TintaSiyasi.com -- Kekerasan dalam rumah tangga terkhusus suami terhadap istri kerap terjadi, yang akhir-akhir ini marak. Dilansir dari laman www.beritasatu.com (6/11/2022), seorang suami di Depok memukul istri berkali-kali tanpa belas kasihan, yang ironisnya terjadi di pinggir jalan. Lebih menyedihkan lagi karena kejadian tersebut disaksikan oleh anaknya yang masih berumur hitungan jari.
Masih di Depok, seorang suami menganiaya istri dan anak menggunakan parang. Anaknya tewas di tempat sedang istrinya kritis di rumah sakit (m.liputan6.com, 1/11/2022). Sungguh begitu keji. Menurut pengakuannya, ia merasa kesal karena penghasilannya yang tak seberapa tidak dihargai oleh istrinya.
Apabila kita lebih peka terhadap sekitar, akan kita temui kasus serupa yang berkali-kali terjadi. Layaknya fenomena gunung es, kasus kekerasan kepala keluarga terhadap anggota keluarga (suami kepada istri atau suami kepada anak) sangat banyak bahkan yang berujung melayangnya nyawa, sedangkan yang muncul di permukaan dan terendus media hanya segelintir.
Kasus kekerasan ini beragam penyebabnya. Mulai dari masalah ekonomi, seperti kasus suami pukul istri di Depok. Bisa juga karena gaya hidup buruk terkhusus pesta miras seperti kasus yang pernah terjadi di Buleleng. Atau karena lemahnya kemampuan suami mengendalikan diri karena masalah sepele seperti "hapus SMS" yang terjadi di Riau.
Penyebab-penyebab derivatif tersebut ditambah penyebab dari dalam diri suami yakni tidak memiliki pemahaman agama yang mumpuni membuat suami ringan tangan memukul, menganiaya hingga membunuh. Perkara sepele nan remeh temeh bahkan berujung hilangnya nyawa. Jika kepala keluarga sudah seperti ini, bagaimana nasib anggota keluarganya?
Kasus kekerasan kepala keluarga ini mengindikasikan hilangnya fungsi qawwamah, yakni suami atau ayah sebagai pemimpin. Walau dibuat kesal oleh istri atau anak, mestinya tidak gegabah membacok. Apalagi untuk perkara sepele, mestinya diolah di otak sebelum otot bertindak. Tentu ini hanya bisa berlaku bagi individu (ayah atau suami) yang berbalut pakaian takwa.
Selain penyebab kekerasan rumah tangga yang datang dari individu suami atau ayah, individu ibu atau istri juga mesti dibenahi. Tak jarang, ibu atau istri yang bekerja seharian di luar rumah meninggalkan tugasnya sebagai ibu dan istri. Ini tentu menimbulkan kekacauan dalam rumah tangga akibat ada tupoksi yang tidak dilaksanakan. Tentu, memperlebar penyebab kekerasan dalam rumah tangga.
Ditambah, istri atau ibu yang sudah terciprat paham yang lahir dari sekularisme kapitalisme yakni samanya suami dan istri, sehingga istri tak lagi peduli tugasnya di rumah. Belum lagi, apabila kedua pihak tidak memiliki pengetahuan terkait jalannya biduk rumah tangga. Wajar jika banyak rumah tangga yang karam akibat tiadanya pengetahuan Islam dalam menjalankan rumah tangga.
Jadi, ini bukan sekadar persoalan individual yakni individu suami atau istri namun persoalan sistemik. Suami harus menyadari bahwa tatkala akad nikah menggema, wajib atasnya bertanggung jawab kepada istri dan anaknya kelak. Kehidupan keduanya harusnya sarat akan ketenangan, ketentraman dan kasih sayang. Pergaulan keduanya adalah pergaulan penuh persahabatan (al-waie).
Di dalam Islam ada nas-nas yang mengatur perkara ini. Adalah seperti “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri).” (QS An-Nisa’: 34). Abu Hurairah ra. pun bertutur bahwa Nabi saw. bersabda:
Ø®ِÙŠَارُÙƒُÙ…ْ Ø®ِÙŠَارُÙƒُÙ…ْ Ù„ِلنِّسَائِÙ‡ِÙ…ْ
Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istri mereka (HR. at-Tirmidzi).
Begitu pula istri, mesti taat tanpa tapi kepada suami dalam perkara yang makruf. Keduanya (pihak suami dan istri) pun generasi yang berjalan ke arahnya harus memiliki ilmu agama yang mumpuni dalam menjalankan tupoksinya. Namun, perkara ini dan penyebab yang sudah dijelaskan sebelumnya tidak bisa selesai tanpa campur tangan sistem karena persoalannya sistemik.
Sistem sekuler kapitalisme hari ini senantiasa menghadirkan penyebab-penyebab kekerasan kepala keluarga terhadap anggota keluarga. Adalah seperti adanya paham feminisme yang berakibat istri tidak taat suami dan kekacauan tupoksi rumah tangga, dangkalnya ilmu agama (juga ilmu menjalankan biduk rumah tangga), tingginya beban hidup, dan tingkat kemampuan mengendalikan diri yang lemah.
Sejatinya, penyebab-penyebab ini sejatinya adalah penyebab derivatif yang berpangkal pada diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Dengan demikian, hilangnya fungsi qawwamah khususnya dan masalah lain umumnya bisa terselesaikan apabila kita bertransformasi kepada sistem Islam.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Khaulah
Aktivis Back to Muslim Identity
0 Comments