Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Guru: Digugu dan Ditiru, Masihkah seperti Itu?


TintaSiyasi.com -- Guru, sungguh jasamu tiada tara. Guru, kami bisa membaca dan menulis karena peran darimu. Guru, kau bantu kami dan anak-anak kami agar bisa berperilaku baik. Guru, terimakasih atas semua jasamu. Masyaallah, luar biasanya peran seorang guru, maka sudah sepatutnyalah mereka kita muliakan dan do'akan untuk kebaikannya.

Jangan sampai kita membuat hatinya bersedih. Bukan hanya ucapan terimakasih yang diberikan kepada mereka, melainkan perlakuan yang membuat mereka merasa dihargai dan dipanuti. Bukan hanya untuk guru yang sudah ASN, melainkan juga yang masih honorer. Bahkan untuk setiap guru yang mengajarkan arti kehidupan bagi kita. Namun apa yang terjadi saat ini? 

Tidak sedikit guru yang merasa lelah saat bertugas dalam proses pembelajaran. Bagaimana tidak, makhluk hidup yang bernama siswa itu kadang tidak seiring sejalan dengan apa yang diharapkan. Begitu pula halnya ketika menghadapi rekan kerja atau atasannya. Di tambah lagi dalam menghadapi orangtua/wali siswa.

Ada yang mengajar dengan sekuat tenaga, menjalankan amanah dengan lillah, tapi tak dihargai oleh atasannya. Atau dicibir oleh rekan kerjanya. Ada yang ingin memberikan teguran pada anak didiknya, tapi malah diperkarakan dan berujung penjara. Dilematis memang, bagaimana guru mau memperbaiki perilaku anak didiknya kalau setiap apa yang menjadi tindakannya selalu menuai pro kontra.

Namun demikian, tak sedikit juga oknum guru yang malah mempertontonkan kemaksiatan di hadapan peserta didik ataupun rekan kerjanya. Santai-santai di kantor, padahal jam mengajar sudah tiba. Pakaian tak menutup aurat secara sempurna, dan lain sebagainya. Apalagi di era gadget hari ini dengan beragam aplikasi yang ada. Tak sedikit guru yang akhirnya mengusir suntuk atau sekadar hiburan dengan berjoget-joget ala selebgram.

Banyak juga yang dikarenakan gaji yang didapat tak sebanding dengan tetesan keringat yang dikeluarkan, khususnya untuk guru honorer, akhirnya tidak heran yang seharusnya lillah berubah hanya menjadi lelah.

Kalau kita lihat dari kacamata pendidikan dalam kapitalisme demokrasi selama ini hanya memandang sebelah mata peran guru honorer. Dengan gaji yang mereka peroleh tidak sebanding dengan jasa mereka yang tanpa pamrih, untuk meningkatkan intelektualitas dan membentuk akhlak mulia pada peserta didik.

Itulah apresiasi rezim sekuler terhadap guru yang tak sebanding dengan jasa mereka mendidik generasi. Apresiasi hanya sebatas janji-janji dan basa-basi.

Menilik ke belakang, jika dibandingkan pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, Beliau memberikan gaji pada guru masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Luar biasa penghargaan untuk seorang yang berfrofesi guru.

Guru dihargai karena idealismenya, karena ketakwaannya, dan ia mempunyai prinsip kebenaran yang bersumber dari syariat Allah, inilah idealisme yang sesungguhnya. 

Ia juga harus menyadari betul bahwa profesi yang ia jalankan saat ini pasti akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di kehidupan yang kekal kelak.  

Dia tidak pernah terpikir untuk memisahkan antara ilmu dunia dan akhirat, karena ia memahami bahwa ilmu dunia adalah untuk kemudahan hidup di dunia, sedangkan ilmu akhirat adalah agar hidup kita menjadi benar dan terarah dengan petunjuk yang benar sesuai syariat. Dan guru seperti inilah yang layak untuk digugu dan ditiru.

Jelas, guru akan sejahtera hanya dalam sistem pendidikan Islam yang memiliki kebijakan terbaik atas guru, mengingat posisi strategisnya sebagai pencetak generasi masa depan.

Namun, sistem pendidikan Islam ini hanya akan ada ketika Islam diterapkan secara kaffah dengan dipimpin oleh seseorang yang bertakwa pada Allah dan berani, hingga penerapan syariat Islam secara menyeluruh dapat terwujud. 

Jadi, dengan demikian aktivitas para guru yang berkepribadian Islam memang layak untuk digugu dan ditiru oleh para muridnya dan akan menghasilkan generasi yang juga berkepribadian Islam.

Wallahu a'lam. []

(Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2022)


Oleh: Radhiatur Rasyidah, S.Pd.I
Pemerhati Generasi dan Keluarga
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments