TintaSiyasi.com -- Pemilu 2024 masih lama, tapi hawa panas sudah menguar di pelupuk mata. Partai-partai politik gaduh menentukan bakal capres-cawapres. Lembaga-lembaga survei pun semakin bersemangat menunjukan angka elektabilitas sejumlah nama potensial bakal capres. Semakin hari, konstelasi politik kian panas dan semakin dinamis. Partai NasDem yang terlebih dulu mendeklarasi nama bakal capres, belum menentukan pendamping Anies Baswedan. Sementara PDIP selaku partai berkuasa justru belum menjatuhkan pilihan bakal capresnya.
Sebelumnya, Poltracking Indonesia melakukan survei dengan metode stratified multistage random sampling 10 nama bakal capres potensial. Sebanyak 1.220 responden diambil dari 34 provinsi. Survei dilakukan pada Agustus 2022 dan menunjukkan hasil Ganjar Pranowo meraih nilai tertinggi yaitu 26,6% disusul Prabowo Subianto 19,7%, Anies Baswedan 17,7%, AHY 4,7% serta Ridwan Kamil 3,9%. Selanjutnya ada Erick Thohir, Sandiaga Uno, Puan Maharani, Khofifah Indar Parawansa dan Airlangga Hartanto (kompas.com, 3/9/2022).
Sementara Parameter Politik Indonesia melakukan survei dengan lima nama bakal capres pada periode 5-14 Oktober 2022. Yaitu setelah momen deklarasi Anies Presiden oleh partai NasDem. Hasil survei tertinggi juga dipegang Ganjar Pranowo 31,8% disusul Prabowo Subianto 21,1%, Anis Baswedan 20,4%, Sandiaga Uno 6,9% dan AHY 3,9%. Sementara 15,9% suara belum menentukan pilihan. Hasil survei tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno dalam Political Show : Koalisi Perubahan Anies Baswedan Terancam Bubar Jalan? di kanal YouTube CNN Indonesia, Selasa (1/11/2022).
Ganjar-Anies Populer
Partai NasDem kembali melakukan deklarasi yaitu deklarasi relawan Anies Baswedan, IndonesiaAnies di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan pada Rabu (2/11/2022). Namun, Demokrat dan PKS yang berkoalisi dengan NasDem mendukung Anies, tidak diundang. Isu bubarnya Koalisi Perubahan yang rencananya dideklarasikan pada hari pahlawan semakin riuh. Nyatanya, Koalisi Perubahan belum menyepakati sosok pendamping Anies. Partai Demokrat menghendaki AHY sementara PKS mengusung Ahmad Heryawan (Aher) sebagai cawapres.
Dilihat dari segi elektabilitas, AHY memang cukup bagus untuk mendampingi Anies. Sementara Aher, meski namanya belum muncul di sejumlah lembaga survei, tapi dianggap memiliki kapabilitas yang sudah teruji. Aher terbukti mampu menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat selama dua periode dengan meraih banyak penghargaan. NasDem sendiri mengaku menghargai proses mekanisme kedua partai koalisinya dalam memutuskan pendamping Anies.
Sementara Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas partai Golkar, PAN dan PPP belum menentukan bakal capres dan cawapres. Nama Airlangga Hartanto yang sebelumnya digadang-gadang menjadi capres, ternyata elektabilitasnya belum mumpuni. Kemudian muncul isu duet Ganjar Pranowo dengan Ridwan Kamil sebagai bakal capres dan cawapres yang diusung KIB. Akan tetapi, Ganjar merupakan kader PDIP hingga KIB harus menunggu hasil putusan partai berlambang banteng tersebut.
Ganjar yang memiliki elektabilitas tinggi, belum mendapat restu PDIP. Padahal, Ganjar sudah menyatakan diri siap menjadi capres. Anehnya, pernyataan tersebut justru menuai teguran lisan dari partai yang membesarkannya. Sama halnya dengan FX Rudy yang mendapat sanksi setelah menyatakan dukungannya terhadap Ganjar. Meski PDIP beralasan sanksi diberikan demi kekompakan partai, tapi publik terlanjur menilai trah Soekarno sementara disiapkan melalui Puan Maharani. Hanya saja, nama Puan tersandera elektabilitas yang jauh di bawah.
Tentu, hasil survei bisa berubah-ubah seiring munculnya momentum politik. Namun, dari deretan nama bakal capres yang muncul, sosok yang mendominasi konstelasi politik kali ini hanya Ganjar dan Anies. Sementara Prabowo Subianto, meski memiliki elektabilitas tinggi tapi semakin kurang popular, mengingat, sudah pernah maju pilpres dua kali. Sejumlah pengamat pun menilai, elektabilitas Prabowo stagnan bahkan berpotensi turun. Meski demikian, masih banyak waktu bagi partai dan bakal capres melakukan berbagai upaya menaikan elektabilitas.
Popularitas, Elektabilitas dan Kapabilitas
Perang angka sejumlah lembaga survei seolah menunjukan tingginya elektabilitas menjadi penentu seseorang menjadi pemimpin negeri. Senada dengan apa yang terjadi pada PDIP dan banyak partai lainnya yang masih menutup diri karena jagoannya memiliki elektabilitas rendah. Hal ini mengingatkan apa yang disampaikan Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP/Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. Herzaky sempat mengatakan, sosok yang memiliki elektabilitas rendah harus sadar diri dan tidak memaksa maju pilpres 2024 apalagi menggunakan pendekatan kekuasaan.
Pernyataan tersebut seolah menyindir Ketua DPR RI Puan Maharani. Sejumlah lembaga survei menunjukan elektabilitas Puan tetap rendah meski Ganjar belum mendapat tiket maju Pilpres. Artinya, dukungan suara relawan Ganjar tidak serta merta beralih kepada Puan. Padahal, Puan sempat didukung oleh Dewan Kolonel meski akhirnya dibubarkan. Menjadi menarik membahas korelasi popularitas, elektabilitas dan kapabilitas dalam menentukan seorang pemimpin. Ada beberapa hal yang patut dikuliti, antara lain :
Pertama, popularitas dan elektabilitas saling berkaitan tapi tak selamanya sejalan. Sebagai contoh, popularitas Anies sangat tinggi di media sosial bahkan sejak menjabat Gubernur DKI Jakarta. Tapi elektabilitas Anies justru di bawah Prabowo. Padahal, Prabowo semakin berkurang popularitasnya.
Kedua, dengan menunggu momentum politik yang tepat, elektabilitas bisa lebih cepat naik atau turun. Peran media sangat berpengaruh dalam hal ini. Adanya black campaign bisa segera menurunkan elektabilitas seseorang. Sebaliknya, masifnya pemberitaan terkait capaian kinerja seseorang akan menaikan elektabilitas. Kita hidup di era dimana jemari nettizen sangat cekatan menciptakan berita dan membelokkan narasi hingga mempengaruhi elektabilitas.
Ketiga, cara meningkatkan elektabilitas tidak lagi cukup pasang baliho. Sebelumnya, cara meningkatkan elektabilitas cukup dengan memoles tampilan fisik seseorang kemudian di pasang di pinggir jalan. Sekarang, masyarakat semakin pintar mendeteksi mana polesan dan mana yang sungguhan. Alhasil, tak cukup pasang baliho dengan pose good looking kemudian berharap layak menjadi calon pemimpin. Masyarakat juga akan menguji dan menilai kapabilitas yang ditunjukan dari kinerja riil seseorang.
Keempat, peran partai sebagai mesin politik semakin diragukan. Hal ini tampak dari sejumlah partai besar yang ada, ternyata banyak yang tidak mampu melahirkan calon pemimpin potensial. Bahkan, Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang sama-sama memiliki elektabilitas tinggi justru bukan berasal dari kader partai politik tertentu.
Kelima, tingginya elektabilitas tidak menjamin kapabilitas seseorang dalam mengurus hajat hidup rakyat. Kasus sengketa lahan dan pertambangan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo yang berlarut-larut melukai hari rakyat setempat, setidaknya menunjukan posisi Ganjar dengan elektabilitas tinggi tapi lebih pro oligarki. Sebelumnya, Jokowi-Ma’ruf pun meraih elektabilitas tinggi namun banyak kebijakan yang tidak pro rakyat kecil.
Butuh Ganti Sistem
Selama ini, mesin politik dan popularitas merupakan dua variabel yang dipercaya mempengaruhi dan menentukan calon pemimpin. Sayangnya, popularitas belum tentu seirama dengan elektabilitas. Sementara elektabilitas digunakan sebagai jaminan seseorang menjadi calon pemimpin. Namun, pemimpin yang lahir dengan elektabilitas tinggi belum tentu berpihak kepada rakyat kecil. Di saat bersamaan, partai politik yang selama ini mendapat kucuran dana besar dari pemerintah, tidak otomatis mampu lahirkan calon pemimpin handal. Ruwet bukan?
Sebenarnya, rakyat Indonesia saat ini membutuhkan sosok yang mampu menawarkan perubahan. Rakyat lelah menghadapi berbagai kebijakan yang cenderung pro oligarki. Rakyat rindu hidup sejahtera di negeri yang seharusnya ‘gemah ripah loh jinawi’. Rakyat pun sebenarnya kurang peduli dengan popularitas ataupun elektabilitas seseorang. Kedua hal tersebut lebih panas dibahas di kalangan elit politik. Saat ini, rakyat hanya membutuhkan calon pemimpin teruji kapabilitasnya membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Bicara terkait perubahan, tentu lebih tepat mengaitkannya dengan partai Demokrat dan PKS. Kedua partai tersebut selama ini tampak konsisten menjadi oposisi. Setelah kedua partai memutuskan berkoalisi dengan NasDem, muncul banyak isu menggoyang pertahanan Koalisi Perubahan. Setelah NasDem mengumumkan Anies menjadi bakal capres, muncul isu reshuffle. Muncul pula isu PKS ditawari posisi menteri oleh istana agar keluar dari koalisi. Bahkan, muncul narasi deklarasi NasDem hanya menguntungkan Anies Baswedan.
Pasca deklarasi NasDem, elektabilitas Anies naik, sementara NasDem turun. Kondisi yang tampak kontras ini disebut-sebut karena selama ini, pemilih NasDem kebanyakan berasal dari nasionalis-moderat. Mereka akan berfikir dua kali mendukung NasDem karena mengusung Anies yang sering dikaitkan isu Khil4f4h. Anies pun digoyang kasus korupsi Formula-E. Tampaknya, persiapan presidential threshold sudah berjalan. Kebijakan yang bertujuan menguatkan pemerintahan di masa depan justru menciptakan pertarungan parpol semakin sengit.
Kondisi-kondisi di atas setidaknya menunjukan bahwa rakyat Indonesia tidak hanya butuh pergantian orang tapi juga pergantian sistem. Penerapan demokrasi tampak ruwet. Bahkan untuk memilih calon pemimpin negara saja tidak jelas batasan dan kriterianya. Demokrasi sendiri lahir dari jalan kompromi hingga regulasi yang ada tampak inkonsisten. Regulasi dibuat justru demi melindungi dan mengamankan kelompok tertentu saja. Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda dengan kondisi saat Islam berjaya.
Dalam Islam, syarat wajib menjadi kepala negara adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu mengemban tugasnya kelak. Popularitas calon kepala negara akan lahir secara alamiah bersamaan aktivitas kesehariannya di tengah masyarakat. Angka elektabilitas akan lebih riil karena tak terpengaruh kepentingan lembaga atau kelompok tertentu. Sementara salah satu tugas partai politik Islam adalah melahirkan calon pemimpin yang memiliki aqidah kuat, berkepribadian Islam, memiliki kapabilitas mengurusi rakyat berdasar syariat Islam. Hingga lahir banyak calon pemimpin tangguh yang menjadi ujung tombak perubahan.
Wallahu ‘alam bish showab.
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Aktivis Muslimah
0 Comments