TintaSiyasi.com -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan masih ada beberapa stasiun TV yang belum mematikan siaran analognya. Hal itu berkaitan dengan perpindahan saluran analog ke digital.
Mahfud mengatakan analog switch off (ASO) merupakan perintah undang-undang dan telah lama dilakukan serta dikoordinasikan dengan beberapa pemilik stasiun TV.
Ia menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyiarkan saluran secara analog maka akan dianggap ilegal dan bertentangan dengan hukum karena ASO merupakan amanat Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
Namun kebijakan pemerintah tersebut banyak menuai kritik. Salah satunya adalah lewat media sosial Tiktok. Seperti diungkapkan satu warganet terkait kebijakan ini yang dinilai menyusahkan rakyat kecil. "Kasian rakyat kecil dan makin menyusahkan rakyat," kata akun @Wulandari879.20 di TikTok, dikutip Minggu (5/11/2022).
Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSREC, Pratama Persadha pun, meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan Analog Switch Off (ASO) atau menyuntik mati TV analog dengan beralih ke TV digital. Ia mengatakan bahwa masih banyak masyarakat yang kebingungan dengan kebijakan tersebut. Selain itu, fakta di lapangan menyatakan bahwa tidak semua masyarakat memiliki set top box (STB) TV digital maupun televisi yang sudah berteknologi TV digital.
"Prinsipnya adalah jangan ada masyarakat yang dirugikan dengan program TV digital ini. Win win solution bagi semua pihak harus dipikirkan pemerintah, agar masyarakat tidak tiba-tiba kehilangan akses informasi," kata Pratama dalam keterangannya, Sabtu (5/11/2022).
Menurut dia, program TV digital harus didukung dengan sosialisasi serta pemerataan hardware TV digital yang baik di masyarakat. Bahkan bila perlu, lanjut dia, peredaran dan penjualan televisi di Indonesia wajib sudah support TV digital. Ia menambahkan bahwa kebijakan peralihan ke TV digital juga harus didukung lintas kementerian. Sehingga Kominfo bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian (kemperin) soal kewajiban televisi yang dijual di Indonesia harus support TV Digital.
Memang cukup meresahkan program ASO ini. Di saat masyarakat sedang mengalami berbagai macam kesulitan hidup akibat biaya hidup yang makin tinggi dan pemulihan ekonomi pasca pandemi yang masih terseok-seok, sekarang harus dihadapkan pula pada beban pembelian alat Set Top Box yang tidak murah jika mereka ingin tetap mendapatkan hiburan dan informasi dari televisi.
Lantas muncul dalam benak kita, siapakah yang paling diuntungkan dalam program ini? Merujuk hasil riset Boston Consulting Group tahun 2017, ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan migrasi ke TV digital.
Pihak pertama yang diuntungkan tentunya pemerintah. Pemerintah berpotensi mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp 77 triliun per tahun jika migrasi ke TV digital terealisasikan. Karena pendapatan dari frekuensi TV analog saat ini hanya mendapatkan Rp100 miliar-an. Pendapatan ini berasal dari biaya penggunaan frekuensi atau disebut digital dividend yang disetorkan pelaku usaha digital yang memakainya.
Pihak kedua yang diuntungkan adalah pelaku bisnis digital yang mendapatkan saluran frekuensi 700 MHz untuk broadband. Pemanfaatan saluran frekuensi ini akan mengembangkan ekosistem bisnis kreatif, sehingga ekonominya akan membesar.
Pihak ketiga yang diuntungkan adalah produsen STB itu sendiri. Bisa dibayangkan berapa keuntungan mereka dalam memproduksi STB ini demi menyuplai pasar di seluruh Indonesia. Ini semua nampak sangat amat menguntungkan korporasi.
Program ini sekaligus juga menampakkan bahwa UU Cipta Kerja tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Nampak keberpihakan penguasa pada korporasi dan bukan pada rakyat banyak. Inilah wajah buruk pemerintah yang dikuasai oligarki.
Dalam salah satu hadis dikatakan, “Sebaik-baiknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan mereka pun mencintamu, kamu menghormati mereka dan merekapun menghormati kamu. Pun sejelek-jeleknya pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun benci kepada kamu. Kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknatmu” (HR. Muslim).
Pemimpin yang baik adalah pemimpin betulan bukan pemimpin kebetulan. Pemimpin betulan, adalah pemimpin yang memenuhi ketentuan-ketentuan yang diajarkan oleh Islam. Sedangkan pemimpin kebetulan adalah orang yang kebetulan menjadi pemimpin, tanpa dilandasi keterampilan dalam memimpin dan tidak tahu aturan. Seorang pemimpin, harus berpihak pada rakyat dan umat karena pemimpin datang dari umat dan memimpin untuk umat. (Ketua MUI Kota Bandung, Prof. Dr. KH. Miftah Faridl).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Lina Parlina
Aktivis Muslimah
0 Comments