Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Transisi Energi untuk Kepentingan Siapa?

TintaSiyasi.com -- Pemerintah Indonesia sekarang sedang mendorong proses transisi energi menuju net zero emission. Upaya ini merupakan tindak lanjut dari keputusan Indonesia yang telah memilih transisi energi sebagai salah satu prioritas dalam Presidensi G20. Climate Transparency Report menyebutkan bahwa G20 adalah kelompok negara yang bertanggung jawab atas 75% emisi gas rumah kaca global. (Katadata, 28 September 2022).

Sejalan dengan program transisi energi, bulan Mei lalu, Presiden Jokowi bertemu dengan CEO Tesla, Elon Musk, di Gedung Stargate SpaceX. Kedua belah pihak bertemu dalam rangka mendiskusikan kerja sama di masa depan. Elon Musk menyebutkan bahwa ia tertarik bekerja sama dengan Indonesia karena Indonesia potensial dan memiliki jumlah populasi penduduk yang banyak. Pasca pertemuan keduanya, Pemerintah mengatakan akan mengganti 189 ribu kendaraan dinas menjadi mobil listrik. Tak tanggung-tanggung niat ini direalisasikan dengan ditanda tanganinya Inpres Nomor 7 Tahun 2022 oleh Presiden Jokowi pada 13 September 2022 lalu tentang Penggunaan Kendaraan Listrik sebagai Kendaraan Dinas Operasional untuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Inpres ini diterbitkan dalam rangka percepatan pelaksanaan program penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang disebut-sebut sudah sangat urgen.

Sementara itu, Departemen Perhubungan pun turut menyampaikan bahwa penggunaan mobil listrik diharapkan menjadi salah satu solusi atas isu pencemaran lingkungan yang disebabkan emisi karbon kendaraan yang menyebabkan pencemaran udara, khususnya yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Padahal menurut riset jurnal yang dilakukan akademisi Universitas Airlangga, mobil listrik menghasilkan emisi yang lebih besar daripada mobil konvensional. Ini artinya ketika sumber listrik masih menggunakan batu bara, dan transisi ke mobil listrik semakin diminati rakyat, maka semakin banyak pula emisi karbon yang bersumber dari pembakaran batu bara.

Ini menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa pemerintah sangat berambisi bertransisi menuju energi listrik untuk solusi emisi karbon. Padahal berdasarkan data inventory ESDM, emisi gas rumah kaca sektor industri tahun 2015 menyebutkan bahwa emisi paling besar dihasilkan oleh batu bara sebesar 44%, lalu diikuti oleh gas sebesar 43%, bahan bakar minyak (ADO, FO, IDO, dan kerosin) 13%, dan LPG dengan nilai yang sangat kecil yaitu di bawah 0,5%. Sedangkan emisi gas rumah kaca pada pembangkit listrik tahun 2015, emisi terbesar berasal dari batu bara sebesar 70%, sementara BBM dan gas hanya menyumbang 15%. Tampak tidak ada korelasi signifikan pengalihan mobil berbahan bakar minyak ke mobil listrik sebagai upaya pengurangan emisi karbon, karena pembangkit listrik terbesar adalah dari PLTU yang bersumber dari batu bara, yang disinyalir penyumbang emisi karbon terbesar. Lalu dimana efektifitas pengalihan energi ini?

Mungkinkah transisi energi ini dilakukan akibat Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami oversupply, di mana suplai listriknya melebihi jumlah yang terjual ke pelanggan? Diketahui bahwa selama periode 2013-2021 total pasokan listrik PLN jumlahnya selalu lebih banyak sekitar 28 ribu-30 ribu GWh ketimbang total listrik yang terjual. (katadata, 16/09/2022). Sehingga menjadi hal yang masuk akal ketika pemerintah kemudian mendorong masyarakat untuk menaikkan konsumsi listrik dengan adanya transisi energi. 

Dikutip dari katadata, PLN mengalami kerugian sebesar Rp71,1 Triliun. Menjadi sebuah pertanyaan besar ketika perusahaan tanpa pesaing seperti PLN dengan pelanggan seluruh masyarakat Indonesia justru merugi. Apa yang salah dari pengelolaan listrik ini? Ternyata over supply listrik PT PLN saat ini disebabkan karena adanya skema take or pay (TOP) dari pembangkit listrik swasta, sehingga kelebihan listrik itu tetap harus dibeli oleh PT PLN. Dewan Energi Nasional (DEN) mengungkap bahwa kelebihan listrik yang terjadi di PT PLN adalah imbas dari kebijakan pembangunan proyek 35.000 Megawatt (MW). 

Lantas siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kebijakan transisi energi ini? Sudah pasti perusahaan swasta domistik maupun asing. Pengadaan mobil listrik disinyalir akan dipasok dari impor, karena Indonesia baru memiliki dua pabrik mobil listrik berkapasitas produksi yang kecil. Itu pun merek asing, yaitu Wuling dan Hyundai. Begitu pula dengan baterai juga impor. Sehingga penggunaan mobil listrik secara besar-besaran hanya akan menguntungkan perusahaan asing, sedangkan Indonesia tetap menjadi pasar. Inilah kenyataan ketika saving energy dikalahkan dengan kepentingan keuntungan korporasi. 

Di sisi lain transisi penggunaan bahan bakar minyak ke listrik selalu dikaitkan dengan program mengurangi gas rumah kaca. Mungkin ada benarnya, yaitu mengurangi konsumsi emisi karbon dengan mengurangi bahan bakar fosil. Namun, ternyata pembangkit listrik saat ini masih didominasi dengan penggunaan batubara dan BBM yang kepemilikannya dikuasai oleh perusahaan swasta. Tambang negeri, termasuk batu bara, dikelola swasta sehingga kekayaan hasil penambangan masuk ke kantong korporasi. Pemerintah hanya mendapat 13,5—14% pendapatan batu bara. Lagi-lagi, siapa yang diuntungkan dari proyek energi ini? Beginilah tata kelola energi ala kapitalis, yang menempatkan individu swasta domestik maupun asing sebagai pemilik sah kepemilikan umum masyarakat. Akibatnya bukan kesejahteraan yang diterima rakyat, namun sebaliknya rakyat terdholimi oleh keserakahan para kapital.

Pemerintah semestinya memaksimalkan peran melalui kemandirian pengelolaan energi. Jangan lagi ada campur tangan swasta atau asing. Bahkan tidak sepantasnya pemerintah memperjualbelikan energi (listrik) kepada rakyat. Pun tidak sepantasnya memberi kesempatan kepada pihak swasta atau asing untuk turut ambil bagian dalam pengelolaan energi. Karena itu menunjukkan pengalihan tanggung jawab. Tata kelola energi wajib dilakukan sebaik mungkin agar hak milik rakyat dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Negara harus mengelola energi melalui sebuah badan milik negara yang berstatus sebagai institusi pelayanan, bukan institusi bisnis

Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)
Rasul saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah)


Referensi:


https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-data-inventory-emisi-grk-sektor-energi-.pdf 
channel youtube watchdoc.





Oleh: Tyas Sayid
Alumnus Universitas Airlangga
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments