TintaSiyasi.com -- Melihat fenomena kehidupan manusia di dunia, akan ditemukan beberapa fase. Mulai fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa, menua, dan akhirnya meninggal dunia. Jika usia seseorang bisa mencapai 77 tahun, tentu telah melewati banyak asam-garam kehidupan dan lika-liku perjuangan. Meski secara fisik kondisinya melemah, tapi masih bisa bersantai memetik hasil jerih payah. Tergantung kondisinya di usia produktif, apakah melakukan banyak aktivitas positif atau justru pasif. Kondisi seseorang di usia muda akan menentukan kondisi kala senja.
Begitu pun jika dianalogikan dalam sebuah negara, akan melalui beberapa fase. Fase lemah di mana negara itu baru berdiri, kemudian menguat dan makin berani mengepakkan sayap. Fase selanjutnya, bisa bertahan lama dalam kejayaan atau justru segera ambruk dan menyisakan puing-puing reruntuhan. Idealnya, suatu negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, akan mampu bertahan lama dalam kejayaan hingga negara tersebut layak diperhitungkan di mata dunia.
Miris. Indonesia dengan SDA dan SDM yang luar biasa justru terjebak dengan status ‘negara berkembang’ begitu lama. Kamar Dagang Amerika kemudian mengeluarkan Indonesia dari status ‘negara berkembang’ dan beralih menjadi ‘negara maju’ sejak November 2020. Meski demikian, masyarakat Indonesia secara umum justru makin mengeluhkan beratnya beban hidup. Akhirnya, status negara maju tak seirama dengan kesejahteraan rakyat. Indonesia di usia 77 tahun ini, belum bisa dikatakan berjaya mengurusi hajat hidup rakyatnya.
Ipoleksosbudhamkam
Pada setiap momen HUT Kemerdekaan RI dan pergantian tahun, rakyat Indonesia dikelilingi euforia. Dua momentum yang mampu menghilangkan rasa duka sementara. Hingga saat pulang ke rumah, barulah tersadar kenyataan hidup ‘asap dapur makin susah mengepul’. Menjadi penting melakukan refleksi dari segala sisi. Mulai dari idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhamkam).
Pertama, dari sisi idiologi. Indonesia mengklaim memiliki Pancasila sebagai ideologi, tapi sekadar menggenggam Pancasila saja tampak kepayahan. Sila-sila yang terkandung di dalamnya justru sering diabaikan. Masyarakat makin jauh dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kasus kriminalitas makin ekstrem, tidak manusiawi, dan tidak beradab. Pesta demokrasi cenderung meninggalkan jejak perpecahan. Sementara suara rakyat hanya dimanfaatkan saat pemilu hingga hasil kebijakan pemerintah justru menyisakan kesenjangan sosial.
Kedua, dari sisi politik. Partai politik (parpol) yang begitu banyak justru beramai-ramai berkoalisi dengan partai penguasa. Minimnya partai oposisi menjadikan konstelasi politik kurang sehat. Sementara sejumlah parpol yang memilih oposisi makin kurang bergigi. Akhirnya, mau tak mau, masyarakat menjadi oposan. Masyarakat awam bermetamorfosis menjadi pemerhati dan pengamat, sekaligus menawarkan solusi atas permasalahan negeri.
Ketiga, dari sisi ekonomi. Utang Indonesia tembus di angka Rp7.420 triliun per September 2022. Empat negara kreditur yaitu Jerman, Amerika, Italia dan Autralia sepakat menghapus utang Indonesia senilai Rp5 triliun melalui skema konversi atau debt swap. Penghapusan utang negara ternyata tidak cuma-cuma, melainkan dilakukan dengan konversi program/proyek yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia. Hal ini tentu patut diwaspadai, mengingat, Indonesia lebih berpotensi dikendalikan asing dalam pembuatan berbagai proyek.
Keempat, di bidang sosial. Di saat sebagian masyarakat bangga dengan status Indonesia sebagai negara maju, di saat bersamaan, negara berlepas tangan menanggung berbagai subsidi rakyat. Negara maju dianggap tidak perlu memberi subsidi, mengingat, pendapatan per kapita rakyat dianggap sudah tinggi. Padahal kenyataanya, masih banyak rakyat miskin yang butuh uluran tangan. Dalam kondisi demikian, status ‘negara maju’ justru merugikan rakyat bawah.
