TintaSiyasi.com -- Televisi merupakan salah satu media komunikasi yang sangat dekat dengan masyarakat. Dengan sistem free to air alias gratis, televisi menawarkan beragam program acara untuk seluruh kalangan dari berbagai rentang usia. Sehingga hampir seluruh rumah tangga di Indonesia memiliki televisi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, populasi rakyat Indonesia yang menonton televisi sebesar 89,96 persen. Meskipun mengalami penurunan sebesar 3 persen, angka ini masih cukup besar. (kumparan.com, 2/11/2022)
Sebagai media penyiaran, televisi menggunakan pemancar frekuensi radio berkekuatan tinggi untuk memancarkan gelombang televisi ke penerima gelombang televisi. Hingga tahun 2000, siaran TV dipancarkan dalam bentuk gelombang analog, tetapi belakangan ini perusahaan siaran publik maupun swasta kini beralih ke teknologi penyiaran digital. (wikipedia.com).
Dan terhitung mulai Rabu 2 November 2022 pukul 24.00 WIB, pemerintah menjalankan proses migrasi siaran TV analog ke digital atau Analog Switch Off (ASO) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta 173 kabupaten kota non-terrestrial service atau tidak ada layanan televisi terestrial.
Pemerintah sendiri meng-klaim TV digital memberikan manfaat untuk banyak golongan. Yang pertama adalah keuntungan yang akan didapat masyarakat. Sinyal yang dipancarkan TV analog adalah sinyal analog atau sinyal yang ditangkap antena. Sedangkan, sinyal yang dipancarkan siaran digital berupa sinyal sistem siaran digital. Sehingga siaran TV digital menghasilkan gambar yang bersih dengan suara yang jernih meskipun tidak dekat dengan pemancar layaknya TV analog yang harus dekat dengan pemancar untuk mendapatkan gambar yang jernih.
Dilansir dari liputan6.com (3/11/2022) selain memberikan keuntungan untuk masyarakat, bagi lembaga penyiaran, mereka akan bisa lebih berkompetisi, karena persaingan bukan hanya dengan sesama lembaga penyiaran, namun juga dengan layanan atau aplikasi seperti YouTube, video on demand maupun streaming video lainnya.
Suntik mati TV analog pun diperkirakan akan memberikan keuntungan bagi negara. Diketahui, siaran TV analog memanfaatkan frekuensi radio yaitu pada frekuensi 700 Mhz. Di jalur inilah layanan lalu lintas data untuk internet 5G juga berlangsung. Dengan demikian, peralihan dari TV analog ke TV digital menghasilkan "digital dividen" (penghematan frekuensi). Sisa frekuensi [dari TV analog] yang ada ini akan digunakan untuk perluasan akses internet. Di samping itu, juga untuk perkembangan 5G yang diharapkan penyebaran internet sehingga teknologi digital akan semakin cepat dan merata. (cnnindonesia.com, 6/11/2022).
Digital dividen ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara. Seperti yang disampaikan oleh Naufal Huda, Pengamat Ekonomi Digital dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), secara hitung-hitungan migrasi tersebut akan positif bagi pendapatan negara. Karena pita frekuensi bisa disewakan kepada industri telekomunikasi untuk mengembangkan internet 5G dan sebagainya. (siarandigital.kominfo.go.id, 5/11/2022)
Ini adalah salah satu bukti nyata penerapan sistem kapitalisme di dalam sebuah negara. Liberalisasi ekonomi terjadi pada semua aspek kehidupan. Sektor publik yang seharusnya digunakan untuk kemaslahatan umat dan semestinya dikelola oleh negara, justru dilelang dan diperjualbelikan kepada pihak swasta. Sehingga tidak mengherankan jika banyak korporasi baik domestik maupun asing yang menguasai sektor publik.
Begitu pula dengan jaringan internet, negara melelang dan menyewakan frekuensi penyiaran kepada pihak swasta. Tidak lain tujuannya tentu untuk menambah sumber pemasukan negara selain dari pajak. Dengan demikian, selain PT Telkom selaku BUMN yang menggunakan layanan 5G, Indosat Ooredoo Hutchison dan XL Axiata adalah industri telekomunikasi swasta yang turut menggunakan frekuensi 5G pada saat ini.
Jika pengelolaan sektor publik diserahkan pada korporasi dan bukan lagi dikelola negara, maka sudah pasti keuntungan akan menjadi tujuan utama para korporat. Rakyat hanya dijadikan sebagai objek dan market dari produksi produk dan jasa mereka. Dan akhirnya rakyat mesti membayar dengan harga yang tentunya tidak murah jika ingin menggunakan layanan 5G agar mendapatkan kualitas internet yang lebih baik. Berbeda jika sektor publik dikelola oleh negara, rakyat cukup membayar murah sebagai ganti _cost_ produksi dan _maintenance_ saja bahkan sangat memungkinkan gratis.
Hal lain yang perlu dicermati adalah untuk dapat menggunakan layanan TV digital, diperlukan perangkat khusus agar dapat menangkap siaran digital. Perangkat ini adalah set top box (STB). Dan ironisnya, rakyat harus mengupayakan sendiri alat tersebut dengan harga yang juga tidak murah, bahkan semakin melambung dikarenakan analog switch off (ASO) pada awal November lalu. Meskipun ada bantuan STB dari pemerintah, sayangnya tidak merata dan hanya untuk sebagian kecil warga saja.
Untuk warga yang tidak termasuk kepada penerima bantuan STB, "dipaksa" untuk membelinya jika ingin menonton siaran TV. Namun di tengah kondisi ekonomi yang belum membaik karena rakyat masih berusaha bangkit setelah pandemi selama 2 tahun terakhir, ditambah harga kebutuhan pokok pun melonjak sebagai imbas kenaikan BBM beberapa waktu lalu, keharusan untuk memiliki STB agar dapat menikmati siaran TV digital sungguh sangat membebani rakyat. Dan bagi rakyat, membeli STB bukanlah prioritas utama saat ini melainkan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.
Dari sini semakin tampak jelas penerapan liberalisme di negeri ini. Kebebasan ekonomi sebagai salah satu pilarnya, telah begitu mengakar. Di mana bantuan atau subsidi untuk rakyat dikurangi bahkan jika mungkin ditiadakan, sehingga membuka peluang bisnis bagi para kapitalis. Dalam hal ini adalah pengadaan dan jual beli STB oleh swasta.
Wacana untuk suntik mati TV analog telah muncul sejak ketuk palu UU Cipta Kerja pada tahun 2000 lalu. Semestinya ini sudah memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mempersiapkan dan mendistribusikan STB secara merata kepada rakyat. Jika memang tujuan dari ASO adalah untuk kemaslahatan rakyat, bukan sebaliknya membebani rakyat. Tetapi nyatanya pemerintah menyerahkan urusan tersebut kepada swasta, sehingga menjamurlah produsen-produsen STB di pasaran dan menjualnya dengan harga tinggi.
Beginilah sistem kapitalisme, semua serba dihitung berdasarkan untung dan rugi. Jika dirasa merugikan negara, maka beban dialihkan kepada rakyat. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang diambil pun demi kepentingan korporat, bukan kemaslahatan rakyat.
Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam. Jika diterapkan dalam sebuah negara. Politik Islam akan mengatur seluruh aspek kehidupan berlandaskan pada hukum syara' dan demi kemaslahatan umat. Negara akan berperan sebagai pengelola sumber daya alam dan periayah rakyat.
Sehingga di dalam daulah Islam, di mana teknologi dianggap sebagai instrumen penunjang kehidupan akan digunakan untuk meningkatkan kehidupan menjadi lebih baik. Begitu pula dengan telekomunikasi. Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur milik umum yang disediakan oleh negara. Dengan demikian pengembangan teknologi komunikasi seperti migrasi TV analog ke digital dan layanan internet 5G akan dibiayai oleh daulah.
Selain itu, teknologi komunikasi digunakan untuk kepentingan media. Di dalam daulah Islam, media memiliki peranan yang penting. Di luar negeri, media akan digunakan untuk menyebarkan Islam dan menunjukkan keagungan ideologi Islam. Sedangkan di dalam negeri media akan digunakan untuk mengedukasi umat dengan tsaqofah Islam, berita keseharian dan ilmu sains dan teknologi sehingga akan tercipta masyarakat Islam yang kokoh.
WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab
Oleh: Esti Budiarti
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments