TintaSiyasi.com -- Pembangunan IKN, sejak awal direncanakan hingga masuk tahapan realisasi saat ini masih saja menuai berbagai kontroversi. Yang terbaru adalah terkait dengan lamanya waktu yang diberikan kepada para investor untuk menyelesaikan proyek IKN ini.
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia buka suara soal rencana pemerintah memberikan hak pengelolaan lahan di Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) sampai dengan 180 tahun ke investor. Ia mengatakan itu adalah strategi pemanis (sweetener) agar investor mau masuk ke IKN. Karenanya, insentif tersebut hanya berlaku khusus bagi investor yang akan masuk ke proyek di IKN Nusantara. Menurutnya, insentif seperti itu sudah banyak dilakukan oleh negara lain untuk menarik investor. Jadi, sah-sah saja jika Indonesia juga berencana untuk melakukan itu. (CNNIndonesia, 9 Desember 2022)
Sebagai contoh, di Singapura juga menerapkan kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) sampai dengan 100 tahun lebih. Bahlil tak memungkiri memang untuk menarik investor di wilayah baru memang harus dilakukan marketing yang menarik dan berbeda, seperti proyek IKN di Kalimantan Timur tersebut. Bahlil juga membantah kebijakan tersebut dilakukan karena saat ini investor yang masuk IKN sepi peminat. Ia mengklaim beberapa investor sudah menyatakan komitmen masuk ke IKN, seperti dari Uni Emirat Arab, China, Korea Selatan, hingga negara Eropa. (CNNIndonesia, 9 Desember 2022)
Bahlil juga menyatakan bahwa hal ini ditempuh sebagai bentuk upaya tawar-menawar, sehingga haruslah dicari jalan keluar bersama, win-win solution. Negara dapat, pengusaha juga harus dapat. Sementara, Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang ditemui di tempat yang sama mengungkapkan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait mengenai rencana tersebut.
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah berencana untuk merevisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN). Alasannya karena banyak investor yang ingin isi aturan mengenai hak pengelolaan lahan diubah.
Investor menginginkan untuk bisa bukan hanya mendapatkan hak selama 90 tahun atau bisa dua kali lipat 180 tahun, tetapi bagaimana orang bisa beli tanah di sana atau tidak. Hal ini disampaikan di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Kamis (1/12).
Memang, sejak awal proyek ini sudah menuai polemik. Mulai dari gagasan awal pemindahan ibu kota yang terkesan dipaksakan, kesiapan dana pemerintah yang sangat minim hingga anggapan hlangnya empati penguasa yang melaksanakan pemindahan ibu kota di tengah situasi dan kondisi ekonomi yang serba sulit, dilengkapi dengan masih adanya hantaman pandemik. Hal ini membuat kebijakan pembangunan IKN semakin tidak popular.
Bangun IKN, Tidak Ada Dana
Tentu kita masih ingat klaim pemerintah saat wacana pembangunan IKN ini bergulir. Bahwa pemerintah tidak akan menambah utang untuk pembiayaan proyek pemindahan dan pembangunan IKN. Mekanisme pembiayaan dijabarkan pemerintah dengan skema sumber dari APBN sebesar Rp 89,4 triliun (19,2%), Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebesar Rp 253,4 triliun (54,4%) dan pihak swasta sebesar Rt 123,2 triliun (26,4%).
Dari skema tersebut, penting bagi kita untuk mencermati bahaya pelibatan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan IKN. Akan ada resiko. Berikutnya, alasan investasi akan berdampak pada terancamnya kondisi aset-aset strategis negeri yang dengan mudah akhirnya akan berpindah penguasaan ke pihak swasta. Selain swasta, pemerintah juga menggunakan skema KPBU (Public Private Partnership-PPP) yang sebetulnya bukan hal yang baru. Skema ini menjadi terkenal ketikan negara giat membangun infrastruktur, namun tidak memiliki cukup dana untuk membiayai proyek. Di Indonesia sendiri, skema KPBU gencar dipromosikan dengan massifnya agenda pembangunan infrastruktur. Hasilnya, menggaet swasta dan membangun kemitraan dengan badan usahapun menjadi solusi.
Jika kita melihat mekanisme kerjasama yang dibangun pemerintah dalam pendanaa pembangunan IKN tersebut, nampak sekali ketidaksiapan pemerintah dari sisi pendanaan. Maka menjadi wajar jika akhirnya banyak pihak yang menganggap bahwa proyek IKN ini adalah proyek oligarki. Ketidakmandirian pemerintah dalam membiayai proyek ini menjadi bukti lemahnya negara dalam tata Kelola pembangunan. Hal senada juga disampaikan oleh Said Didu dalam unggahan Twitternya @msaid_didu (05/12/2022), yang menyatakan bahwa cara kerja Bahlil dan kawanannya tidak jauh dari cara kerja boneka oligarki. Yang difikirkan selalu kepentingan pengusaha, bukan kepentingan rakyat dan negara.
Kapitalisme dan Investasi: Menihilkan Peran Negara
Investasi yang diambil oleh pemerintah sebagai jalan untuk pembangunan IKN tentu harus dikritisi. Investasi dalam sistem Kapitalisme saat ini bukan lagi sekedar masalah bisnis, namun telah menjadi salah satu alat neo-imprealisme. Alasan investasi menjadi senjata para kapitalis komprador saat ini untuk bisa mendikte pemerintah demi kepentingan bisnis mereka. Dengan demikian, tak seharusnya pendapat bahwa jangka waktu sewa lahan di IKN dapat mencapai 180 tahun hanyalah “pemanis” terlontar dari seorang pejabat negara.
Berbicara mengenai Ibu Kota, maka ia adalah tempat pusat kekuasaan yang menunjukkan kedaulatan suatu negeri. Maka, jangan sampai hanya demi keuntungan materi dan kepentingan investor kapitalis, lantas menggadaikan diri bukan lagi sebagai seorang negarawan sejati. Bagaimana kita merasa bahagia dengan banyak masuknya investor, di sisi lain ternyata mengancam keberadaan aset-aset strategis kita? Oleh karena itu, negeri ini harus menunjukkan posisi tawar yang lebih tinggi daripada hanya sekedar keuntungan materi yang didapat.
Kemandirian pemerintah harus segera dibangun kembali agar tidak terjebak dalam permainan para kapitalis yang hanya berfikir keuntungan materi. Negeri ini seharusnya bisa mengambil pelajaran dari kasus negara lain yang kedaulatannya tergadai melalui jeratan utang dan investasi.
IKN dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, pembangunan ibu kota memiliki makna yang menunjukkan ketinggian peradaban dan agama. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.” Oleh karena itu, pembangunan pusat pemerintahan Islam seharusnya mengadopsi filosofi ketinggian agama Allah SWT yang bebas dari campur tangan manusia. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Kitab Al-Amwal fii Dawlah al Khilafah, bahwa ada tiga strategi yang dapat ditempuh negara untuk membiayai proyek infrastruktur, termasuk pembangunan ibu kota, yaitu meminjam kepada negara asing, termasuk Lembaga keuangan global; memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang; dan mengambil pajak dari rakyat.
Beliau juga menguraikan terkait pinjaman dari negara asing atau lembaga keuangan global. Maka, strategi ini jelas keliru dan syari’at tidak membenarkannya. Terkait memproteksi kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang, misalnya, maka khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu yang pengeluarannya khusus untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Sehingga strategi ini boleh ditempuh oleh khalifah. Sedangkan mengenai penarikan pajak, yaitu mengambil pajak dari kaum muslim untuk membiayai infrastruktur, maka strategi ini hanya boleh pemerintah lakukan ketika kas Baitul maal sedang kosong. Itupun hanya diambil dari kaum muslim yang laki-laki dan mampu. Selain itu tidak boleh.
Dari sini dapat kita lihat, bahwa kemandirian dalam pembangunan adalah syarat mutlak agar negara terbebas dari dikte para kapitalis dan lintah darat global. Negeri ini sejatinya adalah negeri yang kaya dan mampu untuk mandiri, dengan keyakinan bahwa penguasanya adalah memang orang yang kapabel dan memiliki visi politik yang jelas dalam mengelola negeri dan apapun yang menjadi tanggung jawabnya. Dan gambaran ini akan mewujud dengan jelas jika kehidupan kita berada di bawah naungan Islam dalam bingkai negara Khilafah.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Oleh : Nurul Afianty, SP
Aktivis Muslimah
0 Comments