Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Paradigma Sangat Menentukan Arah dan Kualitas APBN

TintaSiyasi.com -- Tanggapi belum terserapnya sekitar 1200 triliun dana APBN hingga akhir September 2022, M. Hatta, S.E., M.E. menyatakan, paradigma sangat menentukan arah dan kualitas APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

“Paradigma ini sangat menentukan arah dan kualitas dari sebuah APBN,” ujar Peneliti Senior dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) pada Program Kabar Petang di YouTube Khilafah News, Senin (31/10/2022).

Ia menyatakan, persoalannya bukan pemerintah bingung atau tidak dalam memproyeksikan APBN, ketika  menanggapi fakta yang diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa masih ada anggaran pendapatan belanja negara atau APBN yang harus dibelanjakan hingga akhir Tahun 2022, sekitar 1200 triliun. Menurutnya, persoalannya lebih kepada paradigma.

“Jadi ini lebih kepada soal paradigma. Dari mana paradigma dari APBN itu disusun, direncanakan, targetnya apa, kemudian asasnya dan seterusnya,“ ulasnya. 


Paradigma Kapitalistik

Peneliti Senior tersebut menilai bahwa APBN Indonesia berparadigma (kerangka berfikirnya) kapitalistik. Maka, menurutnya tidak aneh bila fenomena tidak terserapnya anggaran tersebut, hampir setiap tahun selalu berulang. 

“Sampai-sampai saya ingat betul ibu Menkeu (Menteri Keuangan) itu mengatakan, ‘disuruh menghabiskan saja kok enggak bisa’, gitu. Nah, inilah paradigma, kerangka berpikir fiskal yang kapitalistik,” ulasnya.

Lebih lanjut Bung Hatta, sapaan akrabnya, menerangkan tentang paradigma kapitalistik pada APBN tersebut nampak bahwa salah satu sasaran akhir dari kenapa logikanya anggaran dihabiskan selama satu tahun, karena targetnya adalah GDP (Gross Domestic Product), pertumbuhan ekonomi.

“Pertumbuhan ekonomi itu yang menjadi target akhir, yang betul-betul disakralkan. Kalau kemudian dengan dorongan fiskal yang begitu besar nilainya, maka memang roda ekonomi itu berjalan lebih cepat. Tapi dari sisi kualitas bagaimana? Ini yang jadi pertanyaan,“ terangnya.

Lebih jauh Bung Hatta menganalisa capaian dari APBN yang selama ini dijalankan dengan paradigma kapitalistik tersebut. “Okelah nanti pertumbuhan GDP-nya dengan dorongan nilai APBN yang tadi 3100 triliun itu, angkanya lumayan. Meskipun selama beberapa tahun ini kita juga 5%-an saja ya, tidak sampai target sampai 2 digit misalnya, nggak juga gitu. Itupun kalau sampai 2 digit, apa iya Indonesia ini nanti bisa-bisa seperti negara-negara maju atau bahkan mungkin rakyatnya sejahtera semua?” tanyanya. 


Kualitas APBN

Selanjutnya Peneliti Senior tersebut memaparkan kenapa hampir setiap tahun ada anggaran APBN yang tidak terserap (termanfaatkan). Paling tidak ada dua sebab. Pertama, pihak yang mendapatkan jatah anggaran belum siap. Ada persoalan teknis di lapangan dan sebagainya. Kedua, dari sisi waktu tidak pas. 

“Antara kebutuhan dana misalnya, dari sisi waktu tidak pas. Dibutuhkan bulan apa, misalnya dibutuhkan mulai bulan Januari, kok dananya ada masuknya bulan Juli, misalnya. Ada beragam hal yang bisa menyebabkan tidak terserap,“ paparnya.

Lebih jauh ia mempertanyakan kualitas anggaran. Menurutnya, kualitas anggaran terlihat dari bagaimana nasib rakyat.  “Berkualitas atau tidaknya itu tentu kalau kita ingin melihat adalah sejalan enggak dengan nasib rakyatnya, kira-kira begitu. Indikator sederhananya begitu. Sejalan enggak dengan nasib rakyatnya,“ ujarnya.

Menurutnya, anggaran APBN Indonesia tahun 2022 sekitar 3100 triliun. Setiap tahun, selalu di atas 2000 triliun. Tapi, apakah linear searah dengan nasib rakyatnya, hal tersebut perlu didalami. Bung Hatta meragukan linieritas besarnya anggaran APBN dengan kesejahteraan rakyat.

“Enggak usah jauh-jauhlah bicara tentang sejahtera. Urusan perut  saja misalnya. Itu kan kalau kita lihat data dari pemerintah itu, tahun 2022 ini saja misalnya, itu kan bayar bunga utang sekitar 420 triliun. Kalau kita bandingkan dengan perlindungan sosial, untuk setiap kelompok usia ya, berdasarkan informasi APBN 2022, disebutkan total anggarannya hanya sekitar 431 triliun. Bayangkan!  Bayar bunga utang itu hampir mengalahkan perlindungan sosial. Apa untuk seluruh usia yang jumlahnya sekitar 161,7 juta jiwa? Nah, ini saja sudah menggambarkan bagaimana kualitas dari APBN kita tadi,” ujarnya. 

Terkait alokasi APBN untuk perlindungan sosial, Bung Hatta menilai bantuan pemerintah sifatnya setengah hati. “Kira-kira begitu ya. Bantuannya setengah hati. Yang namanya BPJS itu kan masyarakat tidak begitu tenang, meskipun sudah ada BPJS. Kenapa? Karena ribet gitu ya urusannya. Belum lagi klaim yang  diberikan pada asuransi itu, ditanggung apa tidak. Klaim seperti apa yang ditanggung oleh asuransi BPJS tadi. Ini masuk apa  enggak ya. Itu kan yang jadi keluhan masyarakat selama ini,“ bebernya.

Bung Hatta menegaskan bahwa APBN Indonesia masih jauh untuk disebut berkualitas. Ia pun menambahkan fakta pengalokasian anggaran yang tidak berkualitas tersebut, misalnya persoalan BBM. Menurutnya, BBM adalah persoalan yang sangat fundamental bagi ekonomi masyarakat. Karena, BBM termasuk ke dalam biaya produksi seluruh harga jual barang. Ketika BBM meningkat harganya, maka harga jual barang itu akan meningkat. 

“Transportasi itu  bisa sampai 30 sampai 40% dari biaya, dari total cost, dari biaya total begitu. Seperti perusahaan logistik misalnya. Perusahaan logistik itu 40%  untuk BBM saja itu. Bayangkan kalau naik 30% BBM-nya. Maka semua akan naik,“ katanya. 

Menurutnya, ada banyak pilihan kebijakan yang tersedia untuk tidak menaikkan BBM. Salah satu contoh adalah dana sisa saldo akhir dari APBN yang 300 triliun lebih. Belum lagi nanti dilihat persoalan angka-angka yang lain yang berkaitan dengan persoalan BBM tersebut. Dari situ bisa dinilai apakah APBN tersebut berkualitas apa enggak, untuk nasib rakyat Indonesia secara keseluruhan.


Teladan Rasulullah SAW : Paradigma Islam

Selanjutnya Bung Hatta menjelaskan bagaimana teladan Rasulullah SAW terkait pengelolaan APBN ketika beliau memimpin negara di Madinah. “Suri tauladan kita, sepanjang hayat kita, dalam seluruh aspek kehidupan,  tidak ada sisi ruang satu pun yang kemudian lepas dari suri tauladan kita, uswah hasanah kita, adalah baginda Rasul Kanjeng Nabi Muhammad SAW, termasuk dalam hal persoalan APBN,“ ungkapnya.

Menurutnya, APBN dalam Islam, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW di Madinah, adalah jika ada dana, kemudian ada rakyat atau umat yang membutuhkan, maka akan dikeluarkan. Jangan sampai ada rakyat atau masyarakat yang terbengkalai nasib hidupnya, dalam urusan pangan dan seterusnya. 

“Makanya kita lihat sepanjang pemerintahan Nabi, hampir-hampir tidak ada lagi ditemukan uang tersisa di kas negara, kira-kira seperti itu. Jadi, selalu dikeluarkan oleh Nabi ketika ada revenue, ada pendapatan yang masuk, dan kemudian ada umat yang membutuhkan, maka akan langsung didistribusikan oleh Nabi pada saat itu juga. Jangan sampai kemudian ada yang nasibnya terbengkalai. Itulah salah satu kerangka paradigma yang dipakai oleh Nabi,“ terangnya.

Bung Hatta menyampaikan, apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia sekarang. “Kalau sekarang ini kan coba kita lihat ya, setiap tahun dana sisa saldo akhir tadi misalnya, itu 300 triliun bayangkan. Pada saat yang sama, berapa banyak yang kemudian rakyat itu susah makan. Berapa banyak yang hidupnya gelandangan, tidur di bawah kolong jembatan misalnya. Berapa banyak seperti itu. Jadi, tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat,” ulasnya.

Ia kembali menegaskan bahwa untuk mengukur sebuah APBN itu berkualitas atau tidak, sehat atau tidak, dilihat dari linier atau enggak dengan nasib rakyatnya. “Bagaimana mungkin kemudian kita berbangga-bangga, oh APBN kami sudah 3000 triliun begitu kan, tapi nasib rakyatnya terkatung-katung. Itu salah satu contohnya,“ tegasnya.

Selanjutnya Peneliti Senior tersebut juga menggambarkan kondisi APBN pada masa khalifah-khalifah setelah Rasulullah. “Memang di  zaman  khalifah-khalifah setelahnya itu kan nanti akan ada surplus, dalam artian revenue yang ada itu melimpah,  meskipun sudah dibelanjakan. Itukan karena saking besarnya, saking bagusnya distribusi harta kekayaan yang ada, sehingga  tidak membebani APBN Daulah Islam ketika itu, atau kekhilafahan ketika itu,” terangnya.

Berbeda dengan APBN Indonesia sekarang, yang menurutnya banyak titik kelemahannya. “Kami pernah membuat sedikit petanya. Ada minimal lima titik kelemahan dari APBN kita. Mulai dari asas perencanaan yang bersifat manfaat, terus kemudian targetnya adalah berdasarkan GDP, pokoknya GDP setingi mungkin deh. Bagaimana dengan distribusinya, distribusinya yang tadi, dua bulan harus dihabiskan ya 1200-an triliun,“ ujarnya.

Menurutnya, ketika  asas perencanaan APBN adalah manfaat, maka akan terbuka lebar untuk dibajak oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa oleh oligarki dan macam-macam. Berbeda dengan ekonomi syariah, asas pelaksanaannya adalah hukum syarak, sehingga jenis-jenis belanjanya pun ada yang bersifat tetap, yang harus dikeluarkan oleh sebuah APBN. 

“Misalnya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Itu harus selalu ada dalam APBN Islam. Harus selalu  dianggarkan dengan prioritas. Mendapatkan tempat prioritas yang tinggi,“ urainya.

“Jadi, dalam Islam itu seperti itu. Salah satu kerangkanya begitu. Ketika itu betul-betul memang rakyat membutuhkan, maka gelontorkanlah. Jangan sampai rakyat itu justru kemudian tidak sejalan dengan nasib APBN-nya,“ pungkasnya. [] Binti Muzayyanah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments