Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keadilan Menjadi Syarat Bolehnya Berpoligami, Benarkah?


TintaSiyasi.com -- Hukum poligami dalam Islam adalah boleh. Tidak ada ulama yang menyelisihinya. Namun syariat berpoligami banyak ditentang oleh perempuan, terutama bagi kalangan feminisme (pegiat gender) dengan alasan akan menyakiti hati perempuan, akan terjadi ketidakadilan terhadap istri-istrinya, dan lain-lain. Sehingga para perempuan banyak yang menolak syariat kebolehan poligami, namun membiarkan suaminya selingkuh (zina) yang haram dan menghasilkan dosa jamaah. Dan ada juga perempuan yang menerima syariat kebolehan poligami namun dengan syarat, seorang calon suami tersebut harus adil. Benarkah adil merupakan syarat bagi kebolehan poligami?

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 3:

فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

"Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim."

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani seorang mujtahid mutlak menyatakan dalam terjemahan kitabnya 'Sistem Pergaulan dalam Islam' dalam Bab 'Poligami'. Ia menegaskan bahwa keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan berpoligami. Karena ayat tentang kebolehan menikahi wanita dua, tiga, dan empat, yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 3 tersebut tidak bersambung dengan ayat selanjutnya yang membahas tentang 'adil'.

Frasa "fa ankihuu maa thaabalakum min an-nisaa'i matsna wa tsulasa wa ruba" (maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat). Makna dari ayat ini menjelaskan secara mutlak atas kebolehan menikahi perempuan lebih dari satu dan dibatasi sampai empat wanita. Dan maknanya putus sampai di sini bahwa poligami boleh. Baru kemudian dilanjutkan oleh ayat "fa in khiftum...(jika kamu takut...). Menurut Syekh Taqiyuddin tidak bisa berposisi sebagai syarat. Sebab, tidak bersambung dengan kalimat pertama dengan hubungan syarat. Akan tetapi kalimat tersebut merupakan kalimat selanjutnya.

Seandainya Allah menghendakinya sebagai syarat Allah akan berfirman, "fa ankihuu maa thaabalakum min an-nisaa'i matsna wa tsulaasa wa ruba'a in 'adaltum" (maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat, jika kamu adil). Akan tetapi ungkapan tersebut tidak terdapat dalam ayat tersebut. Sehingga keadilan bisa dipastikan bukanlah syarat bagi kebolehan berpoligami.

Namun, jika seseorang telah menikahi dua, tiga atau empat orang wanita, maka wajib bagi pria tersebut untuk berlaku adil kepada istri-istrinya. Oleh karena itu keadilan adalah hukum lain yang berkenaan bagi seorang pria yang telah berpoligami. Sementara poligami sendiri hukum asalnya adalah boleh secara mutlak tanpa pembatasan, syarat ataupun 'illat.

Oleh karena itu sikap adil adalah perintah Allah dalam hal yang berbeda dengan perintah kebolehan berpoligami. Seorang suami wajib untuk berlaku adil kepada masing-masing istrinya. Oleh karena itu, jika seorang pria yang telah berpoligami namun tidak berbuat adil kepada istri-istrinya maka ia telah melakukan dosa dan akan dibangkitkan kelak di hari kiamat dengan badan lumpuh sebelah.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda: 

عن أبي هريرة رضي الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "من كانت له امرأتان فمال إلى إحداهما جاء يوم القيامة وشقه مائل"

Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’I, dan Imam Ibnu Majah).

Keadilan yang dimaksud bukanlah sebagaimana adil menurut anggapan kapitalisme demokrasi sekuler dan sosialisme komunisme yaitu pembagian sama rata. Misal, seorang pria memiliki dua istri, sementara gaji suami sepuluh juta rupiah maka harus dibagi dua yaitu masing-masing istri mendapatkan lima juta. Tanpa membedakan kebutuhan dalam rumah tangga masing-masing istri.

Namun, adil menurut Islam yaitu pembagian nafkah yang sesuai porsinya masing-masing serta sesuai dengan kapasitas/kemampuan suami tentunya. Jika istri pertama tidak memiliki anak atau sebaliknya sementara istri kedua memiliki anak atau sebaliknya. Maka pembagian dalam masalah nafkah ini dibagi sesuai kebutuhan masing-masing istri, bukan dibagi dua. Yaitu istri yang memiliki anak tentu kebutuhannya lebih banyak dibandingkan istri yang tidak memiliki anak. Oleh karena itu pembagian nafkah istri yang punya anak tentu lebih banyak bagiannya dari pada istri yang tidak/belum memiliki anak.

Namun berbeda halnya jika seorang suami hendak membelikan sesuatu yang diluar kategori nafkah. Atau seorang istri meminta sesuatu di luar nafkah. Maka, seorang suami wajib untuk berlaku adil dalam hal ini. Seperti, jika suami ingin memberikan perhiasan kepada satu istri, maka suami wajib memberikan kepada semua istrinya sesuai kapasitas/keuangan suami. Jika belum mampu, maka suami wajib bertahan untuk tidak memberikan salah satu saja dari pada istri-istri tersebut. Sebab, di sini akan terjadi ketidak-adilan kalau suami melakukan hal yang demikian yang mengakibatkan dosa dan dibangkitkan kelak dengan tubuh miring sebelah.


Hikmah Disyariatkannya Poligami

Syariat poligami sejatinya adalah untuk membatasi jumlah istri masing-masing pria, yang mana seorang pria hanya boleh memiliki istri sampai empat wanita saja tidak boleh lebih. Sebab, di masa sebelum Islam para pria memiliki istri lebih dari 4 dan bahkan sampai 100 istri, seperti Umar bin Khattab sebelum masuk Islam yang memiliki lebih dari 100 orang istri. Seperti raja/kaisar yang punya banyak selir, dan lain-lain. Dengan demikian Islam datang untuk membatasi jumlah istri bagi pria maksimal empat orang istri dalam satu waktu pernikahan. 

Adapun hikmah disyariatkannya poligami di antaranya adalah:

Pertama, bahwa poligami bisa berimplikasi pada berkurangnya wanita simpanan/terjadinya perselingkuhan. Seperti kondisi saat ini yang mana banyaknya kasus perselingkuhan (zina). Sebab pria dibolehkan menikahi wanita lebih dari satu tanpa harus melakukan hubungan diam-diam. Dikarenakan ada tabiat seorang pria yang tidak cukup hanya dengan satu orang wanita saja, yang seandainya masih dipertahankan bisa saja akan berdampak buruk terhadap istrinya. 

Kedua, adakalanya terdapat istri yang mandul (tidak bisa punya anak). Sebagai seorang manusia yang telah Allah berikan potensi berupa gharizah nau' (naluri melangsungkan keturunan) tentu pria tersebut menginginkan lahir seorang anak dari benihnya. Sementara jika ia tidak menikah lagi kemungkinan besar tidak akan pernah bisa memiliki anak. Dan seandainya jika menikah lagi karena adanya larangan atau anti poligami, tentu rumah tangga yang dibina bahagia dengan penuh cinta dengan istrinya akhirnya terpaksa dihancurkan (bercerai).

Ketiga, terkadang ada istri yang sakit yang lama sembuhnya atau tidak ada harapan untuk sembuh. Sehingga tidak bisa melakukan hubungan suami istri, tidak bisa mengurus rumah, suami dan anak-anak. Sementara sang suami masih mencintai istrinya itu, suami merasa tidak akan sanggup untuk mengurusi semuanya sendirian tanpa bantuan istri lainnya. Sebab kalau hanya dengan menyewa pembantu tentu ada potensi perselingkuhan. Namun, jika suami menikah lagi maka si istri tetap bersamanya dan ada yang membantu mengurusi istrinya, rumahnya, anak-anak dan melayani suaminya dengan sah.

Keempat, tidak dipungkiri saat ini jumlah wanita lebih banyak dibandingkan pria. Jika seorang pria hanya boleh dimiliki satu orang wanita tentu akan banyak wanita yang tidak akan bisa mengecap rasa membina rumah tangga. Dan lagi yang fatalnya lah yang akan terjadi yaitu perselingkuhan (zina) jika poligami dilarang.

Demikianlah hikmah poligami. Sesungguhnya sesuatu yang Allah syariatkan ada kebaikan bagi manusia. Namun manusia tidak mengetahuinya. 

وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللَّـهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah ayat 216). 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Fadhilah Fitri, S.Pd.I
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments