Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Proyek Moderasi Beragama Bidik Potensi Digital Pemuda


TintaSiyasi.com -- Kata radikalisme terus dihidangkan ke tengah masyarakat dengan pemanis buatan yang menggiurkan terutama kaum muda yang punya potensi untuk menjadi influencer. Wakil Menteri Agama Zainit Tauhid Saadi melirik potensi anak muda untuk mengobarkan genderang perang terhadap paham radikal dan ekstrem di era digital dengan membajak ruang publik yang dibalut konten kreatif berisikan racun moderasi beragama. 

Dalam gelaran bedah buku menteri agama, beliau menyampaikan bahwa anak muda harus memperbanyak literasi digital untuk mengimbangi konten-konten radikal. Target sasaran yang dibidik menteri agama untuk menguasai ruang publik adalah gen Z karena merekalah yang banyak mendominasi dunia maya (kemenag.go.id, 10/11/2022).

Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme (BPET), Dr Ikhsan Abdullah menganggap orang berpikiran ekstrem adalah penghancur negara, di sisi lain beliau juga menyampaikan bahwa Indonesia bukan negara agama maupun sekuler. Maka untuk merealisasikan agenda meraka, MUI gencar menyuarakan Islam wasathiyyah dengan meluncurkan program pesantren mujahid digital awal 2023. Ketua Bidang Infokom MUI, KH Masduki Baidlowi menuturkan strategi penyebaran Islam wasathoniah dengan menebarkan di media sosial melalui milenial dan gen z yang banyak menghuni ruang publik (mui.or.id, 12/11/2022).


Siapa Radikal Sebenarnya?

Dikutip dari laman indonesia.go.id (07/11/2019), secara etimologis, kata radikal sesungguhnya netral, dapat bermakna positif atau negatif. Radikal berasal dari bahasa latin “radix” atau “radici”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti akar, sumber, atau asal mula. Bila dimaknai secara luas istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, esensial atas bermacam gejala atau bisa bermakna tidak biasanya. 

Pascatragedi selasa kelabu pada 11 september 2001 yang meruntuhkan gedung kembar di amerika serikat, penggunaan kata radikal turut berubah drastis menjadi perlawanan terhadap teroris kepada sekutunya yaitu negeri-negeri Islam. Sejak itulah dunia Islam digaungkan perang global melawan terorime. Islam adalah pemicu segala serusakan yag ada.   

Alhasil, sejak itu Islam dikecam sebagai ajaran terorisme. Namun hidangan manis mereka tidak disantap lezat oleh publik, bahkan terorisme diindikasikan sebagai kejahatan terorganisasi seperti kasus KKB Papua. Demi menjajakan dagangan mereka istilah terorisme yang tidak laku diganti dengan war on radicalism yaitu bagi mereka yang menganut syariat Islam secara keseluruah. Tuduhan radikal mereka tujuan untuk menciptakan euforia islamofobia pada generasi muda, memecah belah hingga tak muncul kepedulian sesama umat Islam serta memanipulasi ajaran Islam degan ajaran Islam moderat yang tidak terlalu ekstrem mendalami Islam namun bukan juga tidak liberal. 

Strategi yang mereka pakai tidak lepas dari mengeksiskan kedudukan kapitalisme demi menguasai dunia, sehingga ideologi Islam dianggap sebagai parasit yang akan menggulingkan kekuasaan mereka. Maka hari ini kata radikal semakin naik daun di promosikan melalui jejaring media sosial yang bayak di adopsi oleh kalangan muda. Apalagi pada tahun 2022 Indonesia mendapatkan bonus demografi bahwa generasi Z menduduki posisi teratas. Ini akan menjadi sasaran empuk kapitalisme menamakan paham moderasi agama dengan konten-konten menarik serta influencer muda untuk menyebarkan paham ini. Akibatnya generasi muda senang hidup dengan kebebasan tanpa terikat hukum syariat. Misalnya muncul paham childfree dari salah seorang influencer, promosi L987 oleh selebgram, dan penistaan agama yang dilakukan oleh aparat pemerintah.

Bahkan media sosial tempat menanamkan benih moderasi beragama untuk memutilasi ajaran islam akan sangat cepat tersebar ke seluruh penjuru dunia dan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Maka tokoh utama yang di bidik penjajah kafir untuk memainkan perang pemikiran adalah pemuda. 


Pemuda Ujung Tombak Perubahan

Di era perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat membuat dunia dalam genggaman, penyebaran informasi melaju cepat, konten-konten silih berganti sesuai musim. Membuat peluang penyebaran Islam di ruang publik memiliki tempat. Sebagai seorang pemuda yang dilabeli umat terbaik yang kini tengah menjadi sasaran empuk penjajah kafir menanamkan bibit islamofobia dan memanipulasi ajaran Islam, tentu tidak membuat kita berdiam diri berpangku tangan berharap perubahan. Seorang Muslim memiliki kewajiban untuk berdakwah memerangi opini miring tentang Islam di publik sebagaimana perintah Allah dalam Q.S Al-Imran ayat 104, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Islam bukanlah agama yang mengajarkan kepada kebencian, memerangi dengan kekerasan, melakukan penindasan yang akhirnya tertuduh menjadi pelaku. Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam yang mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.

Firman Allah SWT QS. Al-Anbiya ayat 107, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.

"Tiada satu pun ayat Al-Qur’an yang memerintahkan berbuat kejahatan dan tidak ada pemaksaan terhadap orang-orang kafir untuk masuk Islam." (QS. Al-Baqarah ayat 256).  

Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan kepada ibadah ritual saja, hubungan manusia dengan tuhannya tetapi Islam adalah sebuah ideologi yang memancarkan peraturan kehidupan, setiap lini kehidupan manusia, baik ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lainnya. Sehingga aturan islam tidak boleh diambil sesuka hati, mana yang menguntungkan seperti tak tik kapitalisme. Allah menyampaikan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 208, “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” []


Oleh: Putri Cahaya Illahi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments