Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banyak Usia Produktif Terpapar HIV/AIDS, Buah dari Sekularisme


TintaSiyasi.com -- Untuk memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember 2022, UNAIDS Indonesia, Jaringan Indonesia Positif, Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Lentera Anak Pelangi, dan Yayasan Pelita Ilmu, membuat Aliansi Nasional untuk mengakhiri AIDS pada Anak di Indonesia. Aliansi ini digagas untuk memperbaiki masalah yang paling mencolok dalam respon penanggulangan AIDS. Yakni memastikan bahwa tidak ada anak yang hidup dengan HIV yang tidak dapat mengakses pengobatan dan tidak ada lagi infeksi baru pada anak. Sebab, di Indonesia, hanya 25 persen dari anak-anak yang hidup dengan HIV menjalani pengobatan ARV untuk menyelamatkan jiwa. 

Laporan UNAIDS Global terbaru menunjukkan ketidaksetaraan dalam akses pengobatan antara orang dewasa dan anak-anak merupakan salah satu persoalan yang mengakibatkan meningkatnya infeksi baru dan kematian yang terus berlanjut di berbagai bagian dunia (Tempo, 04/12/2022).

Sungguh miris angka orang dengan HIV tiap tahunnya terus meningkat. Di antaranya karena meningkatnya perilaku menyimpang pasangan sejenis, dan seks bebas yang jadi budaya. Akibatnya perempuan dan anak pun juga banyak yang tertular. Data epidemiologi UNAIDS menyebutkan bahwa hingga 2021 jumlah orang dengan HIV mencapai 38,4 juta jiwa. Kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang memprihatinkan. Di Indonesia, terdapat sekitar 543.100 orang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru pada 2021. Sekitar 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sedangkan lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (15-24 tahun), dan 12 persen infeksi baru pada anak. Sayangnya, dari angka tersebut hanya 28% yang menerima pengobatan ARV. Bahkan hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV.

Pada ibu hamil dan menyusui alasan untuk menghentikan terapi, karena adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat. Sedangkan bagi anak dan remaja adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan. Belum lagi pengetahuan mengenai isu HIV serta kesehatan seksual dan reproduksi, stigma masyarakat dan kurangnya dukungan keluarga semakin menyulitkan mereka untuk bisa mengakses antiretroviral therapy (SindoNews, 28/11/2022).

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Lhokseumawe, Aceh, mencatat sebanyak 88 warga di daerah itu positif HIV/AIDS yang penularannya didominasi karena perilaku seks bebas. "Jadi total kasus positif HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe mencapai 88 kasus. Rata-rata penularannya akibat seks bebas," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe Safwaliza di Lhokseumawe, Jumat (2/12/2022). Safwaliza mengatakan, terjadi peningkatan delapan kasus pada 2022. Sedangkan kasus positif HIV/AIDS di Kota Lhokseumawe pada 2021 sebanyak 80 kasus. Selain seks bebas, kata Safwaliza, penularan virus HIV/AIDS juga disebabkan oleh homo seks. Selanjutnya, penularan terjadi melalui jarum suntik bagi pengguna narkotika. Safwaliza menyebutkan, angka tersebut masih mungkin bisa bertambah, mengingat masih ada warga menutupi dan tidak mau melaporkan telah mengidap penyakit menular yang mematikan tersebut. Menurutnya, untuk menekan angka kasus HIV/AIDS semua unsur, baik pemerintah daerah maupun masyarakat harus ikut terlibat. Oleh karenanya Safwaliza mengajak masyarakat untuk aktif memerangi HIV/AIDS, minimal pada lingkungan keluarga dan juga masyarakat mengenali virus mematikan tersebut dengan benar, baik cara-cara penyebaran maupun pencegahan (Republika, 02/12/2022).

Menurut Satgas HIV, 90% penyebaran HIV pada anak, penularannya vertikal lewat ibunya, baik dari kehamilan maupun persalinan. Banyak dari para ibu tersebut yang tidak menyadari dirinya tertular HIV/AIDS sehingga para dokter menyatakan bayi-bayi yang mereka lahirkan atau susui juga mengidap HIV, setelah ditelusuri penularan terjadi akibat mayoritas tertular dari suami yang sering “jajan” sembarangan. 

Banyaknya usia produktif yang terpapar HIV/AIDS menunjukkan semakin rusaknya generasi dan peradaban manusia. Gaya pacaran kaum muda sekarang juga sudah sangat melampaui batas. Apalagi fenomena LGBT yang kian menyeruak, juga makin jadi perhatian. Di beberapa kota besar lelaki seks lelaki (LSL) menjadi penyumbang tertinggi tertularnya HIV/AIDS. UNAIDS, badan organisasi naungan PBB yang khusus menangani masalah yang berkaitan dengan HIV/AIDS, menyatakan bahwa peningkatan risiko tertular HIV terbesar adalah kelompok LSL (22 kali) dan transgender (12 kali).

Kenakalan remaja lainnya yang menjadi jalan tertularnya HIV/AIDS adalah narkoba, yaitu dengan menggunakan jarum suntik bergiliran. Perlu pula diketahui, Indonesia termasuk negara tertinggi penyalahgunaan narkoba, bahkan sering disebut “surga narkoba” sebab sangat mudah mengakses barang haram tersebut. Wajar jika anak remaja usia sekolah pun mudah mendapatkan narkoba. Ini juga yang mengantarkan pada tingginya kasus HIV/AIDS.

Bila dicermati akar persoalan kasus HIV/AIDS sejatinya buah dari kebebasan perilaku yang dijamin oleh sekularisme. Atas dasar hak asasi manusia, setiap orang bebas memilih orientasi seksualnya, mengabaikan aturan Allah tentang lembaga pernikahan. Parahnya, negara yang menerapkan sistem sekularisme justru mendukung dan memberi ruang yang luas akan perilaku keji ini. Melalui kampanye Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang dipimpin oleh lembaga global, bergaunglah seruan kebebasan seksual, yang menjamin seseorang kapan dan dengan siapa melakukan aktivitas seksual, meski tanpa terikat pernikahan. Pun peningkatan penularan infeksi HIV lambat laun akan menghantarkan dunia kepada berbagai kerusakan, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran manusia.

Sejatinya penyelesaian HIV/AIDS hanya bisa diselesaikan dengan kembali kepada aturan Allah SWT. Islam datang sebagai sistem kehidupan yang memiliki konsep dan metode untuk mewujudkan peradaban manusia yang berkepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah) dengan pola pikir dan pola sikap Islam. Islam tidak akan memberi celah bagi liberalisme (kebebasan) untuk terus berkembang. Seluruh sektor akan bersinergi mewujudkan masyarakat islami.

Bagi setiap individunya, Islam mengharamkan berperilaku terhadap hal hal yang dapat menularkan infeksi HIV/AIDS, seperti hubungan sesama jenis, seks bebas, seks di luar pernikahan, dan mengonsumsi narkoba. Sehingga wajib untuk setiap muslim menyampaikan Islam secara utuh pada umat, termasuk aturan pergaulan lelaki dan perempuan.

Adanya kontrol masyarakat yang selalu mendorong dilakukannya kebaikan dan dijauhkannya kemaksiatan (amar makruf nahi mungkar) akan menciptakan keimanan yang kuat pada masyarakat. Alhasil, masyarakat akan terhindarkan dari perbuatan maksiat tersebut.
Sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam akan mewujudkan pemuda yang berkepribadian Islam. Perlindungan diri pun akan terbentuk. Begitu pun keluarga, ia akan menjadi benteng pertama dalam mengukuhkan akidah individu di dalamnya. 

Sistem ekonomi yang kokoh akan mengantarkan rakyatnya sejahtera sehingga tidak akan ada orang-orang berbuat maksiat dengan alasan ekonomi. Sistem kesehatan akan sangat prima merawat orang-orang sakit, termasuk mereka yang terjangkit HIV/AIDS hingga sehat dan bertobat.

Di sisi lain, negara Islam (khilafah) akan memberikan sanksi yang sangat menjerakan pelaku kejahatan. Misalnya, para pezina mendapat hukuman jilid atau rajam. Pelaku liwat (homoseks) mendapat hukuman mati. Media juga akan dikontrol penuh oleh Negara sehingga tidak akan menstimulus keburukan. Industri pornografi juga akan diberantas.

Jika semua sektor menerapkan syariat Islam, persoalan HIV/AIDS akan selesai. Masyarakat akan kembali menjadi masyarakat Islam. Begitu pun para pemudanya, akan menjadi sebaik-baik manusia, yakni mampu memimpin bangsa. Insyaallah, atas izin Allah SWT, semua itu niscaya bisa terwujud. []


Oleh: Rey Fitriyani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments