Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mahasiswa Terjerat Pinjol, Akibat Minimnya Literasi Muamalah Syariah

TintaSiyasi.com -- Sebagaimana diberitakan di banyak media massa dan dilansir situs resmi kampus IPB (16/11/2022), bahwa 116 mahasiswa IPB terjerat pinjaman online. Tidak hanya mahasiswa IPB. Ada sekitar 300 mahasiswa dari berbagai kampus yang juga terjerat kasus pinjaman online dengan kerugian mencapai miliaran rupiah. Rektor IPB Prof. Arif Satria mengklarifikasi kasus pinjaman online (pinjol) bahwa mahasiswa IPB University yang terlibat merupakan korban dugaan penipuan transaksi pinjol.

Terjeratnya para mahasiswa berawal dari tawaran keuntungan 10 persen oleh pelaku dengan melakukan suatu ‘projek’ bersama. Mahasiswa IPB University diminta untuk mengajukan pinjaman online ke suatu aplikasi penyedia pinjaman. Lalu pelaku meminta dana tersebut digunakan untuk melakukan transaksi di toko online milik pelaku. Dari setiap nominal transaksi itu, mahasiswa dijanjikan mendapatkan komisi 10 persen dan cicilan dibayarkan oleh pelaku. Namun, hingga saat ini, pelaku tidak pernah memenuhinya.

 "Kami sudah koordinasi dengan pihak kepolisian. Malam ini insyaallah kami mengumpulkan seluruh mahasiswa yang menjadi korban untuk pendataan lebih lanjut," beber Arif.

 Dia juga memastikan pihaknya bakal mendampingi para mahasiswa IPB yang terjerat pinjol. Termasuk, bila dibutuhkan pendampingan hukum. "Kami akan terus dampingi mahasiswa dalam penyelesaian masalah ini, termasuk di dalamnya adalah pendampingan hukum," tutur Arif.

Penyikapan kampus IPB menyerahkan kasus penipuan pada pihak kepolisian, berkoordinasi dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna penyelesaian kasus ini agar kunjung rampung. Ini juga sebagai tindakan preventif dengan melakukan peningkatan literasi keuangan dan fintech kepada mahasiswa. Penyikapan rektor ITB ini sejalan dengan arahan Plt. Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek, yang menyatakan maraknya mahasiswa yang terjebak pinjaman online, menyadarkan semua pihak bahwa literasi finansial masih perlu ditingkatkan.

Data Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkap, 60% pengguna pinjol adalah anak muda berusia 19-24 tahun. Memanfaatkan platform digital yang mudah dan terjangkau, iklan pinjaman online berseliweran di layar ponsel. Begitu menarik dan menggiurkan. Terlebih lagi, syarat yang tertera begitu mudah. Sayangnya, mekanisme peminjaman uang yang mudah ini tidak jarang menjebak. Anak muda yang banyak menghabiskan waktu di ruang digital ternyata mudah tergiur berbagai iklan komersial. 
Berdasarkan pembacaan perilaku konsumen di media sosial, berbagai pinjaman online hadir mengukuhkan hasrat belanja. Pada akhirnya, lilitan pinjaman online menjadi bumerang. Pada hakikatnya, teknologi hanyalah sarana. Oleh karena itu, mengoreksi perilaku konsumtif adalah perkara mendasar. Ini karena sifat konsumtif seiring sejalan dengan munculnya berbagai tawaran pinjaman online.

Pinjol (pinjaman online) adalah pinjaman berupa mata uang rupiah yang diberikan oleh pihak pemberi pinjaman (lender) kepada pihak peminjam (borrower) secara online. Banyak masyarakat tertarik dengan pinjol karena 2 (dua) faktor, pertama, pinjol ini tanpa agunan. Kedua, prosesnya cepat karena syarat-syaratnya ringan. Dalam proses registrasi secara online, syarat yang diminta dari peminjam hanya KTP, slip gaji, dan terkadang NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
Bunga yang ditetapkan oleh pinjol legal/resmi (berlisensi OJK), maksimal 0,8% per hari, berdasarkan kesepakatan para investor pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI). Suku bunga ini berbeda dengan pinjol ilegal yang tidak berlisensi OJK, yang besarnya hingga 4% per hari. Plafon pinjol mulai Rp500.000 hingga Rp10 juta, dengan tenor (masa pinjaman) antara 3 hingga 6 bulan.

Peminjam yang terlambat membayar cicilan pinjaman akan dikenakan denda harian yang besarnya bervariasi, ada yang Rp50.000 per hari. Dalam proses pengajuan pinjaman, pihak peminjam disyaratkan membayar biaya administrasi, yang besarnya sekitar 30% dari nilai pinjaman. Pinjol banyak diminati masyarakat, terbukti dari besarnya dana yang beredar di bisnis pinjol per September 2021, yang besarnya sekitar Rp221,56 triliun. 

Namun, pinjol banyak dikeluhkan masyarakat, khususnya pinjol ilegal yang melakukan penagihan secara kasar dengan intimidasi dan teror jika peminjam gagal bayar atau terlambat membayar cicilan. Selain itu, pinjol juga dikeluhkan karena pihak pinjol (terutama yang ilegal) menyebarkan data-data pribadi milik peminjam, seperti data pinjaman dan penagihan kepada orang-orang terdekat dari peminjam, seperti keluarga, teman kerja di kantor, dan sebagainya. 

Aktivis muslimah drg. Luluk Farida menilai maraknya kasus pinjaman online (pinjol) seharusnya menjadi tamparan keras bangsa ini. “Maraknya kasus pinjaman online masyarakat dan mahasiswa harusnya menjadi tamparan keras bagi bangsa ini. Kasus ini harus menjadi pijakan evaluasi sistemik negara ini terkait tanggung jawabnya dalam kesejahteraan rakyat dan sistem pendidikan tinggi dari aspek kurikulum dan mekanisme penyelenggaraannya,” tuturnya kepada MNews, Sabtu (19/11/2022).

Luluk menyayangkan narasi yang dibangun dalam penyikapan terhadap kasus pinjaman online mahasiswa hanya dibatasi pada masalah kriminal, yaitu penipuan pinjol terhadap mahasiswa. Kemudian agar tidak terjadi lagi penipuan maka kemendikbudristek dan kampus menetapkan langkah preventif dengan penyadaran literasi keuangan pada para mahasiswa. 

“Jika hanya diarahkan pada penipuan saja, maka seolah masalah akan selesai ketika pelaku penipuan sudah tertangkap dan dihukum. Perkembangan terbaru pelaku penipuan sudah tertangkap polisi sebagaimana dilansir detiknews pada Kamis (17 /11/ 2022). Menurut Luluk, praktik pinjol tidak boleh hanya dipandang sebagai persoalan individu ataupun dibatasi sebagai penipuan kriminal. 

“Sesungguhnya pinjaman berbasis ribawi merupakan keresahan sosial yang menimpa bangsa ini. Beban utang negara, penderitaan rakyat dikejar debt collector pinjol, bahkan sekarang marak menjangkiti mahasiswa, sosok intelektual yang harusnya fokus mendalami ilmu untuk kemaslahatan umat,” sesalnya.
Selain itu, sambungnya, yang perlu juga dikritisi adalah bagaimana tanggung jawab negara menghapus tuntas penyebab masyarakat terjerat transaksi tersebut diantaranya kemiskinan, kebutuhan hidup yang semakin mahal, gaya hidup konsumtif, hingga adanya lembaga-lembaga keuangan ribawi yang masih eksis keberadaannya. Luluk menilai, ideologi sekuler kapitalisme yang diadopsi negara ini menjauhkan agama dari standar kehidupan. 

“Kurikulum sistem pendidikan sekuler yang berorientasi materialis dan pragmatis bukan membentuk perilaku yang menjadikan halal haram sebagai standar benar dan salah. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang ditetapkan sejak 2020 dianggap terobosan kurikulum yang fokus menyiapkan mahasiswa siap bekerja dan mengembangkan entrepreunership untuk bertahan hidup,” bebernya. Dampak kapitalisme ini terang Luluk, menjadikan tekanan hidup semakin sulit, jauh dari kesejahteraan.

“Penyelenggaraan pendidikan yang makin mahal, ditambah lagi arus gaya hidup konsumtif akibat pangsa pasar produk kapitalis, semua faktor tersebut menjadikan mahasiswa berjiwa pragmatis dan mudah terjerat pinjaman online. Demikianlah yang terjadi pada mahasiswa IPB terjerat pinjol diawali kebutuhan mencari dana sponsor kegiatan, dilanjutkan tergiur iming-iming keuntungan 10% atas nama proyek kerjasama bisnis,” papar Luluk.

Masih, menurutnya, kondisi ini makin diperparah dengan kebijakan negara jauh dari perlindungan terhadap rakyat. “Alih-alih melepaskan idelologi sekuler kapitalisme yang telah menyengsarakan rakyat, regulasi negara justru mengembangkan model rentenir baru atas nama transformasi digital. Meski tegas memberantas pinjol illegal namun mendukung yang legal,” kritiknya. Arus global transfomasi digital, lanjutnya, dimungkinkan menjadi pintu fintech asing yang masuk ke pasar Indonesia yang makin menyuburkan transaksi ribawi yang ada.

“Kemajuan teknologi memudahkan orang mencari pinjaman dalam waktu singkat. Akses ini kini banyak diberikan oleh perusahaan pinjaman online (pinjol) atau financial technology (fintech). Maka rencana penyadaran finansial mahasiswa dikhawatirkan semakin menjerumuskan mereka pada pelanggaran syariat dan merusak potensi mereka sebagai intelektual calon pemimpin masa depan,” bebernya. Berdasarkan kajian fakta pinjol tersebut, jelas bahwa pinjol itu haram hukumnya menurut syariat Islam, baik pinjol legal maupun ilegal, berdasarkan 2 (dua) alasan:

Pertama, terdapat riba, yaitu tambahan yang dipersyaratkan dalam akad pinjaman (qardh) dalam 3 (tiga) bentuknya, yaitu bunga, denda, dan biaya administrasi. Ketiga bentuk tambahan yang disyaratkan (ziyâdah masyrûthah) ini tidak diragukan termasuk riba yang telah diharamkan dengan tegas dalam syariat Islam. Firman Allah Swt., “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS al-Baqarah : 275)
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Para ulama telah sepakat bahwa jika pemberi pinjaman (al muqtaridh) mensyaratkan adanya tambahan pada pinjamannya, maka tambahan tersebut hukumnya haram.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ Al Fatâwâ, Juz XXIX, hlm. 334).

Kedua, terdapat bahaya (dharar) yang dialami oleh peminjam, yaitu setidaknya ada tiga macam bahaya; (1) penagihan pinjaman yang disertai intimidasi dan teror; (2) penyalahgunaan data-data pribadi pihak peminjam untuk menagih utang, dan (3) bunga yang tinggi (khususnya pinjol ilegal). Padahal syariat Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai sabda Rasulullah saw.,
”Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirâr).” (lâ dharara wa lâ dhirâra). (HR Ahmad)
Jerat pinjol mahasiswa jelas akibat mereka minim literasi sistem ekonomi Islam. Mereka mungkin tidak menyangka bahwa di balik investasi digital dan pinjol adalah riba. Mereka juga minim pola sikap islami yang mengharuskan sikap warak (berhati-hati) dalam melaksanakan amal perbuatan, terlebih investasi digital dan pinjol adalah hal baru bagi mereka. Di samping itu, sungguh penting juga bagi para mahasiswa selaku kaum terpelajar untuk tidak membatasi diri belajar tentang ilmu sains dan teknologi. 
Justru yang jauh lebih penting, bahkan hukumnya fardu ain adalah mempelajari ilmu-ilmu Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah).

Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah Taala atau Rasul-Nya saw. menyebutkan kata “ilmu” saja dalam Al-Quran ataupun Sunah, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Makna inilah yang juga termaksud di dalam hadis di atas. Muamalah syar’i adalah bagian dari sistem ekonomi Islam dan tentu saja bagian dari ilmu Islam. 

Di dalamnya, terdapat pemahaman cara-cara pengembangan harta yang syar’i. Kita juga dikenalkan pada cara-cara haram dalam mengembangkan harta sehingga jelas cara-cara tersebut adalah larangan. Riba yang saat ini mustahil terlepas dari investasi digital maupun pinjol adalah salah satu cara haram untuk mengembangkan harta. Oleh karena itu, haram juga untuk kita ambil.

Tragedi pinjol mahasiswa ini sungguh ibarat senjata makan tuan bagi sistem pendidikan sekuler dan kapitalistik. Kaum intelektual selama ini terkooptasi oleh kapitalisme sehingga konon harus netral dan bebas nilai. Mereka begitu bangga meninggalkan aturan Islam. Mereka seolah tabu menyatukan iman, ilmu, dan amal. Lebih parah lagi, perguruan tinggi di alam sekuler tidak ubahnya institusi pencetak mahasiswa yang berorientasi materi, semata-mata demi sejalan dengan semangat entrepreneur university. Siapa sangka, jerat pinjol justru melanda insan kampus. 
Padahal, terkait urusan pinjol ini, Islam sudah memiliki solusinya, hal yang selama ini dipinggirkan oleh sistem pendidikan sekuler. Kesimpulannya, meminjam uang melalui pinjol hukumnya haram, baik pinjol yang legal maupun yang ilegal, baik yang bunganya sedikit maupun yang besar. Semuanya haram dan semuanya dosa besar (kabâ`ir). Solusi tuntas memberantas praktik pinjaman online adalah penyadaran sistemik baik bagi rakyat maupun penguasa negara ini dengan penguatan akidah dan pemahaman syariat Islam atas haramnya riba, keyakinan bahwa Allah tidak akan memberikan rezeki dengan cara yang haram.

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments