TintaSiyasi.com -- Memasuki musim penghujan, Kota Bekasi, Jawa Barat sudah dikepung banjir. Banjir dan genangan air telah terjadi di tujuh kecamatan. Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi mencatat ada 16 titik banjir dan genangan di 15 kelurahan (m.liputan6.com).
Berdasarkan kajian yang dilakukan inaRISK, Kota Bekasi memiliki 13 kecamatan yang berpotensi bahaya banjir dengan kategori sedang hingga tinggi. Mengingat topografi Kota Bekasi berada pada ketinggian dan kemiringan rendah yang menyebabkan daerah ini banyak genangan, terutama pada saat musim penghujan.
Bukan hanya banjir, tumpukan sampah yang memenuhi permukaan kali makin memperburuk aliran sungai. Baru-baru ini tumpukan sampah yang menutupi permukaan kali yang ada di Jl Baru Underpass, Kelurahan Duren Jaya, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi adalah sebuah pemandangan yang tidak enak dipandang mata (news.detik.com).
Persoalan sampah yang menutupi badan kali telah menjadi persoalan di Kota Bekasi yang terus berulang. Bahkan Perusahaan lingkungan hidup Waste4change 2019 lalu merilis data bahwa Kota Bekasi punya potensi sampah sungai dengan jumlah lebih dari dua kali lipat potensi sampah sungai DKI Jakarta. Torehan sampah sungai Kota Bekasi sekitar 775 ton per hari dan yang terbesar se-Jabodetabek. Hal ini makin diperburuk dengan limbah industri yang mencemari kali, yang terdapat di bagian selatan wilayah Kota Bekasi.
Kembali pada masalah banjir, setidaknya ada dua karakteristik banjir di Kota Bekasi. Pertama, akibat curah hujan tinggi menyebabkan banjir di permukiman yang letaknya di cekungan. Kedua, meluapnya Kali Bekasi, karena debit sungai yang tak mampu menampung air dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan terjadi karena penurunan tutupan lahan akibat pesatnya pertumbuhan industri dan permukiman. Sehingga menyebabkan kurangnya vegetasi dan tanah untuk menyerap air.
Selain curah hujan tinggi, banjir di Kota Bekasi juga disebabkan seperti sedimentasi sungai, drainase buruk, sampah, dan berubah fungsinya daerah resapan air menjadi hutan beton atau bangunan. Sebagaimana diketahui restorasi dan perbaikan infrastruktur sungai di Kota Bekasi tidak bisa mengimbangi tingginya sedimentasi dan tingkat kerusakan lingkungan.
Hal ini berawal dari kebijakan industrialisasi dan permukiman yang pro kapitalis yang ternyata berdampak pada rusaknya lingkungan. Saat ini, masih saja ada pelaku industri nakal dengan membuang limbah industri secara langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Pun dengan pemukiman yang makin menjamur di Kota Bekasi, bahkan AMDAL tak jadi soalan. Dalam sistem sekuler ini kepentingan kapitalis di atas segalanya. Hal ini terbukti bebasnya pelaku kerusakan lingkungan. Negara sangat lemah di hadapan kapitalis dan sangat garang pada masyarakat biasa. Akibatnya, lingkungan sekitar seperti sungai, tanah dan udara menjadi rusak dan kotor. Seperti yang terjadi di daerah yang berada di sekitar TPA Bantargebang, kondisi air tanahnya sebagain besar sudah tercemar.
Memburuknya kondisi lingkungan hidup secara terbuka mempengaruhi dinamika sosial politik dan sosial ekonomi masyarakat. Maka dibutuhkan kesiapan dan keseriusan pemerintah Daerah Kota Bekasi dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang kian parah. Jika gagal dalam mengelola tantangan yang ada maka ragam potensi masalah akan mewujud menjadi bencana lingkungan bagi Kota Bekasi. Pada akhirnya, krisis lingkungan hidup secara langsung mengancam kenyamanan dan meningkatkan kerentanan kehidupan setiap warga masyarakat.
Lalu bagaimana Islam menyelesaikan masalah lingkungan? Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan untuk mencegah banjir, di antaranya:
Pertama, membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung debit air dari aliran sungai. Sebagaimana di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Di Provinsi Khuzestan, daerah Iran selatan misalnya, masih berdiri dengan kokoh bendungan-bendungan yang dibangun untuk kepentingan irigasi dan pencegahan banjir.
Kedua, negara akan memetakan daerah-daerah rendah/cekungan yang rawan terkena genangan air. Selanjutnya, membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman dan industri di wilayah tersebut. Daerah cekungan diperuntukan hanya untuk penghijauan.
Ketiga, negara membangun kanal, sungai buatan, saluran drainase dan sistem pengendali banjir di bagian hilir dan waduk khusus banjir di kawasan hulu. Secara berkala, melakukan normalisasi sungai agar tidak terjadi pendangkalan. Yang paling utama infrastruktur penanggulangan banjir yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Upaya ini diikat dengan kebijakan tata ruang perkotaan. Dan pemerintah daerah harus konsisten mejalankan kebijakan tata ruang yang berpedoman pada rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang.
Keempat, membangun sumur resapan di kawasan tertentu. Sumur ini sebagai tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama saat musim kemarau.
Kelima, jika ada yang merusak lingkungan maka negara bertindak tegas dengan menerapkan aturan:
Pertama, apabila ada kerusakan maka wajib diganti oleh pencemar. Kedua, memberikan hukuman yang menjerakan (terhadap pencemar) yang pelaksanaannya dengan amar makruf nahi mungkar sesuai dengan tingkatannya. Negara berlaku adil pada semua warga masyarakat yang melanggar aturan, tanpa pandang kedudukan dan status sosial.
Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT: ‘’Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik …’’ (QS. Al A'raf: 56).
Rasulullah SAW juga mengingatkan umatnya agar tak melakukan pencemaran dan kerusakan di muka bumi. Nabi SAW bersabda: ‘’Terlaknat orang yang melakukan kerusakan terhadap sesama Muslim ataupun lainnya.’’ Sikap Rasulullah yang melaknat pelaku kerusakan lingkungan merupakan bukti bahwa Islam cinta kelestarian alam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Perawati, S.Kom.
Aktivis Muslimah
0 Comments