TintaSiyasi.com -- Pulau Sumatera secara topografi terdiri dari dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Topograpi ini membangun banyak sungai, sehingga Sumatera dapat disebut “Pulau Seribu Sungai”. Keberadaan puluhan sungai besar di Sumatera kini terancam rusak atau hilang akibat aktivitas ekonomi ekstraktif, illegal logging, seperti perkebunan skala besar, penambangan, pembangunan infrastruktur, baik di wilayah dataran tinggi maupun rendah. Terdapat enam sungai besar yang berhulu di Bukit Barisan dan bermuara di pesisir timur Sumatera, yakni Sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak, dan Roka (Mongabay.co.id, 2020).
Dari fakta di atas, bisa dikatakan bahwa Sumatera merupakan tempat jalannya air (aliran air) menuju lautan. Sehingga harus memiliki tatanan kota yang baik, serta harus ada daerah-daerah yang dijadikan sebagai daerah serapan. Tujuannya adalah untuk mencegah agar aliran air tidak terganggu, dan tanah tidak kehilangan kemampuannya untuk menahan air. Karena, ketika tanah kehilangan kemampuan untuk menahan air, maka akan menyebabkan banjir dan kekeringan di beberapa daerah.
Namun, saat ini banyak sekali proyek-proyek raksasa yang melakukan defortasi di daerah-daerah serapan (hutan) pulau Sumatera. Mereka melakukan pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan, perkebunan dan perumahan. Semua proyek ini mengatasnamakan pembangunan daerah.
Deforestasi merupakan kegiatan menebang hutan atau tegakan pohon, sehingga lahannya dapat dialih gunakan untuk kegiatan nohutan seperti aktivitas ekonomi ekstraktif, illegal logging, perkebunan skala besar, penambangan, pembangunan infrastruktur dan pemukiman.
Akibat dari deforestasi adalah terjadinya pengurangan luas hutan, tingginya potensi terjadi bencana hidrometeorologi, kehilangan berbagai jenis flora dan fauna, dan kerusakan sistem sumber daya air.
Secara tidak langsung, deforestasi akan mengubah fungsi hutan yang awalnya sebagai wadah pelestarian lingkungan dan ekosistemnya menjadi kepentingan manusia. Yang mana tujuan manusia dalam kapitalisme ini adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga tidak akan pernah merasa puas, diakibatkan karena jauhnya nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat. Sehingga mereka tidak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah Allah berikan.
Allah SWT berfirman, “Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (Al-Fajr [89] : 20).
Rasulullah SAW bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2376).
Padahal, dampak buruk dari deforestasi ini lebih banyak jika dibandingkan dengan kemaslahatannya. Buktinya di daerah Aceh baru-baru ini banyak jalan lintas nasional yang menghubungkan Aceh dengan Sumatera Utara terputus akibat terendam banjir. Sehingga mengakibatkan sulitnya akomodasi bahan pokok baik itu berupa bahan pangan maupun bahan bakar.
Selain itu, banyak masyarakat di bagian perbatasan Aceh-Sumut yang kesulitan untuk melakukan perjalanan dengan transportasi udara via Bandara Kuala Namu dan akhirnya memilih jalur bandara Sultan Iskandar Muda. Hal ini jelas menambah biaya pengeluaran dikarenakan jarak yang ditempuh lebih jauh.
Banyaknya hewan buas yang masuk ke pemukiman warga karena kehilangan habitatnya. Salah satunya di Kota Subulussalam, di mana ditemukan Orang Utan (Mawas) dan Harimau yang masuk ke pemukiman warga. Deforestasi ini juga berdampak pada kebakaran hutan, banyak kebun-kebun warga yang mengalami kebakaran lahan padahal belum memasuki masa panen.
Greenpeace Indonesia mengungkapkan angka deforestasi di Kalimantan dan Sumatera mencapai lebih dari tiga juta hektare dalam kurun waktu 2001-2020. Deforestasi di dua pulau itu paling tinggi dibanding pulau lainnya.
Luas deforestasi itu berbanding lurus dengan bencana hidrometeorologi yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Sebab, daerah tanggapan air (DTA) di kedua provinsi tersebut sudah rusak.
Diketahui, baik Sumatera dan Kalimantan kini kerap diterjang banjir ketika memasuki musim hujan. Banjir terjadi tak hanya satu hari atau seminggu melainkan berbulan-bulan. Ketika musim kemarau, kedua provinsi itu kerap juga terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Para akademisi dan LSM Lingkungan menilai, bencana-bencana itu terjadi imbas deforestasi (cnnindonesia.com, 10 Desember 2021).
Allah SWT melalui firman-Nya di dalam Al-Qur’an sudah memerintahkan manusia untuk senantiasa menjaga lingkungan. Usaha dalam menjaga lingkungan merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman." (QS. Al-A'raf : 85).
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 205).
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Araf : 56).
Nabi Muhammad SAW juga sangat menyayangi binatang. Beliau sangat tegas dalam memberikan teguran dan larangan terhadap hal-hal yang terkait dengan perusakan alam.
Suatu ketika Beliau melihat sarang semut yang telah dibakar oleh para sahabat Beliau. Rasulullah pun bersabda, "Siapa yang membakar ini?" Para sahabat menjawab, "Kami." Beliau bersabda lagi, "Tidak boleh menyiksa dengan api, kecuali Rab pemilik api." (HR Ahmad).
Rasulullah SAW memandang bahwa alam ini harus dijaga secara utuh. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam dilandasi keyakinan bahwa perusakan yang diperbuat akan membahayakan keselamatan dunia dan seisinya. Karena itu, Rasul meletakkan prinsip dalam melestarikan lingkungan berupa larangan melakukan perusakan di muka bumi.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon kecuali buah yang dimakannya menjadi sedekah, yang dicuri sedekah, yang dimakan binatang buas adalah sedekah, yang dimakan burung adalah sedekah, dan tidak diambil seseorang kecuali menjadi sedekah.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Terlihat jelas bagaimana bobroknya kehidupan ketika diatur dengan aturan buatan manusia. Maka sudah saatnya kita membuka mata, menggunakan akal kita untuk berfikir secara logis dan kritis dan menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya aturan dalam menjalani kehidupan. []
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns
Aktivis Muslimah
0 Comments