Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bonus Demografi dalam Ancaman HIV/AIDS


TintaSiyasi.com -- Saat ini Indonesia di era bonus demografi, dimana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Data Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, dari 275,36 juta jiwa penduduk Indonesia pada Juni 2022, sekitar 190,83 juta jiwa (69,3%) usia produktif dan 84,53 juta jiwa (30,7%) usia tidak produktif. 

Proporsi usia produktif lebih dari 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dan diperkirakan puncak bonus demografi terjadi pada tahun 2030 hingga 2040 mendatang. Sejalan dengan itu, pemerintah pun telah mencanangkan visi Indonesia emas tahun 2045 dengan harapan terciptanya generasi produktif yang berkualitas.

Akankah harapan tersebut terwujud? Ditengah kasus HIV yang menimpa anak di Indonesia tembus hingga 12.553 orang. Mayoritas berusia di bawah 4 tahun dengan angka kasus 4.764 orang. Sudah dapat dibayangkan kondisi anak-anak ini dimasa datang. Kehidupan mereka bergantung pada obat dan kontrol. Jika mereka diberi umur panjang, pada 2030 nanti mereka memasuki usia produktif. Usia yang seharusnya memaksimalkan potensi diri untuk berkarya, malah dalam bayang-banyang kematian. Maka mewujudkan generasi produktif yang berkualitas terhalang fenomena generasi sakit/tidak produktif. Apalagi sebaran HIV/AIDS di Indonesia cukup tinggi yaitu 640.000 orang, sekitar 38% di antaranya adalah perempuan (Kompas.com). 

Jika 38 persen perempuan ini punya anak, sangat besar kemungkinan akan menularkan penyakitnya ke anak. Maka kasus HIV/AIDS pada anak kian tak terbendung. Belum lagi penularan melalui kontak langsung. Alhasil, bonus demografi diwarnai oleh penderita HIV/AIDS(sebagai generasi tidak produktif). Yang tentunya menambah beban negara dan masyarakat dimasa datang. Maka akan menjadi ancaman bagi bonus demografi. Apalagi belum ada sanksi tegas bagi penderita HIV/AIDS yang menimbulkan efek jera. Yang ada masyarakat diminta berempati kepada mereka.

Dan Bekasi sebagai kota metropolitan dengan gaya hidup serba bebas tak luput dari kasus anak terpapar HIV/AIDS. Pemkot Bekasi mencatat hingga Agustus 2022 sekitar 67 anak di Kota Bekasi terindikasi terpapar HIV karena turunan(ditularkan dari orang tua). Jumlah penderita HIV/AIDS berdasarkan data Dinkes Bekasi sekitar 700 orang, termasuk 67 anak tersebut (Metro.Sindonews.com).

Dari data tersebut dimungkinkan jumlah anak yang terpapar HIV/AIDS akan terus bertambah. Jika akar masalah penularan HIV/AIDS yaitu pergaulan bebas tidak segera diatasi dengan solusi yang komprehensif. Menggelar Voluntar Counseling dan Testing (VCT) hanyalah upaya tambal sulam yang tak menyentuh akar masalah HIV/AIDS. Sejauh ini juga belum terbukti menekan angka penyebaran. Apalagi VCT dilakukan di tempat hiburan malam. Testing dilakukan tapi tempat yang memfasilitasi pergaulan bebas tidak ditutup. Sama saja menyemai minyak diatas bara api, makin berkobar. 

Pun upaya memberikan empati kepada penderita HIV/AIDS dilingkungan tempat tinggal atau tempat kerja tidak serta merta memutus rantai penularan. Apalagi keinginan punya keturan dari ODHA makin menambah kasus penyebaran. Yang membuat miris Indonesia yang notabene sebagai negeri dengan muslim terbesar termasuk negara dengan jumlah infeksi HIV yang terus meningkat setiap tahun. Jika pemerintah ingin mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 dengan bonus demografi maka ancaman HIV/AIDS pada anak dengan serius diatasi. Agar bonus demografi membawa manfaat, bukan mudharat.

Dengan demikian solusi atas HIV/AIDS pada anak tidak cukup dengan VCT, penyakit ini menyebar karena seks bebas maka semestinya seks bebas itu yang harus dihentikan. Pemerintah harus tegas dan segera menghentikan seks bebas dengan solusi komprehensif. Akan tetapi kebebasan berperilaku sangat dijunjung tinggi, hingga masyarakat semakin liberal dan hilang kendali. Dengan asas kebebasan ini siapapun bebas mengekspresikan dirinya, termasuk memiliki anak bagi pasangan positif HIV/AIDS. Selama kebebasan berperilaku dijunjung tinggi maka HIV/AIDS tidak akan hilang dari negeri ini. 

Padahal kemaslahatan dari pernikahan menghindari dari zina dan juga memperbanyak keturunan. Kehadiran anak menjadi penyejuk mata dalam keluarga. Mendidik dan mengurus anak adalah amalan mulia yang mendatangkan pahala yang berlimpah. Bahkan doa dan permohonan ampun dari anak-anak yang salih bisa meningkatkan derajat orang tuanya di akhirat kelak. Sebagaimana hadis Nabi SAW :

Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba salih di surga, lalu ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, dari mana aku dapatkan semua ini? Kemudian, Allah menjawab : ‘Dengan sebab istighfar anakmu untuk dirimu” (HR. Ahmad).

Dari hadis di atas bahwa Islam menganjurkan untuk punya anak. Akan tetapi, jika anak dari pasangan positif HIV/AIDS, kemudian anak yang dilahirkan juga terpapar penyakit mematikan itu tentu menjadi beban bagi keluarga itu sendiri, masyarakat dan negara. Sehingga kehadiran anak tidak lagi sebagai penyejuk mata dalam keluarga. Dan meningkatnya kasus anak terpapar HIV/AIDS adalah buah dari sistem sekuler dengan kebebasan berperilakunya. Maka butuh andil negara untuk menghentikan fenomena ini. Membuat seperangkat aturan yang mengatur persoalan ini. Selain aturan, kontrol pun diperketat mulai dari RT/RW dan kelurahan.

Islam sebagai aturan yang sohih dengan sistem khilafah memberikan solusi atas masalah HIV/AIDS. Penularan HIV AIDS lewat seks bebas, sementara seks bebas adalah perbuatan zina. Islam dengan tegas melarang perzinahan seperti dalam firman Allah SWT :

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (TQS Al-Isra’: 32). 

Negara Khilafah Islam memandang anak-anak sebagai aset peradaban yang akan dijaga dengan sebaik mungkin. Sebagai bentuk penjagaan negara yaitu membekali anak-anak dengan aqidah Islam dan menanamkan tsaqofah yang kokoh agar tidak mudah terpengaruh gaya hidup bebas ala barat. Sehingga usia produktif mereka akan memberikan sumbangsih yang positif bagi bangsa dan negara. Negaralah sebagai ujung tombak lahirnya generasi yang kokoh, produktif dan visioner. Maka pengawasan dari negara tidak pernah putus. 

Negara pun akan memproteksi masyarakat dengan pergaulan Islam, agar terhindar dari penyakit yang berbahaya. Jika ada yang melanggar maka akan diberi sanksi yang memberi efek jera kepada pelaku. Kondisi ini bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang menyuburkan seks bebas sehingga merebaklah penyakit HIV/AIDS di masyarakat.

Apalagi HIV/AIDS itu penyakit menular dan sangat berbahaya. Dalam Islam, tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Sebagaimana telah dikabarkan dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Amad, Ibnu Majah dan al-Baihaqi).

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Perawati, S.Kom
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments