TintaSiyasi.com -- Kita tentu prihatin atas tragedi pesta Halloween di Itaewon yang menewaskan ratusan orang dengan mayoritas korbannya adalah pemuda. Kasus ini juga mengingatkan kita pada kasus tragedi Kanjuruhan yang juga telah menewaskan ratusan orang pada awal Oktober lalu. Kedua insiden ini memiliki persamaan, yaitu sama-sama memakan ratusan korban jiwa untuk kegiatan yang sifatnya bersenang-senang dan bisa dikatakan nihil manfaat. Namun, ada perbedaan yang tampak dari dua tragedi beda negara tersebut yang membuat prihatin, yaitu respons pemerintah Indonesia terhadap keduanya. Meski pemerintah telah memberi santunan dan menggratiskan biaya pengobatan untuk korban tragedi Kanjuruhan, tetapi tidak ada pernyataan perihal “Pemerintah bersama korban tragedi Kanjuruhan” sebagaimana terucap saat menyampaikan rasa duka kepada warga Korea Selatan. Ini mengesankan pemerintah seolah lebih perhatian dengan nasib rakyat di negara lain dibanding rakyat di negeri sendiri. Ketimpangan ini memang terlihat sepele, tetapi sangat berarti dan berdampak pada psikologis rakyat.
Hal lain yang membuat prihatin adalah ketidakseriusan pemerintah dalam melindungi generasi muda dari pemikiran-pemikiran asing dan budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, bahkan cenderung mengadopsi dan memfasilitasi pemikiran dan budaya asing tersebut. Terbukti dengan pembiaran perayaan-perayaan dan selebrasi yang hakikatnya bukan berasal dari Islam, seperti pesta Tahun Baru, Halloween, dan hari Valentine. Banyak industri yang menawarkan berbagai produk dan jasa yang mewadahi muda-mudinya untuk merayakan perayaan-perayaan non-Islami tersebut. Akhirnya, banyak generasi muda terjebak pada gaya hidup yang bebas, lebih menyukai pesta pora yang bahkan hingga berujung pada kematian massal.
Sebanyak 154 orang dikabarkan tewas akibat kerumunan massa pada pesta Halloween di Distrik Itaewon, Kota Seoul, Korea Selatan. Lebih dari 100.000 orang mendatangi Itaewon dalam waktu bersamaan sehingga membuat massa berdesakan, tergencet dan terinjak-injak. Kepolisian Korea Selatan masih melakukan penyelidikan untuk mencari penyebab pengunjung acara pesta Halloween berdesak-desakan di satu ruas jalan sempit di Itaewon pada Sabtu malam (29/10/2022) yang mengakibatkan setidaknya 154 orang meninggal dunia dan 82 orang terluka dalam insiden di kawasan hiburan malam Itaewon yang menggelar perayaan Halloween pertama sejak Covid-19 (bbc.com, 30/10/2022).
Peran Generasi
Pemuda adalah generasi penerus bangsa. Dari merekalah akan ditentukan nasib suatu bangsa di masa depan. Oleh karena itu, tanggung jawab membimbing dan mendidik generasi muda merupakan tanggung jawab semua pihak, mulai dari kedua orang tua hingga pemegang peranan tertinggi yaitu negara.
Mari kita tengok sejarah tentang kelahiran para pemimpin besar yang dimulai dari generasi mudanya. Rasulullah SAW sebagai Nabi sekaligus kepala negara telah sukses mendidik para sahabat menjadi generasi terbaik Islam, generasi emas penerus peradaban Islam.
Sepuluh sahabat Nabi SAW yang dijamin masuk surga semuanya adalah generasi muda. Di antara mereka hanya tiga yang berusia 30-an, yaitu Abu Bakar r.a, Utsman r.a, dan Abdurrahman bin Auf r.a.
Di sisi lain, Rasulullah SAW juga membangun sistem tatanegara yang berstandar pada syariat Islam. Kunci kesuksesan para sahabat menjadi generasi pemimpin yang taat adalah pola pendidikan Islam yang Rasulullah SAW terapkan serta sistem sosial masyarakat berlandaskan syariat Islam.
Oleh karenanya, jika kita menginginkan kebangkitan sebuah peradaban mulia dan cemerlang, negara wajib memberikan perhatian besar terhadap pembentukan karakter generasi muda. Apa saja yang harus dilakukan?
Pertama, negara memastikan setiap keluarga menerapkan pola asuh pendidikan keluarga berdasarkan akidah Islam. Keluarga adalah pintu pertama bagi pembentukan syakhsiyah (kepribadian) generasi. Orang tua harus membekali diri dengan ilmu agama yang cukup agar dapat mendidik putra-putrinya menjadi generasi yang bertakwa.
Kedua, sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Negara menyelenggarakan kurikulum yang disusun berdasarkan akidah Islam. Dengan begitu, perangkat turunannya seperti rancangan pembelajaran, metode belajar, mata pelajaran, bahan ajar, dll., disusun berdasarkan paradigma Islam.
Ketiga, pembiayaan pendidikan ditopang dengan politik dan ekonomi Islam. Seluruh pembiayaan pendidikan di negara berasas Islam yakni Khilafah diambil dari Baitul mal, yakni dari pos fa’i dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Pembiayaan pendidikan yang dimaksud meliputi fasilitas, infrastruktur, sarana dan prasarana sekolah, gaji guru dan tenaga pengajar professional, dll.
Keempat, negara menerapkan sistem sosial masyarakat yang kondusif. Bayangkan jika dari aspek individu, keluarga dan masyarakat bertakwa dan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, apakah mungkin kemaksiatan masih merajalela? Ketika sistem yang berlaku di tengah masyarakat adalah syariat Islam, tata pergaulan masyarakat pun ikut berubah menjadi masyarakat Islam.
Kelima, penetapan sistem sanksi (uqubat) yang memberi efek jera. Jika negara sudah melaksanakan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan, tetapi masih saja ada yang melanggarnya, sistem sanksi Islam menjadi pintu terakhir untuk mencegah masyarakat melakukan tindakan pelanggaran syariat Islam (zawajir) dan menjadi efek penebus dosa bagi para pelaku pelanggar syariat Islam (jawabir).
Begitulah gambaran negara berasas Islam (yakni Khilafah) dalam melaksanakan syariat Islam kaffah dalam mewujudkan generasi unggul, cerdas, dan beradab. Sepanjang sejarah peradaban Islam, pemuda selalu menjadi garda terdepan melawan kebatilan, bukan malah menjadi korban apalagi pelakunya. Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Kami ikut berperang bersama Rasulullah SAW, padahal saat itu kami masih muda.” (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW bersabda, “Rabb-mu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah (kecondongan untuk menyimpang dari kebenaran).” (HR. Ahmad)
Oleh: Cita Rida
Aktivis Muslimah
0 Comments