordia? Hanya seremoni atau sekadar panggung tebar janji pemberantasan korupsi?

Semua ini adalah mimpi buruk. Tidak heran jika publik makin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sudah kadung membudaya di Indonesia, bahkan acapkali terjadi berjemaah. Ini sungguh bukti luar biasa keruh dan hitamnya lumpur korupsi. Hukuman korupsi yang ada selama ini (sebelum pengesahan RKUHP) saja tidak membuat jera, apalagi jika hukumannya dikurangi melalui KUHP baru.

Sungguh, hanya di dalam sistem sekuler suatu tindak pidana malah dilindungi dan tidak tuntas diberantas. Terlebih jika ada kepentingan tertentu. Tidak heran, hukuman korupsi pun termasuk sesuatu yang berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman atau malah agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum.

Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi Islam. Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persanksian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.

Di samping itu, sistem Islam secara holistik akan meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu. Hal ini jelas memudahkan proses hukum pada pelaku. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan. Dirinya meyakini bahwa hukuman di akhirat akan lebih dahsyat. Oleh karena itu, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dirinya pun rida dengan sanksi yang menjadi konsekuensi untuk ia terima.

Namun, coba kita lihat para koruptor saat ini. Alih-alih tobat nasuha, begitu dirinya bebas dan ada kesempatan lagi, dirinya malah tidak segan untuk mengulangi tindak korupsi, yang kalau bisa dengan jumlah yang lebih fantastis. Astaghfirullah.

Allah SWT. berfirman:
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗ    وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

 “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 49).

Korupsi bukan lagi PR besar bagi negeri ini. Korupsi adalah bencana sistemis. Peringatan Hakordia pun hanya seremoni, tidak ubahnya lipstik pemoles lemahnya kinerja pemberantasan korupsi. Justru sebagai negeri muslim terbesar di dunia, sudah selayaknya negeri ini menerapkan sistem Islam, bukan sistem kufur buatan penjajah dengan sistem hukum yang berlandaskan hawa nafsu manusia. Dan agar semua orang faham akan permasalahan ini dibutuhkan negara yang menerapkan Islam kaffah dengan sistem pemerintahannya yang disebut Khilafah. Solusi tuntas hanyalah dengan membuang sekulerisme kapitalisme, oleh karena itu mari menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Ai Sopiah
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments