Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gurita Korupsi, Bukti Buruknya Sistem Demokrasi

TintaSiyasi.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan seorang hakim yustisial sebagai tersangka ke-14 dalam dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. EW langsung ditahan lembaga antirasuah itu pada hari Senin (19/12).

Seorang hakim yustisial - hakim yang diperbantukan untuk hakim agung - berinisial EW, ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus ini KPK menduga terdapat uang suap senilai Rp2 miliar dalam bentuk mata uang asing untuk mempengaruhi keputusan kepailitan sebuah koperasi. Sebelumnya dua hakim agung berinisial SD dan GS, serta dua hakim yustisial lainnya ETP dan PN sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. (www.bbc.com)

Kasus korupsi di negri ini kian marak tak terkecuali menjerat pihak yang seharusnya menetapkan keadilan pun ikut terseret dalam lubang kenistaan. Hal ini menunjukkan berapa bobroknya sistem yang diterapkan dinegeri ini. 
Alih-alih untuk memberantas korupsi agar bebas dari negri ini, beberapa oknum penguasa seolah memberi ruang untuk kejahatan korupsi ini agar terus berkembang. 

Dikutip dari tirto.Id, Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengeluarkan pernyataan yang menuai kritik. Sebab, Luhut menilai KPK tidak perlu melakukan upaya penindakan lewat Operasi Tangap Tangan (OTT). Sebab, OTT merusak citra negara Indonesia.
“OTT itu tidak bagus sebenernya, buat negeri ini jelek banget. Tapi kalau kita digital life siapa yang akan lawan kita?” ujar Luhut dalam acara Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, secara daring, Selasa (20/12/2022).

Mantan Menko Polhukam itu lantas meminta KPK memperbaiki kinerjanya. Ia tidak ingin komisi antirasuah lebih sering melakukan OTT.

Pernyataan yang beliau lontarkan ini lantas menuai berbagai kritik. Bagaimana tidak, kasus yang seharusnya diselesaikan dengan cepat tanggap malah harus bermanuver menjadi kasus yang dipecahkan secara toleran. Sungguh miris. 
Demikian juga dengan sanksi yang diterima para koruptor. Mereka kerap mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan tindakan keji yang mereka lakukan. 

Pelaku korupsi kerap diberikan fasilitas dan pelayanan yang mewah dan nyaman selama menjalani proses hukuman. Tidak jarang kita lihat tahanan para koruptor layaknya layanan hotel berbintang. Dan perlakuan yang mereka terima tidak akan memberikan efek jera terhadap apa yang mereka lakukan. Maka tak heran jika para koruptor telah usai menjalankan hukuman yang mereka terima, mereka tidak segan segan kembali ke dunia kekuasaan dan mengulangi perbuatan nya kembali. 

Kepala Rumah Tahanan (Karutan) KPK Ahmad Fauzi mengatakan, meskipun diduga melakukan korupsi, para tahanan tersebut tetap berstatus warga negara Indonesia (WNI).
Mereka memiliki hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh negara.

“(Tahanan) punya (hak kesehatan mental). Itu ada kami namanya pelayanan tahanan perawatan rohani,” kata Fauzi saat ditemui Kompas.com di Gedung Merah Putih KPK. Bisa kita lihat bagaimana KPK sendiri memberikan kelonggaran terhadap pelaku korupsi. 

Korupsi di Indonesia terbukti  sudah demikian parah mengingat aparat lembaga peradilan  juga banyak terjerat korupsi.  Hal ini menandakan rusaknya sistem hukum di indonesia.  Terlebih adanya anggapan OTT merusak citra bangsa.  Maka pemberantasan korupsi pun laksana mimpi apalagi adanya pembelaan terhadap para koruptor.

Dalam Islam korupsi adalah tindak kejahatan.  Islam memiliki sistem hukum yang kuat yang akan mencegah terjadinya korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.
Islam menegaskan larangan menerima suap dan hadiah. 

Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya.  Minimal bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi, datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. 
Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). 

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik, dan gaji yang mencukupi, insyaAllah korupsi dapat diatasi dengan tuntas.


Tampak dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan solusi yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam.

Dengan syariat, kita menjadi tahu bagaimana penanganan masalah korupsi secara komprehensif.

Tampak pula bahwa syariat bukan hanya berbicara tentang sesuatu yang secara stereotype dianggap sebagai masalah agama seperti perjudian, pelacuran, pornografi, dan sebagainya. 

Syariat Islam sesungguhnya berbicara tentang semua aspek kehidupan manusia dan masyarakat, termasuk tentang korupsi.

Sungguh ironis bila di satu sisi kita sadar tengah mengidap banyak sekali penyakit, termasuk penyakit kronis bernama korupsi, tapi di sisi lain kita menolak secara gamblang terhadap kehadiran obat mujarab, yakni syariat Islam yang mampu menyembuhkan penyakit-penyakit itu. Apalagi, selama ini obat lain telah terbukti gagal.

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments