TintaSiyasi.com -- Tak terasa sudah satu bulan lebih berlalu kabar duka yang menimpa kota yang mendapat julukan kota santri. Sedikit kita menilik kejadian silam bencana gempa berkekuatan 5,6 magnitudo pada 21 November 2022 silam yang telah mengguncang dan memporakporandakan kota Cianjur, Jawa Barat.
Telah diketahui bersama dari berbagai media, gempa 5,6 itu telah memakan banyak korban, setidaknya nyawa melayang hingga mencapai 635 jiwa dan 5 orang masih di nyatakan hilang. Tidak hanya itu saja, banyak warga yang selamat, namun mendapati rumahnya yang hancur dan porakporanda.
Lantas timbul pertanyaan dalam dada, bagaimana kabar mereka sekarang? Bagaimana dengan tempat tinggal mereka? Dan sebagainya.
Faktanya, setelah satu bulan duka berlalu, namun sejumlah warga masih banyak yang bertahan di tenda-tenda pengungsian, menanti kepastian untuk memulai kehidupan normal seperti dulu. Contohnya Di Desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, masih ada warga yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan "lebih 8.300 warga telah menerima dana stimulan tahap pertama untuk membenahi rumah mereka". Sejak Rabu (21/12), BNPB menyatakan proses penanganan korban gempa Cianjur memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, setelah masa tanggap darurat. Pada tahap ini pemerintah akan fokus membangun kembali hunian warga serta infrastruktur yang rusak, dengan target akan rampung pada Juni 2023.
Sebelumnya, pemerintah telah menjanjikan kepada masyarakat Crampung yang menjadi korban gempa, dana bantuan sebesar Rp60 juta untuk rumah rusak berat, Rp30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp15 juta untuk rumah rusak ringan.
Adanya kondisi warga yang masih hidup di tenda, pemerintah harusnya bisa lebih gesit dan serius dalam menangani permasalahan pasca bencana alam ini. Jangan sampai warga yang selamat, hidup luntang lantung, semakin terjangkit penyakit, sebab tidak mendapati tempat tinggal yang layak lagi nyaman.
Setidaknya kita bisa belajar lebih tanggap, bagaimana Islam menangani permasalahan pasca bencana. Mengutip tulisan Syamsuddin Ramadhan pada Muslimahnews.com, setidaknya dalam upaya mengatasi potensi terjadinya bencana alam, Negara Islam memiliki langkah stategis dengan menempuh dua kebijakan sekaligus yaitu preventif dan kuratif.
Pertama, kebijakan preventif, hal ini dilakukan sebelum terjadinya bencana (pra bencana). Tujuannya untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan, termasuk menutup celah bagi para korporasi melakukan eksploitasi sumber daya alam.
Kedua, kebijakan kuratif, yaitu mencakup saat dan pasca bencana. Upaya yang dilakukan saat bencana tujuannya untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan evakuasi secepatnya, membuka akses jalan, memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat yang tidak dihuni oleh manusia, pembentukan dapur umum dan posko pengungsian, serta kebutuhan media lainnya.
Sebagai contoh, penanganan bencana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah—untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud. Umar bin Khaththab menempatkan mereka di perbatasan Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang yang memasuki Madinah. Para pengungsi itu tinggal di Madinah selama musim paceklik. Mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar. Setelah musim paceklik berakhir, Khalifah Umar mengakomodasi mereka kembali ke kampung halamannya.
Ketiga, kebijakan kuratif pasca bencana, semua kegiatan yang bertujuan melakukan re-covery mental masyarakat yang terdampak untuk memulihkan kondisi psikis mereka. Dengan memenuhi segala kebutuhan makanan, minuman dan kebutuhan medis. Kemudian melakukan re-covery lingkungan tempat tinggal pasca bencana. Melakukan perbaikan pada bangunan vital seperti kantor pemerintahan, rumah sakit, tempar ibadah, dan lain-lain. Termasuk merelokasi penduduk ke tempat yang lebih aman dan kondusif.
Inilah langkah yang ditempuh oleh khilafah dalam mengatasi bencana. Semua kebijakan tersebut berdiri atas prinsip aqidah Islam, dimana khalifah menjalankan amanahnya sebagai pelayan rakyat dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah atas urusan rakyatnya.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari).
Atas dasar inilah, maka tidak diragukan lagi bahwa hanya khilafah yang memiliki solusi komprehensif dalam mengatasi bencana alam.
Wallaahu a’lam bishshawwab.[]
Oleh: Ropika Sapriani
Aktivis Muslimah
0 Comments