Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menutrisi Lidah agar Tetap Sehat Mengucap Istilah

TintaSiyasi.com -- Dunia tak pernah sepi dari manusia tukang ejek, tukang olok, dan tukang fitnah. Lisannya gemar memelesetkan suatu istilah. Baru-baru ini terjadi lagi kasus memelesetkan istilah yang khas dalam ajaran islam, yakni khilafah. Seorang komisaris BUMN yang digaji negara rupanya masih merangkap profesi menjadi buzzerRp. Melalui cuitan sampahnya di akun twitternya, Dede Budhyarto menulis "Memilih capres jangan sembrono apalagi memilih Capres yang didukung kelompok radikal yang suka mengkafir-kafirkan, pengasong khilaf*ck anti Pancasila, gerombolan yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas." Cuitannya pun banjir kecaman netizen.

Cuitan Dede Budyhyarto itu dapat dikategorikan qaulan‘adziman, yakni  kata-kata yang  besar dosanya. Perkataan jenis ini mudah sekali ditemukan di era internet, yakni ujaran kebencian yang mengandung olok-olokan dan permusuhan. Media sosial telah banyak digunakan tangan-tangan kotor untuk menumpahkan fitnah, caci maki, dan menyebarkan perkataan kotor yang menjauhkan manusia dari jalan Allah sebagaimana cuitan sampah pejabat publik di atas.

Jauh sebelum era digital hari ini, yakni 14 abad yang lalu, aktivitas memelesetkan istilah ini kerap dilakukan oleh golongan Yahudi. Mereka memelesetkan beberapa istilah khas dalam islam, semisal ucapan salam, “assalamu'alaikum” mereka pelesetkan menjadi “assamu'alaikum”  (kebinasaan atas kalian). Mereka juga memelesetkan kata “ra’ina” (“Raa ‘ina” berarti: Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami) menjadi “ru’uunah” (yang berarti: kebodohan yang sangat). 

Ada suatu riwayat yang menyebutkan bahwa dua orang yahudi bernama Malik bin Shaif dan Rifa’ah bin Zaid, apabila bertemu dengan Nabi saw. mereka mengucapkan, “Ra’ina sam’aka was ma’ghaira musmai’in”.  Kaum Muslimin mengira bahwa kalimat itu adalah ucapan ahli kitab yang ditujukan untuk menghormati nabi-nabinya. Lalu, kaum muslim  ‘ikut-ikutan’. Mereka pun mengucapkan kata-kata itu kepada Nabi saw. Setiap kali kaum muslimin mengucapkannya, orang-orang yahudi pun menertawakannya. 

Maka Allah menurunkan Surat al- Baqorah ayat 104 sebagai larangan untuk meniru-niru perbuatan kaum yahudi. Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”

Ketika salah seorang sahabat, yaitu Sa’d bin Mu’adz mendengar ayat ini, berkatalah ia kepada kaum yahudi, “Hai musuh-musuh Allah! Jika aku mendengar perkataaan itu diucapkan oleh salah seorang diantaramu sesudah pertemuan ini akan kupenggal batang lehernya.

Rupa-rupanya, Sa’d mengetahui bahwa frasa “ra’ina” telah dipelesetkan oleh lidah orang-orang yahudi sebagai “ru’uunah”, yang artinya bodoh. Orang-orang Yahudi memelesetkan kata itu dan menggunakannya untuk berbicara kepada Nabi saw. dengan maksud yang buruk, yakni mengolok-olok Nabi dan mengejeknya, atau berbicara kepada Nabi dengan nada mengejek dan meremehkan kedudukan dan kehormatan Beliau.

Mengutip tafsir kementerian Agama RI, makna Qs. al-Baqorah ayat 104  tersebut adalah: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, ra'ina', yang berarti, peliharalah dan jagalah kami, kepada Rasulullah karena kata itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang Yahudi untuk berolok-olok yang menyerupai kata ra'unah, yang berarti bebal dan sangat bodoh, tetapi katakanlah, undhurna' (perhatikanlah kami), dalam mempelajari agama dan dengarkanlah serta taatilah perintah-perintah Allah kepadamu dan janganlah kamu menyerupai orang-orang Yahudi yang berkata, kami mendengar dan kami ingkar. Dan orang-orang kafir dari kaum Yahudi itu akan mendapat azab yang pedih akibat olok-olok mereka kepada Rasulullah. Orang-orang yang kafir dari Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya kepadamu suatu kebaikan, salah satunya Al-Qur'an sebagai kebaikan yang paling tinggi dari Tuhanmu karena kedengkian dan rasa iri dalam diri mereka. Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya, berupa kenabian, wahyu, kenikmatan, dan kebajikan kepada orang yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya, misalnya kepada Nabi Muhammad. Dan Allah pemilik karunia, nikmat, dan kebajikan yang besar.

Demikianlah Allah Swt telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin agar memilih kata-kata yang baik dalam berbicara. Juga hendaknya memilih lafaz atau istilah yang lebih pantas dan sopan, tanpa dipeleset-pelesetkan. Kewajiban menjaga adab dan kesopanan dalam berbicara tanpa menggunakan diksi yang dapat disalahartikan adalah sebagai bentuk menjaga kemuliaan diri sendiri serta menghormati publik lawan bicara. Nabi saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah dia berkata baik atau diam” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ada sebuah peribahasa Jawa mengatakan, “Ajining dhiri gumantung saka lathi, ajining raga gumantung saka busana”. Artinya, ucapan memegang peranan yang penting bagi seseorang sebab diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh ucapannya. Maka seseorang harus berhati-hati menjaga ucapannya. Sedangkan nilai raga tecermin dari busana yang dikenakannya. Apa-apa yang kita katakan akan menjadi penilaian bagi siapapun yang mendengarkan. Jika kata-kata yang kita ucapkan baik, orang lain akan memberikan nilai yang baik pula. Begitupun sebaliknya. Peribahasa Jawa ini mengajarkan orang Jawa untuk tidak berkata kecuali yang baik saja.

Tidak ada alasan bagi seorang pun untuk berkata buruk, apapun jabatannya. Justru seharusnya, orang yang memiliki jabatan publik  senantiasa meneladani berkata-kata baik. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk terus bertutur kata baik. Dalam Islam, iman adalah nutrisi terbaik bagi seorang mukmin dan muslim agar lisannya senantiasa sehat berucap. Keimanan seseorang akan membuat lisannya terikat kokoh dengan hukum syarak. Laksana lidah yang terjaga oleh gigi yang rapi, kokoh dan terlindung oleh dua bibir. Begitulah lisan seorang muslim harusnya dijaga. 

Sebenci apapun pada suatu hal, tidak lantas menggiring lisannya pada ujaran kotor. Sebab bimbingan iman akan menuntunnya pada jalan yang lebih intelektual dan cerdas dalam menyikapi perbedaan maupun persengketaan. Sebab, lisan itu lebih tajam daripada pedang. Luka badan akibat sayatan pedang masih mudah diharapkan kesembuhannya, tetapi luka hati akibat sayatan kata-kata, sangat susah dicari penawarnya.

Sungguh, era keberlimpahan teknologi dan banjir informasi di bawah kepemimpinan kapitalisme sekuler menjadi lahan subur bagi kebebasan berbicara, termasuk bebas mengolok-olok ajaran agama. Model kebebasan sekuler radikal seperti ini menjadi menu utama sehingga menimbulkan ‘malnutrisi’ bagi pemikiran yang sahih. Terlalu sering mengonsumsi hal-hal yang berasaskan sekularisme, menyebabkan tumpulnya intelektualitas dan tradisi diskusi yang ilmiah. Terbukti jika merasa tidak sepakat dengan  suatu gagasan semisal khilafah, mereka bertingkah seperti anak kecil yang suka mengolok-olok ketimbang beradu argumen ilmiah dan rasional.

Oleh karenanya, dunia membutuhkan kepemimpinan alternatif yang akan menghentikan kebebasan tanpa batas seperti hari ini. Dunia membutuhkan sistem sahih yang mampu mensalihkan lisan dan menutrisi pemikiran dengan petunjuk wahyu, bukan hawa nafsu. Sistem inilah yang pernah tegak 13 abad lamanya, yakni khilafah. Sistem pemerintahan islam  yang hari ini dipelesetkan secara kurang ajar oleh seorang Dede Budhyarto.

Patut kiranya kita renungkan nasihat Sayyidina Ali r.a. berikut ini. “Sesungguhnya perkataan orang mukmin berasal dari hatinya. Sedangkan hati orang munafik berasal dari lisannya. Karena orang mukmin ketika ingin berbicara, ia renungkan terlebih dahulu, jika baik, maka ia akan melanjutkan perkataannya. Jika berdampak buruk, maka ia akan meninggalkannya. Sedangkan orang munafik berbicara dengan lisannya saja. Ia tidak tahu dampak baik dan buruknya.” Wallahua’lam bissawab


Oleh: Pipit Agustin
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments