TintaSiyasi.com -- "... Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang ..."
Di atas merupakan penggalan lagu yang sangat legendaris, dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade dengan judul Berita kepada Kawan ini menjadi nasihat, untuk kita renungkan bersama.
Musibah berupa gempa yang menimpa saudara-saudara kita di Cianjur, menyisakan derita yang teramat dalam. Tidak sedikit dari mereka harus kehilangan harta, benda dan keluarga tercintanya.
Memang benar, ini adalah ketetapan Allah SWT yang tidak bisa kita hindari. Berat, namun sebagai orang beriman hendaknya kita bersabar dan tabah menghadapinya. Karena segala sesuatu yang menimpa kita di dunia ini, termasuk jatuhnya sehelai daun kering, itu karena kuasa dan izin Allah SWT. Dan Allah pasti menghendaki kebaikan atas makhlukNya di muka bumi ini.
Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Yang artinya, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Selain ayat di atas, dalam hadis juga dijelaskan sebagai berikut :
من يرد الله به خيرا يصب منه
Yang artinya, "Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan mengujinya dengan musibah." (HR. Bukhari No.5645).
Ayat dan hadis di atas sangat gamblang. Bahwa apapun yang terjadi terhadap kita, termasuk musibah sekali pun, yang kita rasakan tidak enak dan menderita. Namun yakinlah itu adalah maha baiknya Allah kepada hamba-Nya, dan manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas musibah yang menimpanya.
Akan tetapi, yang menjadi catatan, Allah akan meminta pertanggungjawaban atas kelalaian yang dilakukan manusia.
Sebagaimana musibah bencana yang menimpa negeri ini. Musibah gempa berkekuatan magnetudo 5,6 mengguncang Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Cianjur. Setelah gempa pertama, masih ada puluhan kali gempa susulan.
Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD Cianjur Senin, 21 November, jumlah korban tewas akibat gempa bertambah menjadi 162 jiwa. Mirisnya dari jumlah tersebut mayoritas merupakan anak-anak. Ridwan Kamil menginformasikan pula bahwa ada 326 warga luka-luka dan 13.784 orang mengungsi di 14 titik yang berbeda.
Sungguh miris. Melihat fenomena setiap kali bencana gempa terjadi di negeri ini, Indonesia terbukti berada di wilayah 3 patahan lempeng bumi artinya negeri kita jelas rawan bencana. Akan tetapi mitigasi bencana gempa masih seadanya bahkan tata kelolanya cenderung ala kadarnya.
Hal ini terjadi akibat ketiadaan koordinasi yang solid diantara pejabat dan instansi terkait serta minimnya prioritas anggaran negara untuk antisipasi bencana.
Bicara urusan rakyat, lagi-lagi nampak belum menjadi visi utama para pemangku kebijakan. Termasuk dalam menangani bencana, baik secara preventif maupun kuratif. Pembangunan fasilitas umum masih berorientasi pada keuntungan dan manfaat belaka.
Di samping itu masih banyak rakyat yang tidak paham mitigasi bencana. karena memang tidak pernah mendapatkan simulasi atau semacam sosialisasi. Sehingga rakyat harus kembali menjadi korban.
Kapitalisme Akar Masalahnya
Diakui atau tidak sebenarnya tata kelola urusan rakyat yang ala kadarnya ini adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menjadikan penguasa bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi pengurus kepentingan para kapitalis atau pemilik modal.
Rakyat dibiarkan hidup layaknya di hutan rimba. Yang kuat akan bertahan hidup, sementara yang lemah akan hancur berkeping-keping. Mereka yang kaya bisa membangun rumah tahan gempa sementara yang miskin hanya pasrah dengan tempat tinggal yang bisa roboh kapan saja hanya dengan guncangan kecil.
Sangat berbeda dengan Islam, khilafah akan menetapkan berbagai kebijakan yang berdasarkan akidah Islam. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam dan ditujukan untuk kemaslahatan umat. Termasuk bagaimana mengatasi potensi terjadinya bencana.
Khilafah akan menempuh dua langkah strategi sekaligus yaitu preventif dan kuratif. Pertama, kebijakan preventif. Hal ini dilakukan sebelum terjadinya bencana, dengan tujuan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana fisik untuk mencegah bencana.
Khilafah juga harus bertindak tegas dalam kegiatan mitigasi, khususnya dalam aspek pembangunan infrastruktur serta pengaturan dalam pemanfaatan lahan. Mana yang dapat dijadikan tempat bermukim dan mana yang tidak dibolehkan sama sekali.
Penyediaan alokasi dana pun harus ditetapkan berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh para ahli mengenai potensi bahaya yang ada pada daerah tertentu dan potensi kerugian yang mungkin diderita ketika terjadi bencana alam.
Kesiapsiagaan khilafah dalam menyediakan logistik untuk menangani bencana alam bisa berupa cadangan makanan, peralatan, air, obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Kedua, kebijakan kuratif langkah ini dilakukan setelah terjadinya bencana yaitu para korban bencana agar mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi atau dampak-dampak traumatis lainnya. Tidak hanya itu kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, obat-obatan serta pelayanan medis lainnya.
Kemudian, berbagai bangunan rumah tempat tinggal, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat umum lainnya seperti tempat ibadah rumah sakit pasar dan lainnya harus segera diperbaiki bahkan jika perlu, khilafah akan merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif.
Demikianlah langkah-langkah khilafah dalam menangani bencana yang menimpa rakyatnya keberhasilan penanganan bencana dalam khilafah tidak lain karena syariat Islam yang menjadi asas dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: L. Nur Salamah, S.Pd.
Aktivis Muslimah Batam dan Kontributor Media
0 Comments