Kelima, dari sisi budaya. Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan fisik, selanjutnya dijajah budaya asing. Budaya ketimuran yang menjunjung tinggi norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum kini bergeser pada permisifisme (keserbabolehan). Tren Hollywood, Bollywood serta Hallyu mengiringi perkembangan masyarakat. Parahnya, pesona oppa korea tak hanya menghipnotis kalangan pemuda tapi juga mereka yang sudah lanjut usia.
Keenam, pertahanan dan keamanan. Keamanan Indonesia baik di dalam negeri maupun wilayah perbatasan dalam kondisi tidak baik-baik saja. Kasus KM-50, kasus Sambo, Tragedi Kanjuruhan hingga kasus gagal ginjal akut misterius anak setidaknya menunjukan jaminan perlindungan nyawa bagi masyarakat masih menjadi PR pemerintah. Di saat bersamaan, wilayah teritorial Indonesia, khususnya Natuna kerap dilalui dan diintai kapal ataupun pesawat asing.
Glorifikasi G20?
Indonesia dibanjiri pujian karena dianggap sukses menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Presiden Jokowi pun turut dielu-elukan atas Presidensi G20 yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 15-16 November 2022. Padahal, Presidensi G20 layaknya piala bergilir, sebagaimana India juga akan memegang Presidensi G20 tahun depan. Artinya kepemimpinan pada KTT G20 tahun 2022 tersebut tidak perlu diglorifikasi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, banyak negara anggota G20 akan meminta pertolongan Presiden Jokowi terkait isu perdamaian dunia. Setelah melakukan lawatan ke Rusia dan Ukraina pada tanggal 26 Juni 2022, Jokowi dianggap layak mendapat nobel perdamaian dunia. Meskipun, serangan Rusia justru semakin sengit pasca kunjungan Jokowi. Bahkan, di saat KTT G20 masih berlangsung, Rusia kembali menembakkan rudal ke Ukraina (15/11).
Padahal, meskipun Presiden Rusia tidak menghadiri KTT G20, tapi mengirim utusan yaitu Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov. Serangan rudal tersebut bisa bermakna pihak Rusia tidak menghargai pertemuan KTT G20 yang sementara membahas isu perdamaian dunia. Hal ini juga berarti, terbentuknya KTT G20 bukanlah berdasarkan tujuan dan pemikiran yang sama. Di dalamnya ada kepentingan masing-masing negara yang lebih diutamakan dibandingkan keputusan KTT G20.
Jika KTT G20 saja tak mampu menghentikan perang Rusia-Ukraina, bagaimana pula dengan Indonesia? Tentu, Indonesia dengan kondisi seperti saat ini, sangat mustahil menjadi juru damai dua negara berkonflik. Simpelnya, bisa melihat kondisi rakyat Indonesia sendiri yang masih jauh dari rasa damai, aman dan sejahtera. Sayangnya, karut marut di negeri ini selalu mengkambinghitamkan kelompok ‘radikal’. Pernyataan yang keluar dari sejumlah pejabat negara tampak ingin menunjukan bahwa masalah utama negeri ini adalah isu intoleransi.
Pemerintah masih terus menggencarkan moderasi beragama yang pada akhirnya terjadi pengaburan dan penguburan sejarah Islam. Para elit politik mencibir adanya politik identitas tatkala melihat selebaran atau buletin yang berisi kabar politik Islam masuk masjid. Aktivitas kajian yang dilakukan guna membentengi diri para remaja dan masyarakat justru dicurigai. Seolah pemerintah tak membaca sejarah bahwa selama beberapa dekade ini, Islam tidak pernah diterapkan. Oleh karena itu, kesalahan fatal jika menyalahkan Islam atas segala kebobrokan.
Sejarah Menjawab
Jika membandingkan sejarah masa kejayaan negara-negara adidaya, akan ditemukan jawaban, ideologi negara mana yang lebih layak diikuti. Negara adidaya maksudnya adalah negara yang mampu memengaruhi peta politik global dan dominasi militer. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, negara-negara di dunia sedang menghadapi perfect storm atau badai yang sempurna. Menurutnya, negara maju dan superpower (adidaya) bakal ambruk menghadapi resesi dunia kali ini (cnbcindonesia.com, 7/11/2022).
Sampai saat ini, negara-negara di dunia masih menganggap Amerika adidaya. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada gelandangan ataupun orang miskin di sana. Bukan berarti pula Amerika tak memiliki utang negara. Di tengah puja-puji dunia, telah terjadi degradasi moral yang luar biasa. Amerika sendiri merdeka pada tanggal 4 Juli 1776, kemudian menggantikan kedudukan Inggris saat Perang Dunia II (1944). Dengan kata lain, Amerika membutuhkan waktu sekitar 168 tahun menjadi negara adidaya dan terancam bangkrut setelah 248 tahun berdiri.
Sementara Uni Soviet hanya bertahan menjadi negara adidaya selama 69 tahun (1947-1991). Inggris yang berdiri sejak tahun 1707 sukses menjadi negara adidaya setelah hidup bersama negara-negara koloni. Pada tahun 1787, Inggris kehilangan 15 negara koloni. Pada akhirnya, kedudukan Inggris sebagai negara adidaya digeser oleh Amerika yang mana merupakan salah satu bekas negara koloninya. Dengan kata lain, Inggris berhasil menjadi negara adidaya selama kurang lebih satu abad lamanya.
Meski pemerintah menyadari kondisi ekonomi dunia memburuk, tapi masih setia mengekor sistem ekonomi ala barat. Padahal, jika mau berpikir jernih, ancaman resesi global merupakan dampak dari rapuhnya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi yang membiarkan siapa saja mengelola dan menguasai SDA serta aset negara hingga tak tersisa. Sementara agenda KTT G20, hakekatnya merupakan program negara-negara Barat untuk menyelamatkan diri dari ancaman resesi. Sangat disayangkan jika Indonesia tampak semringah dengan agenda tersebut.
Tanpa disadari, jejak negara asing merambah di segala sendi kehidupan masyarakat. Lihat saja terkait penghapusan utang Indonesia oleh empat Jerman, Amerika, Italia, dan Autralia. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman mengatakan, debt swap dengan Jerman dilakukan untuk sejumlah proyek, antara lain pendidikan, edukasi, global fund dan kesehatan. Debt swap bersama Amerika adalah debt to tropical forest. Sementara debt swap dengan Italia terkait housing dan settlement. Terakhir, debt swap dengan Australia terkait kesehatan (cnbcindonesia.com, 13/11/2022).
Sejarah memang bukanlah sumber hukum. Tapi, sejarah bisa menunjukkan ideologi mana yang sekiranya mampu menjamin kesejahteraan dan kedamaian pada setiap individu rakyat. Tentu bukan sekadar terpenuhinya urusan perut, tapi juga jiwa, akal, dan moral. Telah tampak kondisi Indonesia yang tak berdaya di hadapan rakyatnya. Apatah lagi di hadapan negara-negara dunia. Jadi, sudah saatnya Indonesia melepaskan diri dari kungkungan kapitalisme. Mencari alternatif lain yang mampu menyolusi masalah ipoleksosbudhamkam.
Rasulullah, Muhammad SAW membangun Negara Islam pada tanggal 1 H atau 622 M. Beliau menaklukkan Kota Makkah tahun 630 M. Negara Islam baru berdiri delapan tahun tapi mampu menaklukan wilayah lain tanpa pertumpahan darah. Negara tersebut kemudian diwariskan kepada para Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya menjadi negara adidaya hingga bertahan kurang lebih 13 abad lamanya. Di saat negara-negara Barat disibukkan dengan resesi global, menjadi kesempatan emas bagi Indonesia berdikari untuk bisa diperhitungkan di mata dunia. Tapi bukan bertahan dengan sekuler kapitalisme, melainkan dengan ideologi Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Pemerhati Sosial dan Politik
0 Comments