Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Karakter Pemuda di Balik Konser Berdendang Bergoyang


TintaSiyasi.com -- Konser "Berdendang Bergoyang" yang diadakan di Istora Senayan Jakarta Pusat pada Sabtu 29 Oktober dihentikan. Pasalnya, penonton membludak, over kapasitas. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Komarudin juga mengungkap adanya indikasi minuman keras di konser tersebut. Pun berdasarkan laporan beberapa penonton, terjadi tindak kejahatan seperti pencopetan (tvonenews.com, 30/10/2022).

Dilansir dalam laman megapolitan.kompas.com (30/10/2022), Komarudin mengatakan sebetulnya telah menegur pada hari pertama diadakannya konser ini karena sudah over kapasitas dan kurangnya tenda kesehatan. Namun, di hari kedua ketika kondisi sudah sangat tidak kondusif, barulah dihentikan. Apalagi banyak penonton yang berdesak-desakan, pingsan, dan menuntut pihak pelaksana mengembalikan uang lantaran tiket telah terbeli tapi tidak bisa masuk.

Sekadar informasi, kapasitas Istora hanya 10 ribu orang. Awalnya, panita ketika meminta izin kepada Satgas Covid-19 menyebut jumlah penonton 5 ribu orang. Ketika mengajukan izin ke kepolisian, panitia menyebut jumlah penonton hanya 3 ribu orang. Tetapi, tiket yang terjual menembus batas kapasitas yakni mencapai 27.879 tiket. Bahkan ungkap Komarudin, sebelum mengajukan perizinan panitia sudah menjual tiketnya.

Tindakan aparat menghentikan konser ini patut diapresiasi. Namun, seharusnya sedari awal setelah tampak penjualan tiket yang over kapasitas, aparat langsung bertindak tegas. Bukan justru ketika tampak kekacauan dan ketidakkondusifan baru dihentikan. Pun seharusnya, tragedi kerumunan yang berakibat nyawa melayang di awal Oktober dijadikan pembelajaran untuk hal yang beraroma kesia-siaan.

Tentunya, kita sepakat konser "Berdendang Bergoyang" penuh kesia-siaan dan kontraproduktif. Bagaimana mungkin negara dengan legawanya memberi izin untuk acara nirfaedah semacam ini? Pun acara-acara lain seperti konser CNT dan jumpa fans di awal November ini, juga lainnya yang problemnya tak jauh beda dari ini.

Terkait konser ini, padahal menumpuk padanya kemaksiatan seperti adanya minuman keras. Selain itu ada juga ikhtilat di mana bercampur baurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan pakaian seksi nan terbuka. Bukankah negara mestinya melindungi generasi dari aktivitas yang merusak semacam ini?

Sedang di lain sisi, acara-acara yang beraroma "hijrah" bagi anak muda justru dilarang pelaksanaannya. Seperti acara hijrah fest Surabaya yang mulanya akan diadakan pekan kedua Oktober. Bukankah acara-acara seperti ini yang mesti diberi izin karena berefek baik pada generasi muda? Bukankah semua ini (perizinan dan pelarangan acara) adalah wewenang negara?

Dengan demikian, fakta ini mengindikasikan bahwa penguasa betul-betul abai dengan pembentukan karakter generasi muda. Generasi yang di pundaknya teremban cita-cita dan harapan bangsa. Generasi yang kata Bung Karno walau jumlahnya terhitung jari mampu menggoncang dunia. Generasi yang dengan sepak terjangnya bisa tampak wajah masa depan bangsa. Tentu, jika faktanya seperti ini, bisa kita pastikan bagaimana wajah bangsa kita di hari esok.

Penguasa dalam kapitalisme, walau mengetahui generasi memilki potensi yang luar biasa besar, yang apabila dituntun di jalan kebaikan akan membawa kebaikan bagi negeri, tindak mereka justru mengindikasikan tiadanya perhatian. Generasi muda diizinkan melakukan tindakan biasa nan remeh temeh, penuh kesiaan, bahkan permisif. Padahal mereka ada pilar pembentuk peradaban cemerlang.

Penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme menjadikan keuntungan materi di posisi teratas pencapaian hidup. Sehingga potensi generasi muda diembat untuk itu juga. Bahkan di ranah keagamaan, santri misalnya, dituntun menjadi santri yang berjiwa wirausaha lewat program santripreneur. Bukan tidak mungkin mereka akan jauh dari agama, mencakup pola pikir dan pola sikapnya. Bukan tidak mungkin, orientasi hidupnya akan condong pada dunia.

Ditambah aturan-aturan yang diterapkan hari ini yang bernuansa sekuler, generasi muda akhirnya asing dengan aturan agamanya. Problem apapun yang ditemukan, mereka tak menjadikan agama sebagai solver-nya, pun aturan bangsa. Walau mereka dielu-elukan karena menjadi pemimpin di usia muda atau jabatan penting di struktur pemerintahan, apa yang mesti diharapkan jika agama ia marginalkan?

Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam. Penguasa dalam sistem Islam jelas memiliki perhatian besar terhadap pembentukan generasi. Lihatlah para sahabat yang banyak dari mereka adalah generasi muda, yang dengan potensi, sepak terjang, dan kepatuhan mereka mengambil hukum Allah seluruhnya, Islam lantas menguasai dunia 13 abad lamanya. 

Dalam sistem Islam yang menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, individu Muslim terkhusus generasi muda terhunjam kuat keimanannya yang hidupnya berorientasi pada ketaatan bukan materi. Keluarga yang menjadi pendidik pertama, telaten tangannya merawat dan menanamkan akidah padanya. Begitu pula pendidikan, berlandas akidah Islam, bertujuan membentuk generasi bersyakhshiyah Islam yang berkontribusi besar untuk Islam.

Ditambah masyarakat, yang amar makruf nahi mungkar tak pernah lepas darinya. Atmosfer kondusif seperti inilah yang akhirnya terhirup dalam keseharian generasi muda, membentuk mereka menjadi generasi berkualitas, yang taat pada Allah semata, pun jauh dari sekularisme, liberalisme serta sikap permisif.

Begitulah sistem Islam, melahirkan pemuda yang bersyakhsiyah Islam, tumbuh menjadi generasi pembebas nan penakluk. Sedang kapitalisme, alih-alih seperti itu, justru melahirkan generasi yang haus akan kebebasan, jauh dari agama, pun condong pada aktivitas kesia-siaan yang bermuara pada kesenangan semu belaka.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Khaulah
Aktivis Back to Muslim Identity
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments