TintaSiyasi.com -- Nasi merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, jadi bisa kita bayangkan bagaimana reaksi publik jika harga beras mengalami kenaikan. Biasanya kenaikan bahan pokok terjadi jika menjelang hari raya atau peringatan besar lainnya. Dan mirisnya, kenaikan yang terjadi setiap tahunnya itu dianggap sebuah kewajaran.
Dan kini kenaikan harga beras di Indonesia dinilai termahal se-ASEAN. Seperti dirilis Bank Dunia dalam laporan terbarunya, ‘Indonesia Economics Prospects Desember 2022’ menyebut harga beras di Indonesia paling mahal di antara negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, dikutip CNNIndonesia.com, Sabtu, (24/12/2022). Mahalnya harga beras di Indonesia dipicu oleh dukungan harga pasar bagi produsen di bidang pertanian, yang terdiri dari kebijakan yang menaikkan harga domestik untuk produk pertanian pangan. Namun, laporan tersebut dibantah langsung oleh Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Ia mempertanyakan dasar perhitungan dan kapan data tersebut diambil oleh Bank Dunia. Menurutnya, jika pengambilan data diambil saat musim tanam memang tidak ada panen sehingga ketiadaan ini membuat harga beras tinggi. Ia juga meragukan lantaran data Bank Dunia berbeda dengan temuan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Menurut data FAO harga beras di Indonesia tergolong murah, bahkan hal senada disampaikan juga oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, menurutnya perhitungan harga beras di Indonesia harus dilihat berdasarkan rata-ratanya karena musiman. “Kalau indikasi secara keseluruhan tidak yang termahal dan juga termurah, menurutnya usai membuka Konferensi Islam Asean kedua, yang digelar di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, pada Kamis (22/12). Ma’ruf mengklaim kebijakan pemerintah terkait beras sudah cukup baik. Kebijakan itu termasuk pengadaan, kualitas, dan distribusi beras.
Berbicara soal kualitas beras, disarikan dari berbagai sumber, klasifikasi mutu beras di Indonesia dinilai dari sejumlah indikator. Penentuan klasifikasinya dimuat pada SNI 6128 tahun 2015 tentang Beras dan terdiri dari empat kelas beras, yakni beras premium (beras dengan mutu paling baik), beras medium (beras dengan mutu baik) yaitu medium 1, medium 2, dan medium 3. Namun seiring berjalannya waktu, pada 2017 klasifikasi tersebut mengalami perubahan. Berdasakan Peraturan Menteri Petanian RI No. 31 tentang kelas Mutu Beras menjadi dasar perubahan SNI Beras sebagai upaya pemutakhiran standar beras nasional. Perubahan ini kemudian menjadi klasifikasi beras hanya terbagi dalam dua kelas, yakni premium dan medium. Mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 57 tahun 2017 tentang penetapan HET beras, untuk beras medium ditetapkan HET Rp 9.450 – Rp 10.250 per Kg. Sedangkan HET beras premium per kilogramnya sekitar Rp 12.800 – 13.600. Dan yang membedakan keduanya adalah derajat sosoh, kadar air, beras kepala, beras patah, total butir beras lainnya yang terdiri atas butir menir, merah, kuning, rusak, kapur, butir gabah, dan benda lainnya. Semua perbedaan jenis beras di atas tidak lantas membuat bingung konsumen, karena menurut sebagian besar konsumen menilai enak atau tidaknya nasi berdasarkan rasa dan teksturnya. Dan hal itu dipengaruhi oleh kadar amilosa sehingga beras menjadi dua jenis yaitu beras pulen dan beras pera.
Perbedaan pandangan antara pemerintah Indonesia dengan Dunia menjadi bukti bahwa perlindungan negara atas bahan pangan rakyat tidak serius. Rakyat dibuat bingung karena acapkali kebijakan berubah-ubah, semisal harga beras sebagai bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat kini terus mengalami kenaikan. Mirisnya, ketika setiap bahan pokok mengalami kenaikan, pemerintah bukannya mencari solusi malah rakyat yang disuruh bertahan. Contoh, ketika beras menalami lonjakan harga maka rakyat disuruh mengurangi konsumsi nasi sebagai makanan pokok dan dialihkan pada umbi-umbian sebagai penggantinya, dan juga ketika harga cabe merah dan cabe rawit mahal, rakyat malah disuruh tanam sendiri. Inilah potret buram sistem ekonomi kapitalis, semua ditakar menurut untung ruginya secara materi. Tidak ada sedikit pun rasa ingin menyejahterakan rakyatnya dengan mencukupi segala kebutuhan hidupnya. Semua ini menggambarkan lemahnya mekanisme negara dalam menjaga keamanan pangan dan kemudahan dalam mengakses kebutuhan pokok rakyat. Cara pandang seperti ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Setiap kehidupan dalam Islam diatur dengan bersumber pada Al-Qur'an dan hadis. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan seperti halnya sekularisme yang dianut oleh pemerintah saat ini.
Dalam Islam, seorang pemimpin wajib menjadi “pelayan” umatnya. Karena pada hakikatnya, memimpin berarti melayani secara tulus. Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah SWT, dan bukan sesuatu yang diminta, dikejar apalagi diperebutkan, Sebab, kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang sejatinya dipergunakan untuk memudahkan menjalankan tanggung jawab dalam melayani rakyat. Makin tinggi jabatannya hendaknya semakin meningkat pula kekuasaannya dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Karena setiap langkah yang diambil kelak harus dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah SWT, seperti Sabda Nabi SAW, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rita Yusnita
Pegiat Literasi
0 Comments