Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Legalnya Acara Unfaedah, Kerusakan Generasi Makin Parah

TintaSiyasi.com -- Konser 'Berdendang Bergoyang' yang diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta Pusat dihentikan pada Sabtu, 29 Oktober 2022 malam karena over kapasitas. Panitia penyelenggara konser pun tengah diperiksa pihak kepolisian. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, bukankah kapasitas sebuah tempat itu sudah bisa dilihat dari jumlah tiket masuk dan seberapa maksimal kapasitas tempat tersebut? Alih-alih meraup lebih banyak dana, justru nyawalah yang menjadi taruhannya.

Padahal masih jelas teringat ratusan nyawa hilang begitu saja di perhelatan sepak bola di tanah Kanjuruhan dan yang terbaru terjadi di Itaewon, kota bagian Negara Korea Selatan. Salah satu pemicunya adalah himpitan antar peserta yang berakibat sesak nafas dan berujung pada kematian. Rentetan kejadian ini harusnya bisa banyak memberikan pelajaran bagi umat untuk berpikir benar dalam mengambil tindakan yang sesuai aturan Sang Pencipta. Apalagi jika ada korban meninggal mencapai ratusan jiwa, tentu di dalamnya pasti ada sebuah kelalaian.
 
Selain itu, sangat disayangkan jika nyawa harus melayang. Akan tetapi, kita dalam keadaan tidak berjuang dalam kebenaran. Mengutip sebuah hadis:

من مات على شيء بعثه الله عليه

Artinya: “Siapa saja yang mati dalam keadaan mengerjakan sesuatu, maka dalam kondisi demikian ia akan dibangkitkan dari kuburnya” (Musnad Imam Ahmad hadis no; 14373).

Meninggal dalam keadaan merayakan pesta ala setan dengan bungkus Halloween Party? Atau meninggal dalam suasana ikhtilat dan kelalaian? Tentu itu bukan impian husnul khatimah bagi seorang Muslim yang takut pada Allah SWT. 

Konser musik akbar sejenis memang syarat akan kericuhan, pencopetan, pelecehan seksual bahkan berakhir dengan meregangnya nyawa. Hal ini sudah menjadi lumrah terjadi dalam hingar bingar dunia hiburan. Hiburan bagi kaum yang haus akan kebahagiaan dan ketenteraman yang hakiki. Khamr pun menjadi doping sorak sorai hingga acara usai. Mirisnya, banyak kaum Muslim yang justru berkubang di dalamnya. Padahal efek khamr sendiri tidaklah main-main, ia adalah ummul khabaits atau induknya kejahatan.

Durasi acara semacam itu tidaklah singkat, bahkan tidak jarang melewatkan waktu shalat. Bukankah Allah sudah memperingatkan melalui Rasul-Nya? 

"Perjanjian antara kami dengan orang kafir adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir" (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).

Seandainya kaum Muslim memahami hal ini, tentu mereka lebih memilih meninggalkan hal yang mampu melalaikan mereka dari Rabbnya. Dan tentu hal tersebut akan makin menambah paripurnanya agama ketika ibadah wajibnya mampu ditegakkan dengan sebenar-benarnya. Akan tetapi, untuk merealisasikan hal tersebut tentu memerlukan ketegasan hukum oleh penegak hukum. Sebab, begitulah yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sejak beliau mendirikan Daulah Islam di Madinah, kewajiban shalat adalah hal yang menjadi perhatian di dalamnya, bukan hanya menjadi urusan personal semata yang pelaksanaannya suka-suka.

Dalam Islam, kewajiban pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa Ramadhan dan ibadah lain pun dijamin keterlaksanaanya oleh khalifah melalui para polisi-polisi yang tidak hanya menjamin ketertiban dari kriminalitas namun juga ketertiban beribadah dan jaminan pelaksanaannya. Berbeda keadaan ketika Islam hanya menjadi agama ritual semata. Ayat-ayat Al-Qur'an seperti qisas dan potong tangan hanya menjadi bacaan saja. Pelaksanaan hukum Allah dianggap perlu persetujuan mahkamah buatan manusia.

Legalnya acara-acara unfaedah di atas, banyak menjadikan kaum remaja kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai seorang Muslim. Free sex dan gaya hidup hedonis serta hura-hura di pandang keren. Dunia hiburan menyuguhkan tontonan yang jauh dari nilai ketuhanan yang menjauhkan generasi dari pola berpikir benar dan rusaknya karakter. Generasi muda yang seharusnya menjadi pilar peradaban yang mustanir justru banyak galau dan mudah depresi. 

Anehnya, sikap kontradiktif sering ditunjukkan pada acara-acara yang bertujuan mencerdaskan umat. Sebagaimana acara Hijrah Fest di Surabaya beberapa waktu lalu yang terpaksa dibatalkan setelah mendapat protes dari beberapa pihak, meskipun kemudian pelarangannya dicabut. Banyak acara kajian-kajian yang dianggap sebagai sarang radikalisme. Alasan tersebut terkesan mengada-ada sebab tak pernah ada bukti kongkrit. Dari sini, nampak jelas penguasa lebih berpihak di jalan yang mana. 

Jika terus begini, bagaimana peradaban ini mampu melahirkan cendekiawan sekelas Imam Syafi'i? Membentuk karakter tegas pada kemaksiatan seperti sahabat Umar? Melahirkan hartawan nan dermawan seperti Abdurahman bin Auf? Nampaknya, jauh panggang dari api untuk membentuk generasi berkualitas di tengah penerapan kapitalisme sekuler yang berasaskan kebebasan seperti saat ini.

Dalam Al-Qur'an Surah Al-Anbiya' ayat 107, Allah berfirman: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil Alamin)."

Maka kembali kepada Islam adalah sebuah keniscayaan yang mampu mengantarkan kepada keberkahan dan mampu melahirkan generasi nan intelektual namun takut pada Rabbnya

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Tami (Ummu Maryam)
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments