TintaSiyasi.com -- Kehidupan di kota besar saat ini sudah makin individualis. Tidak akan lagi kita temukan hubungan bertetangga yang setiap hari bisa saling bertegur sapa. Jangankan untuk bertegur sapa, bisa jadi tetangga sebelah rumah tidak kita ketahui. Maka, tak heran bila ada kejadian penemuan orang meninggal di rumahnya setelah tiga minggu. Seperti kasus yang belum lama ini terjadi di Kalideres Jakarta Barat. Satu keluarga ditemukan tewas membusuk. Keluarga itu dikenal tertutup dengan warga sekitar. Saking tertutupnya, kematian keluarga itu bahkan baru terungkap setelah tiga minggu, yakni setelah warga mencium aroma busuk dari dalam rumah tersebut (dikutip dari Republika.co.id, 12 November 2022).
Pada titik ini, keterlambatan warga sekitar mengetahui tewasnya tetangga mereka setelah sekian lama adalah hal yang miris. Kehidupan individualis memang lahir dari sistem yang sekuler, di mana kehidupan masyarakat dipisahkan dari nilai-nilai dan aturan agama. Ketika sifat individualis dijunjung tinggi dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, jelas akan banyak masalah yang ditimbulkan, karena tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Manusia diciptakan lengkap dengan kelemahan dan keterbatasannya yang menyebabkan manusia menjadi makhluk sosial yang sudah pasti membutuhkan terhadap yang lain serta interaksi dan hubungan dengan manusia lainnya. Manusia juga membutuhkan orang lain untuk berbagi kebaikan, serta rasa saling menjaga dan memelihara. Sekularisme yang menjunjung tinggi individualisme menjauhkan manusia dari fitrahnya.
Sekularisme telah memberi celah terjadinya persepsi keliru terhadap kehidupan dan interaksi sosial di tengah masyarakat. Nyatalah, tata aturan kehidupan yang tegak saat ini jauh dari aturan Dzat yang menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
Islam telah menawarkan sistem yang sesuai dengan fitrah manusia. Masyarakat adalah sekumpulan orang yang memiliki perasaan, pemikiran, dan peraturan yang sama, dan di dalamnya terjadi interaksi sosial berdasarkan aturan Islam. Dalam Islam, interaksi ini tidak terbatas dengan yang sesama Muslim, tetapi juga kepada tetangga yang non-Muslim.
Islam dengan tegas mengatur perihal adab dan tata aturan bertetangga. Islam tidak memberi ruang bagi perilaku individualistis, karena perilaku ini mengamputasi hakikat makhluk sosial pada diri manusia.
Rasulullah SAW bersabda, "Siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya." (HR Muslim).
Hadis di atas jelas menganjurkan untuk berbuat baik dan memuliakan tetangga. Memperhatikan tetangga adalah bagian dari syariat Islam. Dari Abu Dzar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetangga-tetanggamu." (HR. Muslim).
Interaksi dalam Islam tidak berarti kita harus selalu ingin tahu dengan setiap urusan orang lain. Bukan pula menabrak batas-batas kehidupan khusus (hayatul khas) tetangga kita. Ada adab bertetangga yang juga harus kita perhatikan, seperti kewajiban mengetuk pintu ketika bertamu ke rumah tetangga, juga larangan mengintip melalui jendela ketika pemilik rumah belum membukakan pintunya setelah kita mengetuknya.
Islam dengan segala aturannya yang sempurna dan sesuai fitrah manusia, akan menempatkan segala aspek interaksi sosial dengan tepat, sehingga tidak akan menimbulkan aturan kehidupan yang salah kaprah. Maka, sudah seharusnya kita kembali kepada aturan Islam untuk digunakan dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: apt. Dian Budiarti
Aktivis Muslimah
0 Comments