Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Migrasi TV Digital, Untung Besar para Kapitalis


TintaSiyasi.com -- Televisi merupakan salah satu sarana yang digunakan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Akan tetapi, baru-baru ini pemerintah mencanangkan kebijakan migrasi TV analog ke TV digital. Kebijakan tersebut tak ayal menjadikan masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam. 
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, proses migrasi siaran digital sudah berjalan secara bertahap di 230 kabupaten dan kota. Kebijakan migrasi ASO (Analog Switch Off) ini diklaim sesuai dengan  Undang-Undang Omnibus Law (UU nomor 11 tahun 2020) yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. 

UU tersebut mengungkapkan, kewajiban penghentian siaran televisi analog paling lambat pada 2 November 2022 pukul 24.00 WIB (Pasal 97 ayat (1) b). Kebijakan  migrasi TV analog ke TV digital disertai pula pendistribusian Set Top Box (STB) sejumlah 1.005.360 unit secara gratis kepada masyarakat miskin (ihram.co.id).

Kebijakan pemerintah untuk migrasi TV analog ke TV digital tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Masyarakat mengungkapkan kesulitan untuk membeli STB. Untuk biaya hidup sehari-hari saja susah, apalagi harus membeli STB yang harganya berkisar antara Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. 
Migrasi Digital Arahan Dunia Internasional
Migrasi siaran televisi analog ke digital merupakan komitmen seluruh negara, termasuk Indonesia, yang tergabung dalam International Telecommunication Union (ITU). ITU merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bidang teknologi informasi dan komunikasi. Pada pertemuan The Geneva Frequency Assignment Plants, disepakati bahwa tanggal 17 Juni 2015 merupakan batas waktu di seluruh dunia melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital. 

ASEAN pun mendeklarasikan untuk menuntaskan ASO atau Analog Switch Off 2020. Indonesia termasuk tertinggal menerapkan migrasi digital dibandingkan enam negara ASEAN yang lain. Maka untuk mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah menerapkannya dalam Undang-Undang Omnibus Law (UU No 11/2020).

Migrasi Digital, Menguntungkan Siapa?

Pemerintah menilai migrasi siaran televisi analog ke digital lebih menguntungkan karena mendorong efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio 700Mhz. Penggunaan siaran televisi digital akan menghemat penggunaan frekuensi radio yang lebih sedikit dibandingkan dengan  televisi analog yang membutuhkan sumber daya yang besar.

Prediksi Boston Consulting, keuntungan yang akan didapat pemerintah sangat besar. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan meningkat kisaran Rp 7 triliun per tahun atau lebih dari Rp 77 triliun per 10 tahun masa lisensi. Spektrum yang dihasilkan dari migrasi digital siaran televisi akan menjadi pondasi dasar untuk pengembangan digitalisasi selanjutnya, contohnya jaringan 4G menjadi 5G.

Seiring dengan pemberhentian TV analog, permintaan STB pun melonjak tajam. Perusahaan yang  memproduksi STB terus meningkatkan produksinya. Seperti PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), yang melakukan produksi awal 10 ribu unit, kemudian tahap dua 50 ribu unit, dan tahap ketiga 10 ribu STB. Produsen STB yang lain seperti Akari, Polytron, Tanaka, dan sebagainya juga mengalami peningkatan produksi.
Selain itu, marketplace yang menjual STB juga mendapat laba yang besar. Permintaan STB terus meningkat. Begitu pula penjualan TV digital pun mengalami peningkatan, karena masyarakat banyak yang beralih ke TV digital.

Pada titik ini, nampak terlihat siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan diberlakukannya Undang-undang Omnibus Law, alias Undang-undang Sapu Jagat yang bisa menyasar bidang apapun, termasuk bidang penyiaran. Pada kenyataannya, kebijakan ini menguntungkan pemilik modal yaitu pengusaha. Sedangkan rakyat harus berjuang membeli STB yang harganya tidaklah murah. Seharusnya pemerintah memikirkan kembali kebijakan ini, karena sangat menyulitkan bagi rakyat untuk mendapatkan hak mereka memperoleh siaran televisi. 

Pengaturan Media dalam Islam

Dalam sistem kapitalisme, kebijakan-kebijakan yang diberlakukan lebih banyak menguntungkan pemilik modal. Sedangkan rakyat hanya seperti sapi perah yang dijadikan sebagai pangsa pasar produk mereka. Bisnis media sangatlah menguntungkan para pemilik modal, karena akan terus dibutuhkan dan digunakan oleh masyarakat setiap saat. 

Maka pemilik modal berusaha mencari peluang untuk mendapat keuntungan berlipat ganda, termasuk dengan menguasai lembaga penyiaran, dan menjadi produsen instrumen penyiaran. Bahkan konten siaran televisi yang tidak bermanfaat dan merusak moral dianggap bisnis yang sangat menguntungkan. Begitulah sistem kapitalisme memonopoli bisnis, termasuk bisnis di bidang media informasi. 

Hal ini sangat berbeda dengan pengelolaan media di dalam Islam. Semua rakyat berhak untuk mendapatkan media informasi. Khilafah (negara Islam) akan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam Khilafah, setiap warga negara berhak untuk mendirikan media informasi. Pendirian media informasi cukup dengan memberikan laporan dan informasi supaya negara mengetahuinya. 

Akan tetapi, Khilafah tidak akan berlepas tangan begitu saja. Kendali pengontrolan media tetap berada di tangan Khilafah. Konten siaran harus sesuai dengan syariat Islam. Tidak boleh berisi konten yang merusak moral, berita bohong, pornografi-pornoaksi, dan sebagainya. Lembaga penyiaran yang melanggar akan dikenakan sanksi yang tegas. Khilafah juga menggunakan media informasi sebagai sarana untuk mendakwahkan Islam dan memberikan siaran yang edukatif. 
Selain itu, negara tidak akan membiarkan para pemilik modal memegang kendali informasi dan membisniskannya. Khilafah juga akan menyediakan instrumen informasi sehingga seluruh rakyat bisa mengakses media informasi dengan cuma-cuma atau dengan harga yang terjangkau. Alhasil, kebijakan yang diberlakukan dalam sistem Islam mampu menjamin warga negara untuk mendapat haknya tanpa menjadikannya sebagai lahan bisnis. Wallahuala bishowab.

Oleh: Triana
Pegiat Literasi

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments