TintaSiyasi.com -- Kasus depresi di Kalimantan Selatan meningkat tajam. Bahkan, kasus depresi hingga April 2022, berdasarkan data Dinkesprov Kalsel yang diambil dari data Dinkes Kabupaten Kota, jumlahnya sudah melebihi pada 2021. Dibeberkan Kasi Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa Dinkes Kalsel, H Heru, Sabtu (14/4/2022), pada tahun lalu jumlah penderita depresi terdata 338 orang. Triwulan pertama tahun ini sudah 390 orang.
Depresi paling banyak di 2021 berasal dari Kabupaten Tabalong dengan jumlah hampir separuh dari total kasus. "Kalau di tahun ini, kami belum bisa memetakan dimana paling banyak. Tapi jika dilihat dari jumlah penduduk paling banyak dari Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar," rincinya. Data warga yang depresi jelas Heru diambil dari pelayanan di puskesmas. Dimana orang yang mengalami depresi akan memenuhi kriteria dua kriteria mayor dan satu kriteria minor.
Berdasarkan data Dinkes Kalsel, warga yang paling banyak mengalami depresi adalah warga dengan usia produktif. Rata-rata penyebab depresi yakni pekerjaan dan efek dari pandemi, yakni PHK dan lainnya. "Mereka yang seperti ini jika tidak tertangani dan tidak mendapatkan solusi, maka bisa saja mengambil jalan pintas dengan bunuh diri," ujar Heru. Berdasarkan temuan, masyarakat yang rentan mengalami depresi dan gangguan mental emosional, ujar Heru, biasanya penghuni lembaga pemasyarakatan, pemandu karaoke, dan pekerja di bar.
"Perekonomian juga menjadi pengaruh cukup besar terhadap kesehatan mental masyarakat," ujarnya. Dinas Kesehatan Kalsel, kata Heru lagi, sudah melakukan orientasi skrining depresi dan Gangguan Mental Emosional (GME). Tenaga kesehatan yang menemukan adanya gejala depresi harus melakukan pertemuan dengan orang yang depresi dan dilakukan tindak lanjut. "Bisa dibawa ke puskesmas atau ditangani psikolog," ujarnya.
Selain itu, lanjut Heru, Dinkes Kalsel juga terus melakukan dukungan dengan pemberian obat-obatan bagi penderita depresi. "Kalau menemukan ada orang dekat kita yang mengalami depresi, segera bawa ke fasyankes terdekat. Jika memang sudah cukup berat dan menimbulkan keresahan, bisa langsung dibawa ke rumah sakit atau bahkan ke Rumah Sakit Jiwa atau RSJ Sambang lihum," ujarnya.
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 20 remaja (5,5%) di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental. Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Gangguan kecemasan (anxiety disorder) menjadi gangguan mental paling umum di antara remaja 10—17 tahun di Indonesia (sekitar 3,7%). Disusul gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5% populasi usia tersebut. (The Conversation, 12/10/2022).
Berdasarkan data WHO, pada kalangan remaja berusia 15-29 tahun, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua terbesar setelah kecelakaan. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 80% kasus bunuh diri di Indonesia dilakukan oleh remaja dan faktor terbesarnya adalah putus cinta, disusul faktor ekonomi, keluarga, dan lingkungan sekolah. Kenakalan dan kejahatan remaja pun tidak luput dari faktor yang memengaruhi kesehatan mental mereka, seperti kecanduan narkoba, seks bebas, perundungan, hingga tawuran, begal, dan geng motor.
Berdasarkan data Environmental Geography Student Association dari Universitas Gadjah Mada yang dipublikasikan pada 2020, angka bunuh diri remaja di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Mereka menemukan bahwa setiap satu jamnya, satu orang melakukan bunuh diri. Sebanyak 4,2% pelajar di Indonesia pernah berpikir untuk bunuh diri, sedangkan 3% siswa pernah melakukan percobaan bunuh diri. Hampir 90% kasus bunuh diri di Indonesia diakibatkan oleh depresi dan kecemasan. (Halodoc, 17/10/2022).
Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Fase ini disebut sebagai fase krusial karena pada masa inilah remaja berhadapan dengan siklus kehidupan yang cukup keras. Remaja harus menyesuaikan banyak hal, baik secara fisik maupun psikis yang bisa berdampak pada kesehatan mental remaja. Mental Illness ialah istilah yang mengacu pada berbagai kondisi yang memengaruhi pikiran, perasaan, suasana hati, atau perilaku seseorang. Kondisi ini bisa terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama. (Alodokter, 27/4/2022).
Di antara mental illness yang cukup sering terjadi di kalangan remaja ialah (1) gangguan kecemasan, (2) depresi, (3) hiperaktif dan sulit fokus pada suatu hal, (4) gangguan makan, (5) gangguan stres pascatrauma, dan (6) skizofrenia. Remaja yang mengalami mental illness bisa dilihat dari gejala yang muncul dalam diri mereka, yaitu (1) tidak bisa mengontrol emosi; (2) perubahan perilaku yang tidak wajar, seperti memberontak, marah, arogan, dan sensitif; (3) menurunnya prestasi di sekolah; (4) gangguan tidur dan makan; (5) melakukan kebiasaan buruk; dan (6) mengeluh sakit fisik.
Kebanyakan remaja bermasalah yang mengalami mental illness adalah pengidap gangguan jiwa yang belum selesai tentang apa dan siapa dirinya. Remaja seperti ini biasanya terpengaruh oleh kondisi keluarga yang tidak harmonis, pengasuhan yang keras dan otoriter, hilangnya keteladanan orang tua, hubungan buruk dengan teman sebaya, masalah ekonomi, dan persepsi keliru yang didapat dari media. Mereka cenderung mengikuti tren dan didikte oleh gaya hidup liberal dan hedonis.
Deretan fakta di atas sebenarnya berpangkal pada sistem sekuler kapitalisme yang merusak dan menghancurkan ketahanan keluarga. Sistem ini merusak tiga aspek yang memicu mental illness. Pertama, aspek keluarga. Penerapan ekonomi kapitalisme telah mengikis peran ayah dan ibu sebagai tempat pertama remaja tumbuh dan mengembangkan identitas diri. Ada ayah yang sulit mencari nafkah sehingga tidak mampu memenuhi perekonomian keluarga. Ada ibu yang turut mencari penghidupan demi membantu ekonomi keluarga. Ada orang tua yang sibuk dan tenggelam dengan pekerjaan masing-masing hingga melupakan peran pentingnya mendidik anak dengan akidah Islam.
Mereka lalai memperdalam ilmu Islam sebagai bekal mengasuh dan membina keluarga. Akibatnya, anak-anak kehilangan rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman dan ternyaman. Kondisi ini menjadikan keluarga mengalami disfungsi dan disharmoni.
Kedua, aspek lingkungan. Kehidupan masyarakat yang sekuler membuat remaja bebas mengeksplorasi dirinya tanpa perisai agama (baca: Islam). Akibatnya, kehidupan bebas nilai menjalar dalam kehidupan remaja. Ditambah tontonan rusak yang menjadi tuntunan remaja dalam berperilaku. Mereka pun tumbuh menjadi jiwa-jiwa yang kering iman dan krisis identitas. Jadilah mereka generasi muda yang lemah dan rapuh ketika dihadapkan pada berbagai tekanan dan persoalan yang tidak diimbangi dengan kematangan psikologis.
Ketiga, aspek negara. Merebaknya mental illness pada remaja tidak terlepas dari fungsi dan kontrol negara sebagai pengayom dan pelayan rakyat. Dalam hal ini, negara harus menghilangkan faktor-faktor yang memicu gangguan mental pada remaja. Remaja berhak sehat fisiknya dan bahagia psikisnya. Semua ini dimulai dari kebijakan negara dalam mempermudah orang tua memenuhi kebutuhan keluarga serta menciptakan suasana aman, nyaman, iman, dan jauh dari tindak kriminal di lingkungan masyarakat. Negara tidak boleh membiarkan tayangan atau film-film komersial yang merusak karakter generasi.
Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan remaja, kecuali dengan membina dan mendidik mereka dengan Islam, yaitu pembinaan yang akan membentuk pola pikir dan pola sikap sesuai arahan Islam. Remaja harus dibekali dengan pemahaman bahwa Islam memiliki solusi dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Dengan begitu, mereka akan memandang kehidupan ini sesuai paradigma Islam, yakni tempat untuk beramal saleh dan setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt.
Mereka paham bahwa masa mudanya harus diisi dengan berbagai hal yang memberi manfaat bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat. Tidak kalah penting ialah merevitalisasi fungsi keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak, yakni orang tua wajib mendidik anak-anak mereka dengan menanamkan akidah Islam. Dengan demikian, akan terbentuk dalam diri mereka keimanan dan ketaatan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Negara juga wajib menciptakan sistem sosial sesuai aturan Islam. Peran masyarakat adalah melakukan amar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial benar-benar berjalan dengan baik. Negara pun harus menerapkan sistem pemerintahan, politik, ekonomi, pendidikan, dan hukum sesuai syariat Islam kafah. Hasil kualitas generasi sejatinya bergantung pada kekondusifan sistem yang diterapkan saat ini. Pemikiran merusak bisa saja masuk pada anak-anak kita, lalu memengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka.
Pada saat itu, membenahinya jauh lebih susah daripada mencegahnya. Kini, saatnyalah kita mengubah paradigma dalam mendidik mereka. Berikan fondasi akidah, ajarkan nilai-nilai syariat dalam kehidupannya, ubah kurikulum pendidikan sekulernya, dan terapkan politik ekonomi Islam yang menyejahterakan. Semua itu hanya akan terealisasi secara terpadu dengan mewujudkan sistem Islam secara kafah dalam Khilafah. Insyaallah remaja selamat, sehat, dan bahagia dunia akhirat.
Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
0 Comments