TintaSiyasi.com -- Mengutip sedikit kisah dari kepercayaan orang Yunani zaman dulu, yaitu kisah Dewi Hestia. Meskipun bagi seorang Muslim yang mempunyai keimanan terhadap eksistensi Tuhan yang sebenarnya, membaca kisah dewa dewi Yunani seperti membaca kisah fiksi. Dalam kisahnya disebutkan Dewi Hestia memilih untuk tidak menikah sama sekali seumur hidupnya, padahal Hestia dikenal sebagai Dewi yang cantik, wataknya lembut, bersahaja dan sangat menarik perhatian. Alasan Hestia tidak ingin menikah karena menganggap pernikahan adalah sesuatu hal yang sungguh berbahaya. Dia melihat kehidupan rumah tangga saudara-saudaranya (dewa dewi yang lain) semacam Zeus dan Metis yang tidak bahagia. Hal yang akan dibahas di sini adalah mengenai pilihan Hestia yang memiliki keinginan untuk tidak menikah karena trauma. Fenomena ini mirip dengan fenomena zaman sekarang, di mana menikah dianggap sebagai hal yang sangat menakutkan.
Berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah memang hal yang dibutuhkan, namun pada fenomena zaman sekarang ini takut menikah itu sudah terlalu berlebihan. Bahkan ada istilah secara psikologi namanya gamophobia. Dikutip dari Alodokter, gamophobia adalah ketakutan yang berlebihan untuk menjalin komitmen dan menikah, fobia ini bisa muncul karena trauma akan kegagalan hubungan masa lalu atau pengalaman masa kecil seperti melihat hubungan orang tua yang buruk atau perceraian. Orang-orang sekarang menganggap bahwa pernikahan itu akan menambah masalah baru dan tidak akan pernah selesai (berkepanjangan).
Namun yang paling berbahaya dari fenomena ini adalah takut untuk menikah tetapi tidak membuat orang-orang takut menjalin hubungan yang haram, semisal pacaran. Padahal dalam Islam, pacaran itu haram hukumnya dan menikah adalah jalan yang halal untuk menjalin hubungan yang romantis dengan lawan jenis.
Dalam Islam, mencintai lawan jenis adalah sebuah fitrah yang mana merupakan naluri manusia dalam berkasih sayang (gharizah nau’). Islam juga mengatur pemenuhan naluri tersebut, yaitu dengan menikah. “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum ayat 21).
Namun, di zaman yang menerapkan kapitalisme sekuler saat ini, pemenuhan gharizah nau’ justru menjadi problematik. Misalnya dengan pacaran, sudah itu ada lagi pacaran beda agama, pacaran dengan sugar deddy, ditambah adanya kaum LGBT. Sekalinya menikah juga banyak masalah, pernikahan beda agama, pernikahan dini, poligami dijulidin, taaruf asal-asalan berujung perceraian, dan yang lagi viral soal KDRT. Huft, inilah bukti bobroknya kehidupan tanpa naungan Islam.
Padahal, di dalam Islam pernikahan adalah ibadah seumur hidup sehingga bisa mendapat pahala kebaikan dari setiap kegiatannya karena tujuan dari pernikahan adalah untuk menjalankan syariat Allah dan sunah Rasul-Nya. “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur ayat 32).
Pernikahan juga merupakan cara agar terhindar dari zina. “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya). Lalu dengan menikah, maka seseorang telah menyempurnakan agamanya. “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al-Baihaqi).
Lantas mengapa masih ada orang yang takut menikah? Apalagi dengan alasan trauma? Jawabannya karena umat jauh dari Islam. Ditambah lagi kehidupan kapitalisme yang mecekik, membuat standar kehidupan begitu tinggi. Banyak orang yang takut miskin jika menikah, apalagi sebagian besar kasus perceraian diakibatkan faktor ekonomi.
Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan juga membuat para pembenci Islam mempersoalkan ajaran Islam. Syariat Islam dipojokkan, yang menjalankannya diradikalkan, ulamanya dikriminalkan. Padahal Islam adalah agama yang sempurna, membawa rahmat bagi seluruh alam jika syariatnya diterapkan secara kaffah. Jangankan urusan pernikahan, urusan negara pun Islam punya aturan dan solusi tuntas untuk segala permasalahannya. Maka, sudah saatnya kita bangkit dari keterpurukan. Kita pelajari Islam lebih dalam agar paham makna pernikahan dalam Islam sehingga tidak termakan opini negatif tentang pernikahan. Kita sampaikan juga kebaikan dan keindahan Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, bersama kelompok dakwah Islam ideologis yang berjuang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dikara Nur Izabah
Mahasiswi Sumedang
0 Comments