TintaSiyasi. com -- Sebagian besar masyarakat di negeri ini, seperti tengah tenggelam dalam euphoria berkumpul atau berkerumun yang setelah lama tidak bisa dirasakan. Selama dua tahun terkekang karena pandemi covid-19 yang membatasi kegiatan masyarakat dalam berkerumun. Setelah pembatasan berakhir, sejumlah kegiatan yang banyak melibatkan orang hampir tidak pernah sepi peminat. Terbaru adalah konser ,musik “Berdendang Bergoyang” yang diselenggarakan pada 30 Oktober 2022. Namun, acara tersebut dibubarkan karena over kapasitas dan adanya indikasi minuman keras dalam acara tersebut.
Terdapat pihak pro-kontra dengan pembubaran acara tersebut, seperti Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah yang berpandangan bahwa kerumunan dalam jumlah besar secara sosiologis tidak masalah. Apalagi kerumunan kategori formal audience seperti sepak bola atau panggung hiburan , dengan memperhatikan standart syarat keamanan, ketertiban, dan keselamatan kegiatan. Tetapi kerumunan itu bisa berubah menjadi kerumunan tidak terkendali. Sehingga ubedilah mewanti-wanti penyelenggara atau pihak yang memberikan izin memperhatikan resiko kerumunan. (kompas.com)
Dalam perspektif sosiologi, kategori kerumunan formal audience adalah kerumunan dengan tujuan dan fokus yang sama. Sedangkan kerumunan panic causal crowds adalah kerumunan panic yang tidak terkendali. Sehingga, formal audience meskipun tujuan dan fokus sama bisa menajdi panic causal audience crowds dengan penyebab tertentu, misalkan adanya oknum atau provokator yang memancing keributan, atau bahkan pihak yang ingin menggagalkan acara.
Jika dikatakan kerumunan dengan tujuan dan fokus yang sama sebenarnya tidak masalah, bagaimana dengan acara Hijrah Fest Surabaya 2022 yang dibatalkan padahal banyak mengundang ulama dan artis tanah air. Begitu juga, acara Muslim Life Fair yang harusnya digelar tanggal 25-27 Maret 2022 di Istora GBK, Senayan, Jakarta yang batal dilaksanakan, padahal sebelumnya panitia sudah mendapatkan izin dari kepolisian maupun Pemerintah DKI Jakarta. Hal ini, sangat berbanding terbalik dengan acara Muslim Life Fair, di tanggal yang sama juga terselenggara Joyland Festival di Bali yang dihadiri orang nomor satu di negeri ini.
Sedangkan dalam acara “Berdendang Bergoyang” sendiri yang berlangsung tiga hari, baru di hari kedua mulai diberhentikan dan tidak dari awal dihentikan atau tidak diizinkan.
Padahal dari penjualan tiket sendiri sudah terlihat bahwa tiket yang dijual overload. Bagaimana acara sudah terlaksana dihari kedua baru terpikirkan resiko yang akan terjadi pada penonton dan indikasi adanya minuman keras pada acara tersebut.
Menjadi keanehan bagaimana acara keislaman dengan rekam jejak acara Islam yang hampir tidak pernah ada kerusuhan didalamnya, tapi dipersekusi dengan cara dibatalkan dengan berbagai alasan . Sedangkan acara yang banyak rekam jejak berujung pada kerusuhan diapresiasi, bahkan banyak terjadi dalam acara dangdut penonton saling senggol berujung pada kerusuhan.
Seperti inilah potret yang terjadi di negeri ini. Acara keislaman atau acara kebaikan yang bahkan belum terlaksana dibatalkan tapi acara dangdutan diizinkan. Hal ini, sangat jelas mengindikasikan bahwa yang terjadi di negeri ini adalah islamophobia, yang menstigmatisasi negatif acara keislaman.
Islamophobia diartikan istilah yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan dan kebencian terhadap islam. Islamophobia merupakan produk dari pemikiran sekulerisme, yaitu cara pandang yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekulerisme yang telah membuat umat islam meninggalkan lebih dari separuh agamanya, bahkan agama dianggap tidak penting dalam kehidupan.
Cara pandang kehidupan sekulerisme yang menjadikan agama hanya sebatas persoalan individu, dan agama dilarang memasuki wilayah publik apalagi politik. Jika agama membahayakan perpolitikan yang berkuasa, maka yang dianggap salah adalah ajaran agamanya. Agama tidak boleh mengatur kehidupan manusia dan dinilai tidak cocok dengan kehidupan masa kini. Padahal syariat islam berasal dari Allah SWT, Pencipta dan Pengatur manusia. Allah yang mengetahui yang terbaik untuk manusia, mengetahui tentang perkara yang dapat menghantarkan maslahat (kebaikan) bagi kehidupan manusia ataupun mudharat (kerugian) bagi manusia.
Syariat Islam hadir sebagai problem solver atau solusi masalah manusia, islam mengatur urusan manusia mulai bangun tidur sampai bangun negara semua diatur oleh Islam. Dengan demikian, apakah mungkin syariat dari Pencipta manusia akan mengancam kehidupan manusia?, tentu syariat islam akan mengancam manusia-manusia yang tidak taat syariat Allah, mengancam pelaku kemaksiatan karena tidak akan mungkin kemaksiatan dibiarkan, mengancam pelaku zina karena pelaku zina akan dihukum, mengancam penjajah karena penjajah akan diusir.
Syariat islam sebagai problem solver tidak akan mungkin bisa dijalankan tanpa adanya penerapan islam secara kaffah oleh negara. Sehingga, perlu adanya kesadaran bersama bahwa kita membutuhkan kembali kepemimpinan islam. Kita membutuhkan persatuan umat islam untuk berjuang menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Oleh: Safda Sae, S.Sosio.
Aktivis Dakwah Kampus
0 Comments